Tidak terasa sudah satu bulan penuh, Hana menjalani perawatan dokter dan pendampingan dari psikolog. Pada akhirnya Hana menuruti kemauan ibunya untuk terus melakukan sesi temu dengan psikolog. Disana Hana membuka dirinya untuk bercerita tentang segala hal yang dipendamnya selama ini. Dia bercerita tentang bagaimana rasa benci terhadap ayah kandungnya, teman-temannya di Jepang, dan dirinya sendiri terus menjalar pada ingatannya. Ia tahu bahwa kebenciannya adalah hal yang sia-sia dan ditumpuk begitu saja dibenaknya sampai sengaja dilupakannya mentah-mentah. Hingga tanpa sadar hal itu membuatnya tidak lagi merasakan apa itu rasa sedih dan luka yang menyakitkan. Segalanya hambar bagi dirinya.
Hana bercerita dengan menutup matanya sembari berbaring di kursi sofa. Sedangkan psikolog duduk di sampingnya sambil sesekali menulis beberapa kata di bukunya. Hana membuka matanya kembali. Entah kenapa dia merasa sedikit lega karena psikolog tersebut mendengarkannya tanpa harus memberikan berbagai prasangka padanya.
“Apakah salah jika saya membenci mereka?” tanya Hana kemudian.
“Menurut Hana saat orang lain membenci Hana, apakah Hana boleh membencinya juga?” pertanyaan itu membuat Hana berpikir cukup lama. Lantas ia menengok ke arah psikolog tadi dengan agak ragu.
“Seharusnya boleh ya? Tapi aku takut..,”
“Takut kenapa?”
“Takut kalau lebih dibenci. Aku hanya ingin hidup dengan tenang tanpa dibenci ataupun membenci. Karena aku tahu itu tidak ada gunanya. Hanya memperburuk keadaan. Tapi saya juga tidak ingin jika semua ini menjadi bumerang bagiku. Kata kak Haru, mati rasa yang aku alami itu tidaklah wajar. Aku ingin menjadikannya wajar. Aku ingin merasakan rasa sakit yang wajar. Tetapi aku tidak tahu harus bagaimana.”
Psikolog itu berhenti menulis dan menutup bukunya. Lalu ia kembali melihat Hana lagi.
“Jadi sekarang Hana ingin merasakan rasa sakit yang wajar. Tetapi Hana tahu tidak kalau rasa sakit tidak wajar seperti yang Hana katakan tadi itu akibat dari trauma yang Hana alami selama ini?” Hana menganggukkan kepalanya.
“Aku tahu itu. Aku sudah menyadarinya sejak lama.”
“Apakah Hana ingin menghilangkan trauma itu?”
“Ingin. Saya ingin sekali.”
“Walaupun untuk menghilangkan trauma itu, kamu harus dihadapkan dengan ketakutan kamu itu?”
“Mau tidak mau saya harus berani menghadapinya. Saya ingin menyelesaikan semuanya yang belum terselesaikan. Saya ingin hidup sebagai Hana yang tidak lagi terbebani dengan ketakutan dari masa lalu.”
***
“Iya, ma. Hana masih di dalam ruangan dengan psikolog. Emm, mungkin sebentar lagi dia selesai. Iya, aku akan langsung membawanya pulang,” Haru berbicara dengan Nobuko melalui telepon. Haru selalu mengantarkan Hana untuk janji temu dengan psikolog. Semenjak kejadian di belakang sekolah itu, Hana menjadi lebih banyak diam. Seperti memikirkan sesuatu dalam waktu yang lama. Entah apa yang dipikirkannya. Kini giliran Haru yang selalu mengekor pada Hana dan mengajaknya mengobrol setiap pulang sekolah. Haru merasa jika adik tirinya sudah lupa bagaimana caranya tersenyum. Terkadang jika ditinggalkannya sebentar, Haru memergokinya sedang menangis sendirian. Maka dari itu Nobuko meminta Hana untuk menemui psikolog. Beliau menginginkan Hana yang ceria kembali lagi seperti sedia kala.
Pihak sekolah juga mengijinkan Hana beristirahat sampai pulih kembali. Satu bulan telah berlalu. Sedikit demi sedikit Hana mau untuk berbicara lagi dengan anggota keluarganya. Kesedihan yang ia rasakan juga kian berkurang. Luka lebam di tubuhnya juga sudah agak menghilang. Sesekali Hana dan Kusniyah menjenguknya. Eldo, Ridwan dan Iwan pun menjenguknya juga. Mereka banyak mengobrol ngalur-ngidul dengan Hana. Namun mereka hanya terdiam saat Hana menanyakan dimana Zeno. Semenjak kejadian itu, Zeno tidak lagi mengunjungi rumahnya.
“Eh, ma. Hana baru saja keluar. Mama ingin bicara dengannya?” Haru bergegas menghampiri Hana sembari masih menempelkan ponsel di telinga kanannya. Hana keluar ruangan bersama dengan psikolog tadi. Haru menganggukkan kepala kepadanya sambil tersenyum.
“Okeh, ma. Aku tutup dulu ya. Asalamualaikum,” Haru mematikan ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku celana.
“Wah, kak Haru lagi yang mengantar ya?” tanya psikolog tersebut.
“Iya, bu. Terima kasih atas waktunya hari ini. Kami pamit dulu, bu,” Haru menggamit tangan Hana dan berjalan beriringan bersamanya. Haru berjalan sembari sesekali menengok ke arah adik tirinya sambil tersenyum. Ada perasaan cemas yang begitu mendalam pada diri Haru. Ia begitu menghkhawatirkan keadaan Hana. Dia hanya bisa berharap jalan yang dilalui sekarang merupakan jalan terbaik demi kesembuhan Hana.
Awalnya memang tidak mudah mengajak Hana ke psikolog, tetapi seiring berjalannya waktu Hana memiliki kemauan sendiri untuk berobat. Hal itu merupakan suatu kemajuan pada diri Hana. Haru tahu kalau Hana tidak akan menyerah untuk bangkit kembali menghadapi dunia. Sisi dari Hana itulah yang membuat Haru semakin menyayanginya dan tidak ingin jauh darinya lagi.
Sesampainya di rumah, Hana agak terkejut dengan kehadiran Zeno di ruang tamu. Sudah satu bulan semenjak kejadian itu, Zeno tidak pernah menjenguk Hana. Setiap Zeno menanyakan kabar Zeno pada Haru, namun kakak tirinya itu malah mengalihkan pembicaraan. Seperti ada sesuatu yang ditutup-tutupi darinya. Bahkan papa dan mama melarangnya untuk menelepon maupun pergi ke rumah Zeno. Kini pria itu berdiri dihadapannya. Hal itu membuat Hana begitu rindu padanya. Tanpa sadar Hana menghambur ke pelukan Zeno sembari menangis sesenggukkan.
Haru berusaha menahan gejolak amarahnya saat melihat kehadiran Zeno. Dia tidak menyangka, keluarganya bisa menerimanya masuk ke dalam rumah ini. Dia pun ikut duduk setelah Hana mempersilakan Zeno untuk duduk di dekatnya.
“Bagaimana kabarmu, Han?” tanya Zeno pelan.
“Yaa.. syukurlah luka-luka ku sudah semakin menghilang. Kegiatanku sekarang hanya pergi ke dokter dan berobat ke psikolog. Terkadang aku rindu dengan sekolah. Aku yakin tidak lama lagi aku akan bersekolah lagi.”
Saat Hana selesai berbicara, gadis itu melihat wajah sendu Zeno. Tak lama kemudian cowok itu menangis sesenggukkan. Hana yang bingung hanya menepuk-nepuk pelan bahu Zeno. Haru pun sudah menebak arah pembicaraan mana yang akan dibahas oleh Zeno. Bahasan apa lagi kalau bukan tentang keterkaitan antara adiknya dengan kejadian pembulian itu. Haru ingin mencegah Zeno untuk berbicara, namun ia tidak kuasa menghentikan cowok yang sedang menangis di depan adik tirinya. Pastinya Zeno juga merasa memiliki beban berat di pundaknya. Haru pun mencoba membiarkan Zeno untuk berbicara dengan Hana.
“Hana, saya menyesal karena tidak dapat melindungimu pada hari itu. Karena kamu selalu dikelilingi oleh orang-orang yang baik, tidak pernah terbesit sedikit pun di benakku kalau kamu diincar dan diserang oleh orang-orang yang tidak baik juga. Aku merasa gagal untuk melindungimu. Padahal aku bertekad untuk selalu berada di dekatmu dan menjagamu. Tetapi aku tidak menyangka kalau adikku sendiri yang memiliki niat jahat padamu. Tolong maafkan aku dan adikku ya, Han. Dadaku semakin sesak rasanya saat mendengar kondisimu saat itu. Kini aku semakin merasa bersalah padamu. Karena perbuatan kami, keadaan mentalmu semakin memburuk. Aku tahu kalau kata-kata maaf saja tidak cukup. Tapi aku tidak tahu harus berbuat apa untuk memperbaiki ini semua.”
Hana mengusap air mata yang terus saja mengalir di pipi Zeno. Cowok itu juga melihat Hana yang ikut menangis dengannya. Zeno pun mengambil sapu tangan dan mengusap air mata Hana. Kemudian Zeno mengeluarkan amplop berwarna merah muda dan diberikannya amplop itu kepada Hana. Haru yang sedari tadi melihat keduanya, membuatnya begitu memanas. Keduanya terlihat tampak begitu dekat.
Bahkan sekarang Zeno memberikan Hana sepucuk surat yang entah apa isinya. Mungkinkah itu surat cinta? Haru semakin ketar-ketir. Membayangkannya saja tidak mampu. Dia beranjak dari duduknya dan pergi ke dapur untuk menghindari perasaan aneh yang dialaminya. Sementara Hana membuka dan membaca surat dari dalam amplop tersebut.
Dear Hana,
Agak aneh rasanya menulis surat seperti ini. Aku lebih terbiasa mengetik keyboard komputer atau hape. Ini baru pertama kalinya aku menulis surat. Aku benar-benar merasa menyesal karena pernah mengkhianati persahabatan kita. Kenapa aku baru sadar sekarang kalau kamu terlalu baik untuk menjadi teman dekatku, Han. Aku yang tidak baik untuk menjadi temanmu. Aku selalu merasa iri dengan pesonamu yang dapat membuat orang-orang di sekitarmu bisa merasa nyaman didekatmu. Entah kenapa aku tidak merasakan pesonamu itu sebelumnya. Aku merasa iri hati, tidak aman dan rasa takut untuk tersaingi denganmu. Pikirku dulu kenapa aku bisa kalah dengan seorang gadis berambut nenek yang hanya memiliki citra siswa baru pindahan dari Jepang. Aku merasa semakin tidak terima saat melihatmu semakin dekat dengan Haru. Aku sudah menyadarinya sejak lama kalau sebenarnya tidak sekalipun kalian menganggap saudara satu sama lain. Hubunganmu dan Haru berbeda dengan hubunganku dengan kak Zeno. Apakah sekarang kamu sudah menyadarinya?
Walaupun kita tidak dapat bertemu lagi, aku harap kamu bisa memaafkanku. Aku benar-benar menyesali segalanya sampai aku tidak bisa tidur nyenyak. Rasa bersalah terus saja hinggap melalui naluriku. Sekali lagi aku mohon maaf padamu, Han. Jika nantinya kita berpapasan, aku ingin kita bisa saling menyapa walaupun hanya sebatas tersenyum di bibir saja. Maafkan aku juga karena tidak bisa menjengukmu, walau sebenarnya aku ingin. Terima kasih karena sudah mampir di hidupku sebagai teman yang baik. Aku akan memperbaiki sifatku yang keras ini. Demi kamu. Demi keluargaku. Dan juga demi diriku sendiri. Aku sayang padamu, Hana.
Mantan temanmu,
Zuna Beethoven Hermawan
Tak terasa air mata Hana meleleh kembali. Jujur, sebenarnya dia merasa marah dan kecewa pada Zuna. Tetapi mengingat begitu banyak kenangan dengannya, membuat Hana hanya ingin memeluk Zuna dan memaafkan perbuatannya. Bagaimanapun juga Zuna pernah menjadi satu-satunya teman yang membantunya beradaptasi disini. berkat Zuna, dia menjadi mengenal Kusniyah dan Reta. Dia juga menjadi akrab dengan teman-teman di kelasnya.
“Zen, kenapa Zuna tidak kesini bersamamu?” tanya Hana sembari mengusap air matanya dengan sapu tangan milik Zeno. Yang ditanya, hanya diam saja sambil menunduk. Seakan-akan tidak tahu harus menjawab apa. Hana memegang kedua pundak Zeno. Keduanya saling bertatapan. Hana menatapnya dengan mata tajam. “Apa ada sesuatu yang tidak aku tahu? Kenapa Zuna menulis surat yang berisi kata-kata perpisahan denganku? Memangnya dia mau kemana? Zeno, aku butuh penjelasan.”
Hana mencoba untuk tegar. Ditahannya air mata yang akan segera meleleh kembali. Zeno menengok ke kanan dan ke kiri. Sepi. Dia tampak berusaha menimbang-nimbang apakah harus mengatakan kebenaran pada Hana ataukah tidak. Namun setelah dipikir-pikir lagi, Hana harus mengetahui semuanya. Bagaimanapun juga Hana dan Zuna juga pernah berteman dekat sebelumnya.
“Sebenarnya satu bulan yang lalu, kehadiranku dan Zuna ditolak oleh om dan tante. Kami kesini untuk meminta maaf padamu. Tetapi tante Nobuko menjelaskan kalau kamu masih butuh waktu untuk istirahat dan berharap kami tidak menemuimu untuk sementara waktu. Tidak lama setelah hari itu, Zuna diharuskan memiliki kesepakatan dengan kedua orang tuamu dan pihak sekolah untuk menjauh darimu. Perbuatan Zuna membuat hubunganku juga semakin merenggang dengannya. Aku masih belum memaafkan perbuatannya. Aku juga merasa malu untuk bertemu denganmu, Han. Makanya itulah kenapa pada waktu itu aku tidak bisa datang menjengukmu bersama dengan teman-teman. Seumur hidup Zuna tidak diizinkan untuk dekat denganmu lagi.”
Air mata pun kian tumpah. Hana tidak mampu membendung perasaannya lagi. kini dia menangis di dalam pelukan Zuno. Zuno juga menangis sembari membalas pelukan gadis itu. Hana menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Nggak! Kenapa aku tidak bisa lagi bertemu dengan Zuna?! Zuna itu juga temanku! Aku selalu memaafkannya. Kamu juga harus memaafkannya, Zeno. Kalau tidak ada kakak di sisinya lagi, bagaimana Zuna bisa bertahan?!! Dia membutuhkanmu!”
“Iya, iya, Han. Aku menyesal sudah mengabaikannya. Aku akan lebih memperhatikannya. Maaf, Han. Maaf..,” Zeno mengusap-usap rambut Hana lembut. Dia berusaha untuk tidak menangis lagi. tetapi entah kenapa air mata terus saja mengalir.
Kejadian itu disaksikan kembali oleh Haru. Ia tahu betapa sakitnya yang mereka rasakan. Tetapi disini Haru juga merasakan rasa sakit yang berbeda. Entah kenapa Haru merasa tidak suka melihat keduanya berpelukan. Walaupun ia tahu pelukan itu hanyalah sebatas arti pelukan dari seorang teman.
***