=====
Rosetta perlahan menyusuri kamarnya dengan ekspresi yang tak bisa dilukiskan. Ia sangat terkejut ketika menemukan dirinya kembali saat ia masih muda. Ia menghentikkan langkahnya di hadapan cermin besar yang sekarang memperlihatkan penampilan 17 tahunnya.
Ia baru saja tumbuh menjadi orang dewasa. Penampilannya masih menyebarkan aura kemudaan dan bahkan tampang lembut dan innocent selayaknya gadis berusia 17 tahun. Ia tak melihat tanda kelelahan dan stress di wajahnya saat ia bersama dengan Saint.
2014, huh...???, Rosetta tiba-tiba terdiam.
Bukankah ia baru saja kembali 5 tahun sebelum kematiannya? Jadi, harusnya ia meninggal saat usianya sekitar 22 tahunan.
Apa pikirannya masih berantakan? Karena ia baru saja ingat bahwa catatan medis milik Dr. Smith saat melakukan check-up rutin saat ia mengandung jelas-jelas menunjukkan waktu berada pada tahun 2023.
Tapi, sekarang, kalender di kamarnya menunjukkan tahun 2014.
Dari 2023 ke 2014... sekitaran 9 tahun..
"... Sialan." Seru Rosetta berkeringat dingin.
Ia bertemu Saint saat ia menempuh pendidikan lanjut di suatu universitas. Dirinya sangat ingat bahwa mereka resmi berhubungan saat usianya 19 tahun. Setahun pertama adalah masa-masa paling indah dalam hubungan mereka, tidak sampai berita hutang segunung dimana pada akhirnya ia harus menyerahkan dirinya pada Saint untuk menjadi tebusan.
Ia pikir ia hanya menjalani neraka selama 2 tahun.
Itu tidak kurang dari 6 tahun ternyata.
"... jadi mereka hidup bahagia ketika aku hidup bagaikan di neraka selama 6 tahun ini?" Gumamnya menggertakan gigi. Suaranya terdengar gemetar karena menahan amarah.
Saat ini, suara familiar masuk ke telinganya, "Rosetta, jika kau sudah bangun dan bersiap, segera turun dan sarapan bersama!! Ibu membuatkan banyak makanan khusus kesukaanmu untuk merayakan upacara kelulusanmu hari ini!!!" Itu adalah suara ibu tirinya.
Suara yang sekarang bagaikan melodi kebencian untuknya.
"Atas dasar apa membuatku kembali ke masa lalu? Apakah ini hukumanku? Kenapa hanya diriku yang dihukum? Mengapa aku harus melewati lagi kehidupan neraka yang sama dua kali?" Rosetta memiliki banyak sekali pertanyaan di kepalanya sekarang dan membuatnya merasa ingin menggila.
Ia tak bisa menganggap kembalinya dirinya merupakan berkah.
Ia tak bisa menganggap kembalinya dirinya sebagai hal yang baik.
Sesuatu yang baik apa yang harus membuatnya merasakan penderitaan yang sama dua kali?!
Bagaimana bisa ia tahan untuk bersikap baik dan peduli pada orang-orang yang telah menjualnya seperti hal yang ia jalani sama sekali tak pernah terjadi?!!
Apa yang bisa ia lakukan ketika hanya dirinya yang mengingat semua kehidupan menyakitkan yang telah ia rasakan!?
Ini sungguh tidak adil!!
Ia sudah melepaskan semua yang tersisa dalam satu tembakan itu.
Lalu, apa gunanya karena ia telah kembali? Bahkan dengan catatan saat ia masih muda?
Perasaannya dengan cepat menjadi down dan tak stabil. Ia bahkan tak bisa menopang tubuhnya sendiri ketika ia tak sengaja menyeret beberapa barang di sekitarnya. Dan buruknya, ada beberapa barang kaca pecah dan menimbulkan keributan yang tak kecil.
Serpihan kaca yang tajam dan tercecer kemana-mana berserakan di sekitaran Rosetta yang gemetar tak terkendali. Ia melihat pecahan kaca terdekat dan ingin segera melukai dirinya dengan itu. Namun, genggamannya pada pecahan kaca itu cukup kuat dan mengakibatkan darah menetes dengan cepat dari telapak tangannya, yang pada akhirnya menyadarkan dirinya sebelum mengalami kemungkinan lebih buruk dari itu.
"Tenang hah hah tenanglah hah tenanglah Rosetta..." Gumamnya pada dirinya sendiri mulai sedikit sadar saat merasakan rasa sakit di telapak tangannya.
Karena stress dan putus asa saat kebebasannya diambil sepenuhnya dari Saint, ia membentuk kebiasaan untuk melukai dirinya sendiri. Maka dari itu, alasan bahwa tidak ada perabotan ataupun alat yang kemungkinan bisa membahayakan tak pernah ada di ruangan tempat dimana Saint membuatnya menetap.
Suara berat saat ini terdengar di seberang pintu kamarnya, "... My baby, apa kau baik-baik saja?" Itu adalah suara yang sangat ia rindukan.
Keinginannya untuk mengakhiri hidupnya dan semua kecemasannya seketika hilang ketika mendengar suara yang tak pernah ia sangka bisa ia dengar lagi. Ia tak mempedulikan kondisinya dan juga lantai sekitarnya, hanya berlari dengan cepat membukakan pintu, tak sabar untuk melihat sosok pemilik suara dibalik pintu itu.
"..." Masih dalam keadaan tangan yang berdarah-darah yang menggenggam pecahan kaca. Ia terdiam dan tak tahu harus melakukan apa ketika akhirnya melihat sosok yang sudah sangat ia rindukan.
"My baby... My Princess... kenapa kau menangis? Apakah kondisimu sedang tidak bai-"
"Daddy!!! Hiks Aku kesakitan huhu" Tangisnya masih tidak percaya apakah orang dihadapannya adalah nyata atau hanya delusinya.
Orang dihadapannya adalah ayahnya. Pria yang sekarang dengan panik melihat kondisi tangannya yang masih meneteskan darah.
"My baby... tanganmu terluka, biarkan daddy mengobati,, hm?" Ucapnya perlahan menuntun Rosetta masuk kembali ke dalam kamar dan menarik kursi ke tempat dimana pecahan dan serpihan kaca tidak dapat menjangkau. Ia kemudian mengambil kotak pertolongan pertama dan dengan perlahan mengobati luka milik putrinya itu.
"... Daddy,..."
"Hm?"
"Aku merindukanmu.."
"Daddy juga merindukanmu, Baby.."
"... Aku mencintaimu, Daddy.."
"... I love you more, my beautiful." Senyumnya tipis usai mengobati tangan Rosetta, sembari menghapus air mata yang sedaritadi tak berhenti-henti terjatuh. Ia dengan perlahan bangkit dari tempatnya dan mulai mengambil beberapa pecahan kaca agar Rosetta tak terluka lagi. "Baby,.. kamu sudah menjadi dewasa, tapi masih saja ceroboh. Daddy jadi khawatir jika membiarkanmu bertahan hidup sendirian di luar sana"
Masih sesenggukan, "Tapi, aku hanya ingin hidup bersama dengan Daddy untuk selamanya"
Penyesalan terbesarnya adalah ia tak bisa menyelamatkan ayahnya.
Ia yakin bahwa kematian ayahnya sangat berkaitan dengan keluarga tirinya dan dunia bawah.
Benar.
Mengulang kehidupan terasa terlalu berat.
Tapi, ia jadi bisa menyelamatkan ayahnya.
Ia akan hidup demi ayahnya.
Selesai membereskan kekacauan, "Baby.. mari turun dan sarapan. oke? Kau harus memiliki tenaga untuk menghadiri upacara kelulusanmu." Ajak sang ayah yang dituruti dengan patuh oleh Rosetta. Ayahnya menuntunnya dengan tangannya yang lain saat turun dan perasaan bahagia memenuhi dirinya sekarang.
Kebahagiaannya berakhir ketika ia melihat ibu dan saudari tirinya.
"Duduk disini.." Ucap sang ayah melihat bahwa Rosetta tidak dalam kondisi yang bahagia. "Daddy juga membuatkanmu beberapa makanan, kau harus makan yang banyak.." Lanjutnya sembari menaruh makanan ke piring Rosetta dengan senyum tipisnya yang tak pernah pudar.
"Terimakasih banyak, Daddy. Makanan buatanmu sangat enak~" Senang Rosetta dengan perasaan yang kembali bahagia saat ayahnya dengan perhatian mengambilkan makanan untuknya.
Ibu tirinya yang baru saja selesai mengatur makanan di atas meja mengambil tempat duduk berseberangan darinya dimana disampingnya adalah adik perempuan tirinya yang sudah sejak awal makan duluan.
Seperti seorang ibu yang sangat peduli pada anaknya, terlepas Rosetta bukan anaknya sendiri, "Rosetta, hal apa yang telah terjadi? Apakah kau menjatuhkan kembali barang-barangmu karena kau selalu membiarkan keadaan kamarmu gelap gulita? Apaka- ahhh?! Ta-tanganmu terluka!!" Kejutnya menjerit karena melihat perban yang memelit telapak tangan Rosetta dengan ekspresi yang sangat panik.
Rosetta sama sekali tak ada niat untuk merespon dengan cara apapun, jadi ia hanya dengan diam dan hening menghabiskan makanannya. Melihat makhluk hidup dihadapannya langsung yang menyebabkan kehidupan nerakanya di kehidupan sebelumnya cukup membuat kondisi suasana hatinya turun dengan cepat, tetapi ia masih merasa aman dan baik-baik saja selama ayahnya ada di dalam jarak pandangnya.
Ibu tirinya masih mencoba untuk berkomunikasi dengannya, "Rosetta, kau harus memberitahu kami hal-hal yang mengganggumu ibu jadi khawatir apalagi tanganmu tiba-tiba terluka"
"Daddy, aku ingin yang itu.." Ucap Rosetta menghiraukan orang yang sedang berbicara dengannya dan sebagai gantinya memusatkan semua fokusnya pada makanan dan ayahnya saja.
Ayahnya tak memiliki reaksi apa-apa dan hanya mengikuti permintaan Rosetta dengan cepat.
Ibu tirinya menjadi terdiam, bahkan senyum yang selalu menghiasi wajahnya retak sedikit. Tapi, ia masih mencoba, "Bagaimana jika ibu saja yang mengambilkan makananmu? Ayahmu juga perlu segera berangkat bekerja, jadi alangkah lebih baiknya jika Rosetta tidak terlalu menghambat sarap-"
"Daddy,.. aku ingin bagian kulitnya saja..." Melas Rosetta membuat sang ayah meluangkan waktunya untuk memisahkan antara kulit dan daging untuknya tanpa perasaan terganggu.
Anak perempuan yang dibawa oleh ibu tirinya akhirnya menyadari ada sesuatu yang aneh. Ia yang biasanya bodoh dan hanya peduli pada penampilannya bahkan bisa menyadari bahwa Rosetta tak mempedulikan ibunya seperti biasanya. Ia menghentikan makannya dan segera mencari keadilan untuk ibunya.
"Sister, Mengapa kamu sengaja menghiraukan ibu? Kamu lancang dan tak sopan hari ini!" Marahnya masih dengan kondisi mulut yang penuh dengan makanan. "Ayah, Mengapa diam saja? Sister jelas-jelas tak sopan pada ibu!" Lanjutnya mengadu pada ayah yang sedaritadi memang diam saja.
Ibu tirinya sengaja segera menenangkan anaknya, "Sudah.. sudah tidak apa. Mungkin saudarimu sedang ada masalah saja. Tidak apa-apa, suami tidak perlu memperpanjang masalah.." Ia benar-benar memiliki sikap ibu yang pengertian, membuat Rosetta di sisi lain menjadi pihak yang jahat dan putri yang labil.
Pria yang sedaritadi hanya diam saja dan fokus makan, sekarang menghentikan aktivitas sarapannya. Ia menatap pasangan ibu dan anak tiri itu yang kebetulan menatap dirinya seakan-akan meminta dirinya untuk mengambil sisi, kemudian menatap putrinya sendiri yang acuh tak acuh pada keadaan di sekitarnya dan hanya menyirip sejenak padanya sebelum melanjutkan kembali sarapannya.
"... Sarapan saja." Ucapnya pada akhirnya memilih untuk membela putrinya sendiri.
Senyum kebahagiaan hampir tak bisa disembunyikan oleh Rosetta dari orang-orang di ruangan itu.
Tentu saja ayahnya akan memihak padanya. Bahkan di kehidupan lalu seperti itu, maka di kehidupan ini juga sama saja.
Harusnya pasangan ibu-anak itu paham bahwa keberadaan mereka bisa hidup dengan nyaman dan aman di rumah ini karena dirinya, bukan karena kemampuan mereka.
Karena dirinya lah mereka bisa duduk dengan suka cita.
Jika bukan dirinya yang saat itu membutuhkan perawatan ketika masih bayi, ayahnya tak akan susah-susah menikah lagi dan menambah orang ke dalam rumah.
=====