Rudi dan sebagian teman-temannya yang tidak berhasil kabur segera didisiplinkan di ruang BK. Mendengar adanya kejadian pemukulan di sekolah membuat para guru langsung kembali ke sekolah, terutama guru BK. Haru dan keempat anggota band-nya bersedia menjadi saksi atas kejadian pemukulan itu.
Adiguna datang juga disana setelah dihubungi oleh pihak sekolah. Rudi dan teman-temannya memohon ampun kepada Adiguna karena beliau ingin kejadian yang menimpa putrinya untuk ditindaklanjuti di kantor polisi. Adiguna menolak dengan keras permintaan maaf dari Rudi dan teman-temannya. Nafasnya terus saja menderu naik-turun tidak beraturan.
Guru BK meminta beliau untuk menenangkan diri. Para guru juga meminta Adiguna untuk tidak menuntut para siswa di kantor polisi. Rudi dan teman-temannya akan diadili secara langsung dengan pihak sekolah. Tentunya pihak sekolah juga turut memberikan keadilan untuk Hana.
Dalam mewujudkan keadilan itu, para guru memutuskan untuk melaporkan kejadian ini nanti pada layanan pengaduan di Kemdikbud jika diperlukan. Tentunya orang tua dari para siswa yang melakukan kekerasan harus datang terlebih dahulu untuk diberikan informasi terkait kejadian kekerasan yang dilakukan oleh anaknya di sekolah. Mendengar hal itu, Rudi mulai memberontak.
“Kenapa hanya kami saja yang dilaporkan?! Padahal Zuna yang menyuruh kami memukuli Hana!”
Bagaikan disambar petir, wajah Zeno langsung pucat pasi saat mendengar seruan dari Rudi. Ternyata tidak hanya dia saja yang mendengar pengakuan yang keluar dari mulut Rudi. Orang-orang di dalam ruangan itu juga mendengar perkataannya.
“Zu.. Zuna? Zuna yang menyuruh kalian?” tanya Zeno dengan getir.
“Iya! Dia menyuruh kami untuk memukuli Hana dan memberikan imbalan sebungkus rokok. Kami hanya disuruh! Orang yang memukuli Hana sebenarnya adalah Zuna! Bukan aku!” teriaknya.
Haru mulai naik pitam. Dia menghampiri Rudi dan menonjok pipinya berulang kali. Para guru mencoba untuk memisahkan mereka berdua. Sedangkan Adiguna merasa puas melihat Haru memukul orang yang sudah menyakiti anak tirinya.
“KALAU KAMU PUNYA OTAK, KAMU NGGAK BAKAL MENURUTI PERMINTAANNYA! KAMU YANG SUDAH MEMUKULI HANA. TAPI KAMU MASIH BILANG KALAU BUKAN KAMU PELAKUNYA?! AWAS KAMU! KAMU DAN ANGGOTA GENG-MU..,”
“Haru, cukup,” guru BK memotong perkataan Haru. Lantas beliau berjalan ke arah Adiguna. “Pak, sebaiknya anda, Haru dan teman-temannya sudah bisa kembali ke rumah. Kami sudah cukup mendapatkan keterangan dari mereka. Nanti kami akan menghubungi orang tua dari para siswa, terutama orang tua Zuna dan kami akan segera menindaklanjutinya.”
Adiguna berdiri sembari mengancingkan jas hitamnya. Beliau menatap guru BK dengan tajam.
“Saya tidak jadi melaporkan kejadian ini ke kantor polisi. Tetapi saya mohon berikan keadilan untuk anak saya. Beri mereka sanksi yang sudah seharusnya.”
“Baik, pak. Sekali lagi saya mewakili pihak sekolah meminta maaf atas kejadian yang menimpa Hana.”
Teman-teman Haru pamit pulang. Haru bisa melihat kesedihan di mata salah satu temannya, Zeno. Sinar matanya mulai redup semenjak ia mendengar pernyataan dari Rudi tadi. Zeno pasti tidak menyangka bahwa adiknya bisa melakukan perbuatan jahat seperti itu.
“Zeno, kamu harus tegar ya,” kata Haru sembari menepuk punggung Zeno.
“Kamu juga. Maaf, aku harus segera pulang. Aku akan menceritakan kejadian ini kepada kedua orang tuaku. Bagaimanapun juga Zuna harus mempertanggunjawabkan perbuatannya. Maaf atas perbuatan adikku pada Hana. Titip salam ya buat Hana.”
***
Zuna berlari-lari kecil menghampiri ruangan UGD. Sesampainya di tirai kedua yang tertutup, Zuna menarik nafas perlahan dan mulai berekspresi seakan-akan kecemasan ada di wajahnya.
Dibukanya tirai itu lebar-lebar. Terlihat Hana sedang terbaring lemah di atas emergency stretcher bed. Gadis itu belum sadarkan diri. Namun Zuna tampak puas melihat banyaknya lebam di sekujur tubuh Hana.
“Hana.. Hana!!! Kenapa kamu jadi seperti ini? Siapa yang tega melakukannya? Siapa?!” Zuna berjalan mendekati Hana di sebelah kanan dengan isak tangis. Di sisi yang berlawanan, ada Reta dan Kusniyah yang sebelumnya ikut mengantar Hana ke rumah sakit.
“Zuna, sebaiknya kamu tenang dulu. Ini rumah sakit. Nggak boleh terlalu berisik,” ucap Reta kemudian. Kusniyah juga masih menangis, tanpa suara.
“Gimana aku nggak histeris, melihat sahabatku terbaring dengan penuh luka seperti ini. Dimana tante Nobuko? Apa mamanya sudah dihubungi?”
“Sudah tadi. Mungkin sekarang mama Hana sedang dalam perjalanan,” jawab Reta.
“Makasih ya sudah meneleponku, Ta. Lebih baik sekarang kalian pulang dulu. Aku akan gantian menjaganya sampai mamanya datang.”
Zuna berusaha untuk terlihat alami di depan teman-temannya. Dia sengaja ingin menunjukkan sisi kepeduliannya. Sebenarnya dia sangat malas harus berlari kesini dan menjaga Hana. Namun dia harus melakukan itu. Kalau tidak, maka akan menjadi bumerang bagi dirinya. Dia pikir Reta dan Kusniyah menolak untuk pergi. Akan tetapi ternyata keduanya segera mengambil tas ransel dan bersiap untuk pulang.
“Titip Hana ya,” ucap Reta. Zuna mengangguk sembari mengusap air matanya yang jatuh. Sebelum pergi, Reta dan Kusniyah menutup tirai selambu tersebut. Hanya tinggal Zuna yang menjaga Hana sendirian. Zuna menghapus air mata yang sedari tadi menetes. Dia pun tersenyum saat melihat kondisi temannya tersebut.
Tak lama Hana mulai tersadar. Pandangannya masih tampak samar. Dia mulai merasakan rasa sakit pada tubuhnya. Sulit sekali untuk terbangun dari tidur.
“Hana, kamu sudah sadar rupanya. Sudah, berbaring saja dulu,” mendengar ucapan Zuna membuat Hana teringat kembali kejadian yang lalu. Dia mulai menangis sesenggukkan. “Kenapa kamu menangis?”
“Kamu bilang kalau kak Haru menungguku di belakang sekolah. Tapi ternyata disana tidak ada dia. Kak Rudi dan teman-temannya malah memukuliku.”
“Ap..apa?!” Zuna berpura-pura terkejut. “Rudi kan teman Haru yang nakal itu!”
Kepala Hana agak pusing. Dia berusaha menyusun kepingan puzzle yang terjadi padanya. Lambat laun andangannya mulai tampak jelas. Dia mulai melihat Zuna dengan tatapan nanar.
“Zun, apa benar kak Haru yang menyuruhku kesana?” pertanyaan Hana membuat Zuna sedikit tergagap. Hana mengeluarkan isi pikirannya lagi. “Bukan kamu kan?”
“Ap.. apanya Hana? Itu memang benar, Haru yang memintamu untuk datang kesana.”
Hana mulai menatapnya dari ujung kaki sampai ujung kepala. Zuna merasa sedang diinterogasi olehnya. Kakinya mulai gemetaran. Ia takut sekali ketahuan.
“Kak Rudi bilang ada yang memberitahunya tentang masa laluku. Selain mama, hanya kamu dan kak Haru yang mengetahuinya. Aku merasa tidak mungkin kalau kak Haru tega melakukannya.”
Zuna langsung membentak Hana, “Jadi maksudmu aku tega melakukannya padamu?!” Hening. Tidak ada jawaban. Hana hanya melihatnya dengan tatapan penuh selidik. Zuna tidak mampu menyembunyikannya lagi. Dia tertawa kecil. “Yah, sudah ketahuan ya! Nggak seru ih! Memang iya, aku yang menjebakmu! Aku yang mencelakakanmu! Bagaimana rasanya? Enak kan?!”
“Zuna..,” belum sempat Hana berbicara lagi, tiba-tiba tirai terbuka lebar-lebar. Zuna terkejut melihat adanya Reta, Kusniyah, dan Nobuko. Kakinya lemas seketika. Dia terduduk di lantai. Tampak kemarahan di wajah ketiga orang itu.
“Reta, ajak dia keluar dulu. Tante ingin berbicara dengannya,” ucap Nobuko dengan nada getir. Reta dan Kusniyah membantu Zuna untuk berdiri. Baru saja keluar dari ruang UGD, Nobuko menarik lengan Zuna ke sudut dan mendorongnya sampai tertabrak tembok.
“Maaf tante. Maafkan saya. Saya tidak serius melakukannya!” Zuna mengatupkan kedua tangannya memohon ampun pada Nobuko. Kini riak-riak air mata benar-benar keluar dari matanya. Nobuko menampar pipinya dengan keras.
“Tidak serius, katamu?! Kamu sudah melihat penderitaan Hana yang seperti itu, tapi kamu masih bilang tidak serius?! Kamu kira yang kamu lakukan itu cuma main-main?!” bentak Nobuko. Kemarahannya mulai memuncak. Kusniyah mencegah Nobuko yang hendak menampar Zuna lagi. Nobuko merasa kalut dan menangis sambil berjongkok.
“Anakku..,”
“Puas kamu?!” giliran Reta yang berhadapan dengan Zuna. “Aku sudah curiga sejak awal. Kamu mendatangi kami secara tiba-tiba pasti karena memiliki maksud tertentu.”
Zuna mengusap air matanya. Dia pun mendorong Reta dengan kerasnya.
“Lalu kenapa kamu beritahu aku untuk segera kesini seolah-olah kamu tidak tahu apa-apa?! Sudah bisa akting, hah?!”
“Bukannya yang berakting sejak awal itu kamu?” ucapan Reta membuat Zuna mulai menciut. “Bilang kalau Hana itu sahabat kamu, berpura-pura menangis di atas lukanya. Seolah-olah kamu tidak tahu apa-apa. Tadinya aku muak saat melihatmu datang, tetapi aku menahannya. Aku ingin mencari bukti yang lebih jauh. Tapi ternyata dugaanku benar. Persembunyian kami membuahkan hasil. Kami bisa melihat dengan jelas seperti apa kamu, Zuna!!!”
Kusniyah mencoba menenangkan Reta. Dia bisa melihat orang-orang di sekitar sudah mulai mengamati mereka. Lalu ia membantu Nobuko berdiri kembali dan hendak mengantarnya masuk ke ruang UGD. Namun langkah Nobuko terhenti. Dia berbalik melihat ke arah Zuna lagi. Spontan Zuna menunduk.
“Saya tidak akan pernah memaafkanmu. Jangan dekati anak saya lagi. Kamu tahu, ibumu pasti kecewa dengan perbuatanmu itu. aku mengasihani ibumu karena memiliki anak sepertimu.”
DEG! Jantung Zuna semakin berdegup kencang. Dia bisa membayangkan seberapa kecewanya ibunya dengannya nanti. Dia pasti akan segera dilaporkan ke pihak sekolah. Entah apa jadinya nanti. Dia terduduk lesu di lantai. Sementara itu Reta dan Kusniyah mengantar Nobuko memasuki ruangan UGD kembali. Mereka meninggalkan Zuna yang mulai merasakan buah yang dia tanam sendiri.
***
Sedari awal Haru memang begitu membenci kehadiran Hana. Sikapnya yang selalu bermuka dua, sangat cerewet, selalu mengekor pada dirinya tanpa alasan yang jelas, tawanya yang membuatnya muak, dan kejujurannya yang semakin membuat Haru semakin ingin membencinya. Namun kini Haru semakin menyadari bahwa gadis itu hanyalah gadis lugu yang tidak tahu apa-apa. Seorang gadis yang hanya menginginkan kasih sayang dari keluarga barunya. Seorang gadis yang hanya menginginkan kehidupan yang lebih berwarna di tempat ini.
Saat melihat Hana berbaring tidak berdaya di emergency stretcher bed membuatnya ingin segera memeluknya. Namun ia tidak sampai hati memeluknya. Walaupun mungkin Hana tidak merasakan rasa sakit di sekujur tubuhnya, tetapi Haru tahu bahwa jiwanya terasa sangat sakit. Setelah apa yang telah dialaminya tadi pasti akan membuatnya takut untuk kembali ke sekolah. Haru merasa sangat bersalah karena terlambat menyelamatkan adik tirinya itu.
“Maaf, Hana. Sebagai kakak, aku memang tidak berguna,” Haru mengatakannya dengan tangisan tiada henti. Ia memegang erat tangan kanan Hana.
Wajah Haru tertutupi rambutnya yang berantakan. Keringat bercucuran di sekujur tubuhnya. Wajah dan lengannya penuh luka akibat perkelahian tadi. Namun dia sama sekali tidak memikirkan kondisinya sama sekali. Di dalam pikirannya hanya ada Hana saja. Haru begitu mengkhawatirkan kondisi Hana. Dia terus saja menangis dan menyalahkan dirinya.
Hana mengusap-usap rambut Haru secara perlahan. Rasa sakit yang seharusnya ia rasakan pada tubuhnya seakan-akan tidak terasa sama sekali. Kepalanya hanya masih pening dan begitu sulit untuk menggerakkan tubuhnya.
Hana bisa melihat dengan jelas begitu banyak lebam di tubuhnya. Tetapi hanyalah sebatas itu. Satu hal yang hanya ingin Hana lakukan sekarang yaitu menghibur kakak tirinya. Senyuman menghiasi bibirnya.
“Hana tidak merasa sakit kok, kak. Cuma pusing saja. Aku saja yang bodoh karena tidak bisa melindungi diriku sendiri. Seharusnya aku lebih waspada."
“Seharusnya aku yang melindungimu, Han. Kamu bilang luka mu ini tidak sakit sama sekali?! Itu sama sekali nggak wajar, Han. Kamu harus tahu, tidak apa-apa kamu tidak merasakan sakit, asalkan jangan kamu tahan semua luka itu. Kamu sakit seperti ini, aku juga merasa sakit. Aku nggak pantas jadi kakakmu!”
Hati Hana berdesir mendengarnya. Hana memang benar-benar tidak merasakan sakit secara fisik. Tetapi dia menyadari bahwa ia menahan rasa sakitnya di dalam batinnya. Dia membenci kebodohannya karena tidak menyadari jebakan dari teman terdekatnya. Celakanya terbiasanya dia dengan rasa sakit pada batinnya yang selalu mengitarinya dulu terbawa sampai sekarang dan Hana tidak mampu mencegahnya.
Dia lebih baik berpasrah diri daripada melawan orang-orang yang sudah melukainya. Di dalam relung hatinya dia mencoba untuk memaafkan orang-orang yang sudah menyakitinya, walaupun sebenarnya dia tidak pernah menerima kata maaf yang tulus dari mereka. Dia menutupi rasa kebenciannya pada orang-orang yang telah menyakitinya dengan berkedok bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kehidupan kelam itu akan segera berakhir.
Yang Maha Kuasa mengetahui segalanya. Hana tidak berhak melukai orang-orang yang telah menyakitinya. Biarlah kehidupan berjalan apa adanya.
Saat kehidupan baru mulai menyertainya, Hana hanya berharap bahwa kehidupan baru itu lebih berwarna. Dia tidak ingin terlalu lama memendam rasa benci lagi. Dia hanya ingin hidup dengan rasa damai dan terbebas dari jeratan luka itu.
Namun ternyata itu semua tidaklah mudah. Jeratan itu masih ada. Bahkan semakin membelenggunya. Memikirkan hal itu saja membuatnya mulai menangis tersedu-sedu.
“Hana..,” Haru semakin khawatir melihat adik tirinya yang tiba-tiba saja menangis. “Kenapa, Han? Ada yang sakit?” tanyanya sambil memegang erat tangan Hana.
Gadis itu menggeleng sembari terisak.
“Saat aku bertemu dengan kak Rudi, aku mengatakan kalau kak Haru tidak perlu lari dari masalah dan mencari kesenangan sesaat. Karena lambat laun kakak akan kembali berada di jurang masalah yang sama. Kak Haru harus menghadapinya. Mengingat hal itu membuatku lupa diri sesaat. Sebenarnya kata-kata itu bukan untuk kak Haru ataupun kak Rudi. Tetapi untukku. Untuk Hana yang pengecut. Hana terlalu pengecut untuk menghadapi orang-orang yang telah menyakiti diri Hana. Hana yang sekarang lari dari mereka dengan tersenyum kemenangan. Menganggap kalau semuanya telah berlalu. Kehidupan baru itu sudah menunggu. Padahal kehidupan yang aku jalani ini hanyalah kesenangan sesaat. Tanpa tahu kalau ternyata aku bertemu lebih banyak duri. Aku malah membiarkan diriku terjerembab di dalamnya dengan penuh tusukan duri di tubuh. Hana tidak pernah berubah. Hana tetaplah Hana yang dulu. Hana tidaklah pantas hidup!”
tangisan Hana semakin membahana.
Tangisannya terdengar sampai membuat Adiguna, Nobuko, Reta, dan Kusniyah segera membuka tirai untuk melihat kondisi Hana. Nobuko sendiri terkejut karena Hana memaksakan diri untuk bangun. Namun Haru langsung memeluknya dengan erat. Dia berusaha menenangkan diri adik yang telah disayanginya itu.
“Ssshhh.. pantas atau tidaknya kamu hidup bukanlah kamu yang menentukan. Kamu harus tetap hidup karena banyak orang yang sayang sama kamu disini. Tidak perlu memikirkan mereka yang melukaimu. Pikirkan saja kami, orang-orang yang menyayangimu. Kamu sayang kan dengan diri kamu? Kamu sayang kan dengan kami? Ingat, diri kamu itu unik. Diri kamu itu spesial. Tidak akan pernah ada Hana yang lain di dunia ini. Jadi tetaplah menjadi Hana yang ada. Menjadi Hana yang tetap bertahan hidup.”
***