Seperti biasa, malam itu mama, aku, dan papa sedang makan bersama di meja makan. Sedangkan kak Haru menenggelamkan diri di dalam kamarnya. Ia tidak pernah makan bersama kami. Aku menjadi tergelitik untuk bertanya kepada papa tentang bagaimana kak Haru yang dulu. Setelah menelan makanan terakhir, ku beranikan diri untuk menatap papa.
“Pa, saya boleh bertanya?” tanyaku hati-hati. Papa tersenyum padaku dan menatapku dengan penuh perhatian.
“Ya. Tanya apa, sayang?” bingo! Rupanya papa sedang dalam suasana hati yang bagus. Semoga papa tidak marah jika aku bertanya tentang kak Haru. Mataku melirik ke arah mama sebentar. Rupanya beliau juga sedang memperhatikanku.
“Kak Haru memang dulunya pendiam seperti ini ya, pa?” pertanyaanku membuatnya terbatuk-batuk saat beliau sedang meminum air putih. Papa terbatuk-batuk sebentar, lalu menatapku lagi. Kini dengan tatapan datar.
“Yap, seperti itulah kakakmu,” ucap beliau singkat. Sepertinya papa kurang suka jika aku membahas kak Haru. Rasanya seolah-olah seperti ada jurang pemisah di antara hubungan mereka. Aku harus berusaha lebih keras lagi untuk bertanya lebih lanjut. Ayo Hana!
“Tapi apa yang saya dengar dari teman-teman katanya kak Haru itu dulunya begitu ramah, bergaul dengan siapapun, bahkan ikut ngeband juga loh, pa! Saya semakin kagum deh dengan kak Haru!” seruku dengan menunjukkan wajah bangga. Papa baru saja akan menyendok makanan untuk suapan terakhirnya. Namun ia menghentikan aktivitasnya ketika mendengarku berbicara lagi. Ia menatapku tanpa berkata apa-apa.
“Loh, ternyata Haru anggota band juga seperti kamu, Han? Wah, anak-anak mama hebat di bidang seni ya. Hmm.. ya kan, pa?” mama ikut berbicara. Hal itu membuat papa berdeham setelah sebelumnya terbatuk-batuk lagi. Mama menuangkan air putih di gelasnya lagi. Setelah beliau meminumnya, ia melihat ke arahku lagi.
“Itu Haru yang dulu, nak. Sekarang dia Haru yang berbeda. Bukan lagi siswa teladan. Hanya suka cari masalah bersama dengan teman-teman berandalnya itu. Entahlah.. apa dia tahu kalau yang sudah dia lakukan selama ini hanya merugikan dirinya sendiri.”
Aku melihat kekecewaan di mata papa. Beliau langsung menunduk agar aku tidak begitu menyadari kesedihannya. Rupanya selama ini papa juga mengkhawatirkan keadaan kak Haru yang semakin jauh darinya. Tentu saja penyebab dari ini semua adalah kehadiranku dan mama. Tetapi aku juga tidak bisa menyalahkan keputusan mama yang telah memberikanku seseorang yang baik dan penyayang seperi papa.
“Pa,” panggilku. Papa kembali melihatku. “Saya tahu bahwa sebenarnya di hati yang terdalam, kak Haru sayang papa. Sayang teman-temannya. Sayang dengan dirinya sendiri. Saya tidak tahu kapan kak Haru akan kembali seperti kak Haru yang dikenal oleh semua orang. Tetapi yang pasti, kak Haru akan kembali kepada kita semua, pa. Saya janji akan selalu berada di dekatnya dan memastikan bahwa kak Haru baik-baik saja.”
“Hana,” papa bangkit dari duduknya dan menghambur ke arahku. Beliau memelukku dengan erat. Ku rasakan sesengguk dari isak tangisnya. “Terima kasih. Papa sangat berterima kasih padamu karena kamu tidak menyerah begitu saja padanya. Haru dan papa begitu beruntung memilikimu sebagai bagian dari keluarga kami, nak. Terima kasih.”
Aku tidak dapat berkata-kata. Namun air mataku mulai mengalir dalam sekejap. Kesedihan yang dirasakan papa tersampaikan jelas padaku. Ku tepuk-tepuk punggung papa perlahan. Berusaha menenangkannya. Aku juga melihat mama yang sudah berdiri di samping papa sembari mengusap air mata yang mengalir di pipinya.
***
Hari itu hari minggu. Aku melihat jelas di kalendar yang terpampang di atas meja belajar. Ku balik beberapa lembar dari kalender itu. Terdapat salah satu tanggal yang sebelumnya sudah ku lingkari dengan spidol merah. Aku pun tersenyum melihat kalender tersebut. ‘Sebentar lagi! Aku harus memberikan kado apa ya?’ pikirku sembari terus tersenyum. Terdengar suara seseorang sedang menaiki tangga. Dengan segera ku buka pintu kamar.
“Mama!” seruku senang. Mama agak terkejut melihat kehadiranku di depan pintu kamarku secara tiba-tiba. Aku tertawa melihatnya.
“Hana, untung saja makanan kakakmu tidak jatuh,” kata mama sembari menyeimbangkan nampan berisi sepiring nasi dan ayam goreng. Hidungku mencium aroma lezat yang terasa dari ayam goreng tersebut. “Hussh! Ini buat kakak kamu. Punya Hana di meja makan dong.”
“Iya, mama. Saya sudah tahu kok. Sini, biar Hana yang membawakannya.”
“Tap.. tapi..,” mama agak ragu untuk memberikan nampan padaku.
“Ma, setiap pagi kan Hana yang memberikannya kepada kak Haru. Jadi..,” nampan tersebut segera kupindahkan di tanganku. “Biar saya saja ya..,”
Mama tersenyum sembari membelai kepalaku.
“Kamu yakin?” tanyanya pelan. Aku langsung menganggukkan kepalaku dengan mantap. Setelah itu mama melihat pintu kamar kak Haru yang masih tertutup dan melihatku lagi. “Mama percaya pada Hana,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Setelah itu beliau segera berlalu.
Aku pun menarik nafas panjang lalu menghembuskannya. Ku ketuk pintu kamar kak Haru. Tidak ada jawaban. Ku ketuk lagi, berharap ia membuka pintu kamarnya. Namun hasilnya nihil. Ya, sudahlah. Biasanya juga seperti ini. Ku tinggalkan nampan di bawah lantai. Aku pun hendak menuruni tangga. Namun langkahku terhenti. Aku melihat nampan itu lagi. Kali ini ku buang rasa bimbang di hatiku. Ku ambil nampan itu lagi dan mengetuknya sekali lagi. Hening. Ku beranikan diri untuk membuka pintu kamarnya. Kepalaku melongok ke dalam ruangan. Tidak ada siapapun. Aku pun memasuki kamarnya dan menutup pintu secara perlahan.
“Oh, jadi ini kamar kak Haru,” kataku sembari terkesima dengan ruangan kamarnya yang begitu rapi. Beberapa poster terpampang di dinding. Ada gitar, ada patung mini doraemon dan kawan-kawannya, ada radio juga di samping gitar, lalu buku-buku yang tertata rapi di tempatnya. Hanya kasurnya saja yang masih berantakan. Aku menengok di seluruh ruangan mencari dimana kak Haru berada. Tak lama terdengar suara orang mandi di kamar mandi yang berada di sudut ruangan. “Woah, makanya kak Haru betah di dalam kamar. Kamar mandinya saja di dalam kamar. Televisinya juga!” tunjukku ke arah televisi berada.
Aku agak sedikit cemburu karena di dalam kamar kak Haru ada televisi. Sedangkan aku selalu menonton televisi di lantai bawah. Aku menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya. Setelah itu nampan ku letakkan di atas meja yang berlapiskan kaca. Dengan segera ku rapikan kasurnya yang berantakan. Setelah merapikannya, aku mengusap keringat di dahi dengan perasaan lega.
“Kalau begini kan sudah sempurna,” ujarku senang. Tubuhku berbalik ke arah dimana buku-buku yang tertata rapi di dalam lemari berlapiskan kaca. mataku melihat berbagai judul buku yang tersusun disana. Lalu mataku terpaku ke arah buku yang sampulnya bertuliskan ‘LAGU KARYA HARU’. Karena penasaran, aku langsung membukanya tanpa ijin. Ku jatuhkan tubuh di atas kasur sembari membaca tangga-tangga nada yang pernah ditulis oleh kak Haru. Aku mencoba menyanyikannya. Dengan salah satu kaki mengayun ke kanan-kiri.
“NGAPAIN KAMU DISINI?!” spontan aku bangkit dari tidurku. Namun aku masih terduduk di kasur saking kagetnya. Tubuhku sedikit bergetar melihat kehadiran kak Haru. Wajahnya menunjukkan amarah kepadaku. Ternyata ia sudah selesai mandi. Ia memakai kaos berwarna merah dengan handuk yang terlilit di pinggangnya. Lantas matanya beralih melihat buku yang ku pegang sedari tadi. Melihat hal itu kak Haru semakin geram. Dengan gesit ia menarik buku itu dariku. “Siapa yang ngijinin kamu membaca buku ini?!” desisnya sembari menepuk-nepuk buku itu di pipiku. Mataku tidak berani melihatnya. Aku segera berdiri dan hendak pergi. Namun kak Haru malah menarik tanganku dengan kuatnya seakan-akan tidak ingin membiarkanku pergi.
“Kak, sakit,” ku coba lepaskan tanganku darinya. Ia melonggarkan pegangannya dan menarikku hingga berbalik tepat dihadapannya. Kepalaku masih tertunduk. Ku coba untuk menguras rasa takut ini menjadi berani dihadapannya. Karena kak Haru tidak berkata apa-apa, segera ku tegakkan wajahku dihadapannya. Kak Haru langsung menyengir.
“Woah, sudah semakin berani rupanya!” ejeknya seketika.
“Kak Haru tidak boleh bersikap jahat pada adiknya. Saya sudah tahu apa itu bermuka dua. Saya.. saya bukan bermuka dua. Saya selalu jujur pada papa, pada mama, pada Zeno, pada Zuna, pada semuanya! Terutama pada kak Haru juga!” seruku dengan wajah kesal.
“Wah rupanya kamu sudah terlalu banyak bicara ya? Pasti Zeno sangat bangga padamu. Dia seperti anjing tolol yang terus saja mengekor padamu.”
Aku mengerutkan kening tidak mengerti.
“Anjing tolol? Anjing kan hewan yang lucu. Tolol itu.. apa?” tanyaku pada diri sendiri. Kak Haru melepaskan lenganku dan tertawa terbahak-bahak. Aku pun terperangah melihatnya. Tidak pernah sekalipun aku melihat kak Haru tertawa. Walaupun masih terlihat babak belur, namun kini tampak bersinar. Aku seperti baru saja melihat wajah tampan seorang malaikat.
Kak Haru berhenti tertawa saat melihatku lagi. Dia berdeham dan melihat ruangan sekitar. Aku pun tersenyum dan mengikuti wajahnya yang menengok ke kanan-kiri.
“Kenapa? Kenapa kamu melihatku seperti itu, hah?!” wajahnya kembali masam. wajahku juga langsung cemberut ketika menyadari hilangnya senyuman itu. Aku berbalik dan berjalan-jalan di sekitar ruangan, melihat-lihat berbagai barang disini. “Hey, kenapa kamu malah cemberut begitu?! Hee.. telingamu tuli apa?!!”
Aku hanya tersenyum kecil berusaha tidak mempedulikannya. Sekali-kali aku juga ingin menjahilinya. Kemudian mataku tertumbuk pada sebuah foto berpigura yang berada di atas meja. Aku segera mengambil dan melihatnya dengan takjub.
“Ini pasti foto mama kak Haru. Wajahnya memang sangat cantik!” seruku takjub. Aku agak terkejut ketika kak Haru merebut pigura itu dariku dan mendorongku hingga terjatuh ke lantai. Tanpa sadar lenganku tergores sudut lapisan kaca pada meja yang tidak jauh di belakangku. Darah mengucur deras di lenganku. Aku segera berdiri tanpa rasa sakit.
“DASAR LANCANG! NGGAK TAHU DIRI! Tidak aku ijinkan kamu sedikitpun untuk mengejek ibuku! PERGI SANA!”
Wajahku tertunduk sedih. Padahal kak Haru baru saja tertawa. Hampir saja hubungan kami akrab. Tetapi aku malah mengacaukannya lagi dan lagi. Aku pun berbalik dan menarik gagang pintu kamarnya.
“Tunggu!” aku menengok ke arahnya lagi. Kak Haru berjalan mendekatiku. Suasananya semakin memanas. “Jangan harap mama mu bisa menggantikan kedudukan ibuku. Kamu tidak boleh masuk kesini lagi, MENGERTI?!!” bentakan kak Haru membuatku semakin tertunduk. Tanpa berkata apapun lagi aku segera keluar dan memasuki kamarku dengan menahan air mata yang kian menyeruak.
***