Nobuko Asuka. Seorang ibu rumah tangga yang begitu sayang pada keluarga kecilnya. Dulunya begitu. Nobuko terlahir sebagai anak yatim piatu. Sejak kecil ia ingin sekali merasakan bagaimana hangatnya sebuah keluarga. Di usianya yang ke-dua puluh, ia bertemu dengan seorang pria dari Indonesia. Mereka berkenalan di tempat Nobuko bekerja, kedai udon miso-nikomi. Makanan itu juga menjadi makanan kesukaan pria tersebut. Setelah melakukan pendekatan selama tiga tahun, akhirnya mereka menikah. Setahun kemudian, lahirlah Hana Asuka. Sejak kecil Asuka adalah anak yang ceria. Walaupun ia selalu bercerita dengan wajah sedih karena teman-temannya selalu melihatnya dengan tatapan aneh dikarenakan warna rambutnya yang beruban. Dokter mengatakan hal itu dikarenakan genetik atau bisa disebut juga premature graying of hair. Akan tetapi ayahnya selalu menghiburnya. Begitu juga dengan Nobuko.
Namun kehangatan keluarga itu tidak berlangsung lama. Setelah Hana berusia 12 tahun, perusahaan game milik suaminya mengalami kebangkrutan. Hal itu membuat perubahan dari hidup keluarganya. Nobuko harus bekerja lagi untuk menghidupi keluarganya. Sementara ia menitipkan Hana pada suaminya. Akan tetapi ternyata suaminya malah semakin depresi dan terus mabuk-mabukkan di rumah. Ia juga menelantarkan Hana. Nobuko cukup bersabar untuk bisa terus bangkit demi keluarganya. Setiap kali Nobuko menyiapkan seragam sekolah Hana dan meninggalkan mereka bekerja, suaminya malah membuang seragam Hana di wastafel dan menyiramnya dengan minuman keras. Tentu saja Hana menangis melihat perbuatan ayahnya.
Setiap Hana mencoba menghentikan aksi ayahnya dengan tangan kecilnya, ia malah dipukuli sampai lebam. Akhirnya ia pergi ke sekolah dengan seragamnya tersebut. Gurunya melaporkan tubuh Hana yang lebam disertai bau akohol yang menyeruak dari tubuhnya pada Nobuko. Sampai Nobuko bertengkar dengan suaminya. Bertahun-tahun lamanya ia dan Hana sering dipukuli olehnya. Sampai pada akhirnya Adiguna bertamu ke rumahnya saat suaminya tertidur. Nobuko menumpahkan semua keluh kesahnya hingga akhirnya Adiguna memutuskan untuk mengakhiri penderitaannya. Ya, lamaran Adiguna dengan janji akan memberikan kehidupan yang hangat dan bahagia seperti yang dulu diimpikan oleh Nobuko.
“Nah, akhirnya!” seru Nobuko senang. Ia dan Hana membuat beberapa nasi goreng untuk tetangga-tetangga terdekatnya. Mereka pun membagikan satu-persatu secara bergantian. Hingga akhirnya rumah terakhir yang akan didatangi oleh Nobuko adalah rumah bu Hermawan. Rupanya beliau baru saja selesai menyapu halaman rumahnya. Bu Hermawan mempersilakan Nobuko untuk masuk ke dalam rumah.
“Terima kasih loh nasi gorengnya pasti muantep rasanya,” ucap bu Hermawan sembari mencium aroma nasi goreng tersebut. Setelah mempersilakan Nobuko untuk duduk di kursi ruang tamu, bu Hermawan menyajikan minuman teh hangat dan beberapa cemilan di toples.
“Sama-sama. Lebih enak lagi kalau dimakan selagi panas, bu Her.”
“Oh ya.. coba aku cicipin dulu,” beliau menyuap nasi goreng ke dalam mulutnya dan mengunyahnya dengan nikmat. Beliau mengacungkan jempolnya. Nobuko merasa lega jika ternyata bu Hermawan menikmati masakannya.
“Biasanya ibu-ibu sini itu memanggil saya bu erte, bu Hermawan, bu Mita. Oh ya, nama Mita itu nama gadis saya. Terus bu Adiguna memanggil saya bu Her. Eh, tapi boleh kan saya memanggil ibu itu bu Adiguna?”
Nobuko terdiam sejenak.
“Yaa karena seperti itulah biasanya panggilan ibu-ibu disini. Misalkan saya nama aslinya Mita. Tetapi saya sudah menikah dengan Hermawan. Jadi biasanya ibu-ibu memanggil nama dari suami saya. Biar nggak bingung juga gitu bu,” jelas bu Hermawan. Nobuko menganggukan kepala mengerti. “Eh, bagaimana kalau aku memanggil kamu Nobuko? Boleh kan?”
“Hee..,” Nobuko agak terkejut mendengar pertanyaan bu Hermawan.
“Biar makin klop. Kamu juga bisa manggil saya Mita.”
Bo.. boleh, bu,” Nobuko merasa kagum dengan keramahan bu Hermawan. Bahkan beliau bisa dengan mudah mendekat padanya.
“Ehm, Nobuko. Maaf nih kalau saya bertanya tentang hal yang sedikit pribadi.”
“Ya, tentang apa?” tanyanya. Bu Hermawan tampak sedikit tidak nyaman. Ia menggeser duduknya lebih dekat dengan Nobuko.
“Sebenarnya kenapa rambut Hana berwarna abu-abu?” pertanyaan bu Hermawan membuat Nobuko menelan ludah. Sudah pasti orang yang tidak tahu akan menanyakan hal itu. “Apa itu cat rambut. Karena kalau sudah sekolah kan rambutnya nggak boleh berwarna.”
“Sejak lahir rambut Hana berwarna abu-abu. Dokter mengatakan kalau rambutnya mengalami kelainan genetik. Saya tidak pernah tahu apakah ada yang pernah mengalami hal yang sama dari garis keluarga saya. Saya tidak mengetahuinya sama sekali karena saya ditemukan dan tumbuh besar di panti asuhan. Sedangkan dari keluarga besar mantan suami saya juga tidak ada yang mengalami rambut beruban seperti Hana. Jadi kemungkinan besar dari keluarga saya.”
“Oh jadi begitu ya,” Nobuko menganggukkan kepalanya dengan senyuman yang sedikit kaku. Ia tidak ingin anaknya dipandang sebelah mata. Namun ia juga tidak ingin apabila Hana harus dikasihani oleh orang lain. Jadi lebih baik menjelaskannya secara detail kepada orang yang belum mengetahuinya. “Eh, kalau begitu Hana akan bersekolah dimana?”
Nobuko berpikir sejenak.
“Saya masih belum tahu sih. Belum dibicarakan dengan suami saya.”
Tiba-tiba saja bu Hermawan menepuk kedua tangannya dengan wajah sumringah.
“Hah, kalau boleh saran sih.. gimana kalau Hana bersekolah di tempat yang sama dengan Zeno dan Zuna?”
“Sekolah yang sama?”
“Iya! Sekolah negeri tempat Haru bersekolah juga! Dulu almarhumah bu Adiguna juga menempatkan anak-anak kami di satu sekolah supaya bisa lebih akrab.”
“Hmm.. menurut saya itu ide yang bagus. Kalau begitu saya akan membicarakan hal ini dengan suami saya dulu.”
“Iya, Nobuko. Semoga pak Adiguna juga setuju ya!” seru bu Hermawan sembari menepuk-nepuk punggung Nobuko dengan wajah gembira. Nobuko pun berharap agar Hana dapat memiliki kehidupan yang baik disini dan bisa lebih dekat dengan Haru, kakak tirinya.
***
Hari-hari telah berlalu. Namun tidak pernah sekalipun kak Haru keluar dari kamarnya, kecuali saat berangkat sekolah dan mengambil makanan di dapur. Ia seperti hidup sendirian di dunia ini. Apakah dia tidak pernah merasa kesepian? Sengaja aku membuka pintu lebar-lebar agar dapat melihat kak Haru setiap harinya. Namun tentu saja aku juga melakukan aktivitas lainnya, seperti menggambar manga ataupun merajut. Aku selalu melakukannya di dekat pintu kamar. Suatu hari aku segera berdiri di depan pintu ketika melihat kak Haru keluar dengan mengenakan seragam putih dan celana abu-abu sembari menggantung tas di pundak kanannya.
“Selamat pagi, kak Haru!” seruku dengan wajah sumringah. Kak Haru sedang mengunci pintu kamarnya. Dengan segera ku buka kamus saku yang sedari tadi ku pegang. “Selamat.. bersenang-senang di sekolah!” seruku sambil melambaikan tangan padanya. Ia melirikku sebentar. Lalu melengos dan pergi ke lantai bawah.
“Hanaaa..!” aku agak terkejut mendengar suara panggilan papa dari lantai bawah. Aku pun segera menutup pintu kamar dan menuruni tangga. Disana papa dan mama sedang sarapan dan kak Haru berdiri tidak jauh dari bawah tangga.
“Ya, pa?”
“Nanti siang kak Haru akan menemani kamu berbelanja seragam sekolah di pasar ya.”
“Se.. seko.. lah?” bayangan masa lalu kini kembali lagi. Tubuhku yang diinjak-injak dan kepalaku yang terperosok sampai di lantai membuat ingatanku tentang sekolah kembali lagi. Diriku tidak mampu menahan tengkuk kaki yang gemetar dan hampir terjatuh dari tangga. Untungnya aku berpegangan di pundak kak Haru. Ia berbalik dan menatapku tajam. Aku segera melepaskan pegangan darinya.
“Kenapa, Hana?” mama langsung mendekatiku dan memelukku. “Wajahmu pucat sekali. Tenang saja. Tidak akan terjadi apapun padamu lagi. Mama janji!”
“Cih, drama!” dari balik pelukan mama, aku mendengar suara lain berbicara. Aku pun menengok ke arah kak Haru yang melihatku dengan tatapan penuh prasangka. “Balik sana ke Jepang. Ngapain hidup numpang disini?!”
“HARU EINSTEIN!!!” mendengar suara bentakan papa membuat kak Haru berdecak dan pergi begitu saja keluar rumah. Situasi ini semakin membuatku takut. Aku semakin mempererat pelukan mama. Bagaimana diriku di sekolah baru nanti? Apakah aku akan mengalami hal yang sama? Bagaimana tidak, kak Haru saja sudah membenciku sampai sebegitunya apalagi teman-teman baruku nanti. Aku merasa seperti seseorang yang paling tidak beruntung di muka bumi ini.
***
Haru memarkir sepeda motor ninjanya di tempat parkir sekolah. Ia agak sedikit terkejut melihat seseorang menunggu di sampingnya. Namun setelah ia mengetahui siapa orang yang sedang menunggunya itu, ia turun dari motor dan meninggalkannya. Namun tanpa disangka orang itu mengikutinya dari belakang.
“Haru! Haru!” panggilnya. Haru pun menghentikan langkahnya. Kini mereka berdua saling berhadapan. “Aku dengar adikmu akan bersekolah di tempat kita. Apa benar?”
Haru mendengus kesal.
“Zuna, aku tidak peduli apapun tentangnya dan juga dirimu. Jangan hanya karena aku merasa bersalah pada dirimu, kamu seenaknya mendekatiku.”
“Aku tidak memintamu untuk merasa bersalah kepadaku. Aku hanya ingin tahu tentang adik tirimu itu.”
“Kalau ingin tahu langsung samperin orangnya. Dia nggak ada kaitannya sama aku! Paham?!” setelah mengatakan hal itu, Haru melanjutkan perjalanannya. Seseorang menarik tangan Zuna. Ia pun tergagap saat melihat kakaknya menatapnya penuh kemarahan.
“Sudah kakak bilang, jangan berhubungan lagi dengannya! Dia itu cuma anak berandal dan egois. Dia sudah tidak mempedulikan kita lagi. Terutama kamu! Orang tua kita sudah menyuruhmu untuk menjauhinya. Dia hanya membawa pengaruh buruk, dik!”
“Tapi kak, kalau kita bisa berteman dengan adiknya, kenapa tidak dengan kakaknya? Apa yang akan dipikirkan nanti oleh Haru atau ayahnya?”
“Dengar dik, ayahnya saja sudah tidak mempedulikan apa yang dilakukan Haru sekarang. Jadi apa bedanya kita dekat atau jauh darinya? Toh, dia sendiri yang menjauh duluan dari kita. Padahal kita sekelas dengannya. Tetapi dia seperti hidup di dunianya sendiri.”
Kini Zuna yang berbalik marah pada kakaknya. Ia melepaskan cengkeraman tangan kakaknya dengan kasar. Keduanya saling menatap dengan mata nyalang.
“Itu semua karena ibunya sudah tiada. Dia sendirian, kak. Kita sebagai sahabatnya seharusnya tetap berada di sisi dia. Bukannya menjauh kayak gini!” Zuna mengakhiri pembicaraannya dan segera pergi meninggalkan kakaknya. Zeno pun terpaku mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh adiknya barusan.
“Andai kamu tahu dik, aku juga ingin berada di sisinya lagi. Tapi hatinya sudah seperti sekeras batu yang sulit sekali diruntuhkan.”
***
Siang itu aku sudah bersiap-siap untuk pergi ke pasar. Aku senang sekali karena kak Haru yang akan mengantarkanku membeli seragam sekolah. Aku sudah membayangkan macam-macam kegiatan apa saja yang akan kami lakukan nanti. Kami memilih seragam sekolah, membeli es krim, dan tertawa bersama.
“Semenjak aku ada di rumah ini aku tidak pernah melihat kak Haru tertawa sekalipun. Apa mimpiku itu akan menjadi kenyataan?” tanyaku pada diri sendiri. Terdengar suara pintu kamar yang terbuka dari luar. Aku rasa kak Haru sudah selesai berganti baju. Aku segera membuka pintu kamar. Rupanya benar! Kak Haru sudah menungguku di depan pintu kamarnya. Kak Haru mengenakan jaket hodie berwarna kelabunya lagi. Apa dia sesuka itu ya dengan jaketnya?
“Kak Haru karen!” seruku sambil menunjukkan dua jempol di depannya. Dia mengerutkan kening. Ah, apa ada yang salah? “Oh keren! Hari ini Kereeennn!” ralatku kemudian. Kak Haru malah memutar kedua bola matanya dan menuruni tangga. Aku pun kebingungan dan segera mengambil tas. Lalu ikut menuruni tangga.
“Kak, tunggu!” karena aku menuruni tangga terlalu cepat, aku kembali bertabrakkan dengan punggung kak Haru. Kurasakan aroma wangi dari jaketnya. Aku pun segera berdiri melangkah mundur. Tidak ingin kak Haru marah-marah lagi.
“Wah, sudah mau berangkat ya. Hati-hati di jalan ya,” mama berjalan menghampiri kami. Namun kak Haru langsung pergi keluar rumah begitu saja. “Hana, salim?” aku pun menepuk kening karena hampir lupa. Semenjak tinggal di rumah ini, papa mengajarkanku cara menyalami orang yang lebih tua yaitu dengan mencium punggung tangannya. Lama-lama hal itu sudah menjadi kebiasaan kami di rumah ini.
Usai mencium tangan dan pipi mama, aku pun segera berlari menyusul kak Haru sembari berseru, “Aku berangkat dulu ya, ma. Aku sayang mama!!!”
Aku melihat kak Haru menyalakan mesin motornya. Fhuh, untung saja aku memakai celana. Kalau aku pakai rok seperti biasanya, bisa-bisa rok yang aku kenakan akan berkibar. Aku pun menepuk keningku lagi karena teringat satu hal.
“Duh! Kak, kamus saku di meja!” aku berusaha berbicara sejelas mungkin. Aku berbalik hendak kembali ke kamar, namun kak Haru menarik tanganku. Ia melempar helm ke arahku. Secara cekatan aku langsung menangkapnya.
“Masa ngomong bahasa Indonesia ajah nggak bisa. Tinggal disini tapi ngomong masih pakai kamus! Malu-maluin!” walaupun aku tidak sepenuhnya memahami perkataan kak Haru, tetapi entah kenapa rasanya begitu menusuk ke hati.
Kuputuskan untuk mengenakan helm dan naik motor di belakang kak Haru. Aku mencoba berpegangan di kedua sisi pinggang kak Haru. Secara tiba-tiba kak Haru memindahkan kedua tanganku hingga melingkar di pinggangnya. Debaran itu muncul tiba-tiba. ‘Ternyata kak Haru baik juga. Nggak ingin aku terjatuh,’ pikirku. Kak Haru mulai menjalankan motornya. Tak kusangka akan sekencang ini. Aku semakin mempererat tanganku. Berharap untuk tidak terjatuh. Beberapa puluh menit kemudian kami sampai di pasar. Aku begitu terkesan karena kak Haru yang membantuku berbicara di toko seragam sekolah. Aku tidak menyangka kak Haru sebaik itu. Saat seragam baruku dibungkus, aku merasa kagum dengan model seragamnya yang berwarna putih dan roknya berwarna kelabu yang ukurannya panjang semata kaki. Ada dasi dan topi juga.
“Kawaiii,” ujarku senang. Setelah selesai berbelanja, aku melihat ada penjual es krim.”Kak, es krim, ya ya ya?” aku mencoba menarik-narik jaketnya sambil menunjukkan wajah imut. Akan tetapi kak Haru tidak menggubrisku. Ia tetap berjalan ke arah parkir motor.
“TELPON PAPA!” teriakku kemudian. Kak Haru segera berbalik dengan ekspresi terkejut. Ia menengok kanan-kiri melihat orang-orang di sekitar. Aku segera menutup mulutku karena baru tersadar kalau aku berteriak terlalu keras. Kak Haru menarik tanganku hingga sampai ke penjual es krim. Dia juga yang membayar es krimnya. “Loh, kak Haru.. tidak beli?”
“Udah! Cepat habisin tuh es krim! DASAR BERMUKA DUA! MANJA LAGI!”
“Duh, jangan marah. Nih! Coba!” kusodorkan es krim padanya, namun kak Haru menolaknya. Kusodorkan lagi, akan tetapi kak Haru tetap menolaknya. Tanpa kusangka tarik-ulur itu berakhir dengan es krim yang mengenai jaket hodie kak Haru. Wajah kak Haru mulai memerah. Aku langsung menarik es krim itu dengan ketakutan.
“AAAAAARGH!!!!!”
“Kak, ma.. ma.. maaf,” kataku dengan nada bergetar. Kemudian kak Haru berbalik pergi. “Kak Haru kemana?!” seruku kaget.
“Kamar mandi! DASAR MENYEBALKAN!” aku segera mengikutinya dari belakang. Tapi dia tahu itu dan semakin marah padaku. “JANGAN IKUTI AKU!”
Kuputuskan untuk menunggunya di kursi penjual es krim. Aku merasa bersalah karena sudah membuat kak Haru semakin marah. Padahal sebelumnya aku merasa kalau hubungan kami sudah mulai dekat. Tetapi ternyata aku mengacaukan segalanya. Kalau kak Haru sudah kembali, aku akan meminta maaf padanya lagi. Tiga puluh menit. Satu Jam. Dua Jam. Lima jam. Kenapa kak Haru lama sekali berada disana?
“Mbak, maaf. Kursinya mau bapak ambil. Soalnya bapak mau pulang.” Tukang es krim menunjuk kursi yang aku duduki. Aku segera beranjak dari kursi tersebut.
“Terima kasih, pak.”
“Hari sudah malam. Tapi kok mbak nya belum pulang?”
“Ap.. apa?” tanyaku agak tidak mengerti.
“Kenapa belum pulang?”
“Ah, ano.. tunggu kakak,” jawabku sambil tersenyum canggung. Tukang es krim itu manggut-manggut saja. Setelah itu ia pergi mendorong gerobak es krimnya. Aku kembali melihat ke arah dimana terakhir kali kak Haru pergi. Kenapa kakak belum kembali. Padahal hari sudah semakin gelap. Aku melihat kanan-kiri. Orang-orang memiliki kesibukannya sendiri. Aku harus bagaimana?
Tiba-tiba saja aku merasa takut. Ingatan akan ‘orang itu’ muncul lagi. Setelah puas memukuliku, ia segera menarik kaki ku seperti menyeret binatang dan memasukkanku ke dalam kamar mandi dengan lampu dimatikan. Sebelum pintu kamar mandi ditutup, aku melihat mama berusaha bangkit dan menahan rasa sakitnya untuk segera menolongku. Lalu pintu dikunci begitu saja. Hanya ada aku dan kegelapan.
“Ma.. mama.. mama!!!” aku segera menunduk sembari menutup wajahku rapat-rapat. Tiba-tiba saja seseorang memelukku sangat erat. Aku pun segera membuka mata dan menghapur air mata yang sedari tadi menyeruak.
“Hana! Hana! Kamu tidak apa-apa, sayang?!” aku baru tersadar kenapa mama tiba-tiba saja berada disini. Bersama dengan papa juga? “Hana! Jawab mama, sayang?!” mama menggoncang-goncangkan tubuhku dengan keras. Tetapi aku tidak merasakan jiwaku terulur ke dalam relung tubuhku. Diriku masih merasakan getaran pada kedua tanganku.
“Nobuko, ayo kita bawa pulang Hana,” papa dan mama merangkul pundakku secara bersamaan. Kami pun berjalan memasuki mobil dan melaju sampai kembali ke rumah.
Aku berusaha untuk menenangkan diriku. Tetapi diriku masih terasa kosong. Ingatan itu masih terus berputar-putar di ingatanku. Tiba-tiba saja suara tamparan keras sedikit menyadarkanku. Aku melihat papa menampar pipi kak Haru. Mataku terbelalak. Entah kenapa tubuhku bergerak sendiri dan memeluknya.
“Kak Haru! Kemana saja? Maaf ya, kak!” seruku dengan nada bergetar. Kak Haru melepaskan pelukanku dan mendorongku hingga terjerembab ke lantai. Ku dengar suara tamparan lagi.
“KAMU MASIH TIDAK MENGERTI YA?!! SEKARANG PAPA TANYA, KENAPA KAMU MENINGGALKAN ADIKMU SENDIRIAN DISANA?! SUDAH GILA KAMU YA?!!”
“Cih, yang gila itu papa,”
“APA KATAMU?!”
“YANG GILA ITU PAPA! BARU SETAHUN BERDUKA, MALAH UDAH CARI ISTRI LAIN! APA MASIH BELUM CUKUP BUAT MENYAKITI HATI IBU?! NURANI ITU DIPAKAI!”
‘PLAAKKK!!!’ tamparan kian tamparan terus terjadi. Mama membantuku untuk berdiri dan membawaku ke lantai atas. Akan tetapi aku tidak tega melihat kak Haru ditampar berkali-kali oleh papa seperti itu. Aku segera berbalik dan menghentikan tangan papa yang hendak memukul kak Haru lagi.
“Sudah, papa. Jangan, papa. Jangan seperti... orang itu.”
Aku berusaha menatap wajah papa yang masih penuh dengan amarah. Namun setelah kami berdua saling bertatapan, ia segera memelukku sembari menepuk-nepuk punggungku pelan. Kurasakan amarah papa kian mereda.
“Maafkan kakakmu. Maafkan papa juga ya, nak.”
“Aku baik-baik saja kok, pa. Aku baik-baik saja.”
***