Sudah pukul sebelas malam, Dinda masih tidak bisa tidur. Ingatan mengenai janjinya bersama Pasa dulu mengganggu pikirannya. Dia memang sudah bertemu kembali dengan Pasa, tapi sampai saat ini, mereka masih belum membahas kejadian dua tahun lalu.
"Kenapa dia tidak mengingatkanku soal pentas itu?" Dinda menggigit bawahnya memikirkan segala kemungkinan yang ada untuk menjawab pertanyaan itu. Tapi dari semua kemungkinan yang diberikan kepalanya semuanya hanya berujung pada kemungkinan buruk yang selama ini memang sudah menari-nari di kepala Dinda.
Dinda melirik ke kamar Ryo yang lampunya belum mati. Kening Dinda mengernyit begitu menyadari bukan hanya lampunya saja yang belum mati, tapi jendelanya pun belum tertutup rapat. Baru saja, dia hendak menelepon Ryo menanyakan hal itu, ponselnya lebih dulu berbunyi.
"Ya, Bi?" Itu panggilan telepon dari Bi Inah, asisten rumah tangga Ryo.
"Non, aduh gimana ini, Non?"
Suara panik yang terdengar dari suara Bi Inah membuat bibir Dinda mengerucut. Matanya melirik ke jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. "Ada apa, Bi?"
"Anu, anak Bibi sakit, Bibi mesti pulang malam ini. Bapak sebentar lagi jemput Bibi."
"Oh ya udah, Bi. Kenapa Bibi telepon Dinda? Bibi udah bilang—"
"Bukan gitu, Non!" potong Bi Inah cepat, membuat Dinda menghentikan kata-katanya dan mendengar ucapan Bi Inah. "Ini Den Ryo demam, Mami dan Papi Ryo dari tadi Bibi telepon enggak ada yang angkat. Ibu sama Bapak Non Dinda juga."
Dinda sekarang mulai mengerti apa yang sedang terjadi. Ryo sakit. Biasanya kalau Ryo sakit, Bi Inah bisa mengurus Ryo sendirian, tapi sekarang anak Bi Inah juga sakit. Jadi, Bi Inah sekarang bingung siapa yang akan menjaga Ryo kalau beliau pulang.
"Bi, Bibi pulang aja. Dinda bakal ke sana jagain Ryo."
"Tapi, Non, aduh, Non kan perempuan. Enggak baik, Non. Ibu dan bapak Non Dinda aja yang ke sini." Suara cemas Bi Inah masih terdengar jelas di telinga Dinda.
"Ya ampun, Bi. Dinda kan enggak sekali dua kali nginep di sana. Santailah, Bi, Ryo gak bakalan ngapa-ngapain Dinda. Ini Dinda ke sana, ya."
Dinda langsung menutup panggilan itu. Sekarang, terjawab sudah pertanyaan kenapa jendela kamar Ryo masih terbuka dan lampunya masih menyala. Dinda segera mengirimkan pesan ke mama dan papanya mengabarkan situasi saat ini. Orang tuanya sudah terlalu sering melihat anak gadisnya itu menginap di sana ataupun sebaliknya. Lagipula, keduanya sudah tertidur sejak pukul delapan malam tadi. Jadi, Dinda pikir, menunggu jawaban dari orang tuanya hanya akan menghabiskan waktu.
Dengan bergegas, Dinda mengambil jaket di lemarinya, buku piece Romance D'amour, dan ponselnya di nakas. Tidak sampai lima menit, Dinda sudah berada di kamar Ryo. Bi Inah sudah dijemput suaminya pulang.
Ini bukan pertama kalinya Dinda harus merawat Ryo. Orang tua Ryo bukan tipe orang tua yang peduli dengan anaknya. Sejak kecil perawatan Ryo diserahkan sepenuhnya ke Bi Inah. Bahkan, setelah Bi Inah menikah dan punya anak pun, beliau masih dipekerjakan di rumah Ryo karena sahabat Dinda itu tidak mau diurus oleh ART lain selain Bi Inah. Bagi Bi Inah pun, Ryo sudah seperti anak sendiri.
Karena itulah, Dinda bisa memahami dilema yang tadi dirasakan oleh Bi Inah.
Dinda memandang Ryo yang kini tergeletak di tempat tidurnya dengan wajah pucat. Dia sedikit heran dengan Ryo. Tadi sore, Dinda sempat melihat Ryo baik-baik saja. Sahabat karibnya itu berlatih basket bersama Richard dan Kak Levi. Meski sesekali terlihat wajah Ryo yang menggeram saat harus sparing dengan Kak Levi, secara keseluruhan Ryo tidak terlihat seperti orang yang akan terbaring di rumah seperti ini.
"Kamu kenapa, Yo?" ucap Dinda lembut sambil menyentuh dahi Ryo yang panas dengan tangan kanannya.
Sentuhan Dinda sepertinya mengganggu tidur Ryo. Tangan cowok itu terangkat ke arah tangan Dinda yang sedang bertengger di kepalanya. Perlahan dia menarik tangan Dinda, dipindahkannya tangan itu ke dadanya sambil digenggam erat. Mata Ryo tidak terlihat terbuka, masih tertutup rapat.
Hal ini membuat Dinda bingung. Dia mencoba menarik tangannya, tapi yang terjadi Ryo malah semakin erat menggenggam tangannya.
"Yo, tanganku."
Ryo hanya menggumam pelan, membuat Dinda berpikir Ryo sedang mengigau.
"Kamu tuh kenapa, sih, Yo?" tanya Dinda lembut. Tangan kirinya kini mengelus kepala Ryo.
Dinda melihat Ryo yang menarik napasnya pelan. "Papa dan Mama akan cerai, Din."
Mendengar itu, Dinda terkejut. Tadinya dia sudah akan menarik tangannya dari genggaman tangan Ryo, tapi demi melihat setetes air mata yang jatuh di sudut mata kanan Ryo, Dinda urung melakukannya.
"Kamu tahu darimana? Jangan suka asal ah masalah begituan."
Ryo menggeleng. Kali ini wajahnya terarah ke Dinda. Dinda bisa melihat dengan jelas mata merah dan sembab Ryo. "Sebenarnya, aku ini dianggap apa? Anak? Boneka? Pajangan?"
Dinda mendesah pelan. Isu perceraian orang tua Ryo bukan isu baru. Mereka sudah lama ingin bercerai, tapi selalu menjadikan Ryo sebagai alasan kegagalan perceraian itu. Sebenarnya, Dinda sudah muak mendengar isu sama yang hampir tiap semester dia dengar dari bibir Ryo. Kalau boleh berteriak, Dinda ingin sekali teriak sambil meminta mereka untuk bercerai saja, jangan menyiksa Ryo dengan menjadikan anak sebagai alasan.
Toh, ada atau tidak adanya mereka di kehidupan Ryo tidak ada bedanya sama sekali. Seumur Dinda mengenal Ryo, tidak sekalipun Ryo diurus oleh mereka, kecuali masalah uang.
"Jangan suka ambil kesimpulan, Yo," bisik Dinda lebih ke meyakinkan dirinya sendiri.
"Aku yakin kali ini mereka akan bercerai."
"Darimana kamu yakin?"
"Tadi aku dengar Papa sudah menelepon pengacara untuk mengurus perceraian itu, Din."
This is news. Selama ini, meski sudah ada beberapa kesempatan isu perceraian itu naik ke permukaan, ini pertama kalinya mereka benar-benar bergerak. Om Bimo dan Tante Dara tidak pernah benar-benar melakukan sesuatu seperti menghubungi pengacara. Mereka hanya saling ancam, saling teriak, lalu pergi dari rumah, meninggalkan Ryo yang ditemani Bi Inah.
"Jangan berasumsi, Yo. Mereka ... mungkin hanya bertengkar." Dinda menarik tangannya dari Ryo. Apa pun yang ada di pikiran Ryo sekarang, genggaman tangan ini tidak seharusnya bertahan. Begitu pikir Dinda.
Sambil menarik tangannya, membelokkan tubuh menghadap Dinda, masih dalam posisi tiduran, Ryo berkata, "Andai mereka sekali saja, mengharapkan keberadaanku, Din, kurasa aku akan baik-baik saja, mereka cerai atau enggak."
Setelah mengucapkan kalimat itu, Ryo terlelap. Dinda masih bertahan di rumah teman masa kecilnya itu.
Kamar ini masih sama, masih berbau Ryo yang sangat khas, masih berantakan, masih penuh dengan pernak-pernik basket, dan ... masih penuh dengan foto-foto mereka sejak kecil hingga beranjak dewasa.
Ada Ryo dan Dinda saat mereka menanam pohon mangga di sebelah rumah. Ada mereka saat baru masuk TK. Ada foto Ryo yang sedang menggandeng bola basket, bola basket pertamanya. Ada Dinda yang menangis, yang ini membuat Dinda tersenyum geli.
Dinda ingat kapan foto itu diambil. Itu adalah foto saat mereka kelas tiga SD. Saat itu, sekolah mereka mengadakan acara Pojok Seni. Siswa-siswi di sekolah itu diminta untuk berpartisipasi di beberapa bidang. Di acara itu, Dinda memilih tampil membawakan pianika. Sementar Ryo diminta untuk menjadi tokoh utama dalam pementasan drama.
Masalahnya, tokoh utama dari drama itu berakhir menikah. Dinda kecil yang belum paham bahwa itu cuma pertunjukan, mengira Ryo akan menikah dengan teman sekelasnya dan pindah rumah. Padahal Ryo pernah berjanji akan menemaninya selamanya. Karena itulah tangis Dinda pecah.
Dinda tersenyum sambil menyentuh foto itu. "Bahkan dulu aku sampai berteriak ingin menikah denganmu, Yo. Cuma agar kita enggak berpisah," ucap Dinda sambil menggeleng kecil.
"Din ...."
Dinda melirik ke belakang, ke arah tempat Ryo kini sedang terpejam. "Hem?"
"Dinda ... jangan pergi ...."
Dinda mendekati Ryo, mengelus pelipis cowok itu. "Aku di sini, kok, Yo."
Mata Ryo masih terpejam. Wajah Ryo kini dipenuhi keringat. "Papa sama Mama, mereka ... mereka akan ninggalin aku, Din."
Dinda meringis. Mereka bahkan tidak pernah ada untuk Ryo, batin Dinda kesal. "Iya, Yo, aku enggak akan ke mana-mana."
Racauan Ryo semakin tidak jelas. Mulai dari sekolah, basket, rumah, Bi Inah, sampai makanan yang dia makan sore tadi pun disebutkan. Dinda sudah akan membangunkan Ryo saat tiba-tiba cowok itu menangkap tangan Dinda yang ada di pipi Ryo.
"Kamu tahu, Din?"
Dinda melirik mata Ryo, cowok itu masih terpejam. Namun, dia berbicara seperti sedang berhadapan dengan Dinda. "Yo ... bangun. Kamu ngigau."
Mata cowok itu terbuka sedikit. Dinda tidak tahu apakah Ryo benar-benar sudah bangun atau masih berada di dalam mimpi. Sepengamatan Dinda, pandangan cowok itu sekarang seperti antara ada dan tiada.
"Aku suka kamu, Din," bisik Ryo tiba-tiba.
Dinda terkesiap mendengarnya. Dia mencoba memastikan apakah Ryo sepenuhnya sadar atau masih mengigau. Ditatapnya mata nanar Ryo dalam-dalam. "Ryo ... kamu ngigau?"
Seolah tidak mendengar ucapan Dinda, Ryo meneruskan kalimatnya. "Aku sudah merasakan ini sejak dulu. Kamu suka ...."
Ryo tidak melanjutkan kalimatnya. Matanya kini sepenuhnya terpejam. Tinggallah Dinda yang kini bingung harus bereaksi apa atas perkataan Ryo itu.