Loading...
Logo TinLit
Read Story - Are We Friends?
MENU
About Us  

Benar saja dugaan Dinda. Pertengkaran Levi dan Ryo hari itu berbuntut panjang. Cukup banyak siswa yang menyaksikan kejadian itu. Sebagian di antaranya adalah biang gosip. Dengan kepopuleran kedua cowok itu di sekolah, semuanya menjadi semakin runyam.

Pertengkaran yang awalnya hanya karena ketidaknyamanan Dinda, berubah menjadi rumor. Seolah Levi dan Ryo bertengkar demi memperebutkan Dinda. Parahnya lagi, momen saat Levi memegang tangan Dinda dan ditepis Ryo direkam oleh salah satu siswa dan disebarkan di grup sekolah. Hasilnya, dalam semalam, Dinda berubah dari siswi cerdas sahabat Ryo, menjadi siswi cantik yang mempermainkan perasaan dua cowok tampan.

Dan Dinda tidak suka itu.

"Kamu, sih!" tuding Dinda kepada Rio yang kini sedang berjalan santai di sampingnya. Mereka sedang bergerak menuju pelataran parkir sekolah. "Kalau kamu kemarin enggak ke kelas dan bikin adegan aneh itu berita kayak gini enggak akan nyebar!"

Ryo di sampingnya malah bersiul-siul tidak jelas. Parkiran sekolah tinggal beberapa meter lagi. Tempat itu terlihat kosong dengan berkurangnya sepeda yang ada di sana. Siswa-siswi sudah banyak yang pulang.

"Rio!"

"Terus, kamu maunya apa? Aku diem aja lihat kamu digituin Levi?"

Dinda menggigit bibirnya. "Dari dulu, kamu selalu seperti ini, Yo. Kamu enggak peduli sama rumor yang ada di sekeliling kita."

Ryo menghentikan langkahnya. Pandangannya yang tadinya santai kini berubah serius dan menatap Dinda. "Bagus, kan? Dengan begitu dia enggak akan ganggu kamu lagi dan kamu sudah enggak perlu ke klub musik itu untuk nurutin dia."

Kilat mata Dinda berubah. Dia menatap tidak percaya kepada Ryo, pada apa yang didengarnya keluar dari bibir Ryo barusan. "Yo, kamu serius ngomong gitu?"

"Din, Levi ganggu kamu."

"Terus?"

"Kalau dia ganggu kamu, aku enggak bisa tinggal diam."

Dinda menggeleng tidak percaya. "Jadi menurutmu aku enggak bisa melindungi diriku sendiri?"

"Menurutmu, kamu bisa?"

Mata Dinda membelalak, kedua tangannya sudah mengepal di sisi kanan dan kirinya. "Yo, kalau orang lain yang ngomong gitu, aku masih bisa diem. Tapi ini kamu ...."

"Kalau kamu bisa melindungi dirimu sendiri, kamu tidak akan terpengaruh sama permintaan-permintaan anehnya."

"Oh, jadi menurutmu, ke klub musik, naik sepeda sendiri, dan semua hal yang aku putuskan belakangan ini, itu semuanya karena dia? Karena Kak Levi?"

"Apa aku salah?"

Dinda menggigit bibirnya. Dia tidak habis pikir, apakah memang selemah ini dia di mata kedua cowok itu? Kemarin, Levi mengatakan bahwa keputusan yang Dinda ambil karena Ryo. Sekarang, Ryo, sahabat yang dia pikir sudah mengenalnya sejak kecil, mengatakan semua keputusan yang Dinda ambil karena Levi. Lucu sekali dua cowok ini. Apakah mereka pikir hidup Dinda hanya berpusat kepada mereka berdua?

Well, mungkin iya.

"Aku salah, Din?" Ryo mengulangi kembali pernyataannya.

"Aku pikir kita sudah cukup lama saling kenal, tapi ternyata kita masih kayak dua jentik mayfly yang baru lahir. Cuma bisa menunggu untuk jadi lalat dan jalan di dunia masing-masing hanya untuk mati lagi beberapa jam kemudian. Aku kecewa, Yo."

Ryo menatap Dinda dengan pandangan bingung. Maksud Dinda apa? Mayfly? Dengan mimik meringis, Ryo menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Kurasa, Yo, apa yang kamu lakukan kemarin sudah benar." Kaki Dinda berhenti melangkah dan bergerak menghadap Ryo. Dinda menatap mata Ryo. "Kita memang sudah waktunya untuk berjalan mengejar mimpi kita sendiri."

Dinda bisa melihat dengan jelas perubahan mimik wajah Ryo ketika Dinda mengatakan itu. Mata yang membelalak saat Dinda berbalik dan meninggalkannya begitu saja hampir membuat Dinda berubah pikiran.

"Din!" pekik Ryo berusaha menghentikan Dinda. Namun gadis itu tidak peduli dan mengayuh sepedanya menjauh dari sekolah.

Ryo mendesah. Sebenarnya, Ryo tidak mengerti apa yang sedang ada di kepala Dinda. Sahabat karibnya itu seperti tengah melawan sesuatu yang tidak terlihat dan tidak bisa Ryo jangkau.

"Kamu sebenarnya kenapa, Din?"

Sayangnya, bukan cuma Dinda yang seperti itu. Ryo juga.

***

Sejak hari itu, bukan hanya hubungan Dinda dan Levi yang memiliki jarak, Dinda dengan Ryo juga. Mereka tidak lagi berangkat ke sekolah bareng. Dinda dengan sengaja menghindari Levi dan Ryo. Keputusan Dinda sudah bulat, dia akan menjauhi kedua cowok itu.

"Din, kantin, yuk." Kana menepuk bahu Dinda dengan sedikit keras. "Kamu kenapa, sih? Dari tadi perasaan aku tanyain enggak nyahut."

Dinda melirik ke Kana dengan malas. Tangannya masih tidak bergerak dari posisi menopang dagu. Digosipi satu sekolah, bertengkar sama sahabat sendiri, dan diganggu orang yang tidak jelas hampir di setiap sudut sekolah, siapa yang tidak senewen?

Kana memutar bola matanya kemudian menarik Dinda dari kursinya dan membawa Dinda keluar kelas. Kana melirik Ryo yang kini duduk di belakang, di samping Olon. "Kalian mau sampai kapan begini?"

Dinda hanya mengangkat bahunya. Mana dia tahu? Mungkin sampai Ryo menerima keputusannya untuk mandiri? Mungkin juga sampai Ryo mengerti bahwa Dinda tidak melakukan semua itu demi Levi? Atau mungkin ... saat Dinda sudah merasa bahwa egonya tidak lagi tersentil oleh kata-kata Ryo.

"Yang kalian lakukan ini kayak anak kecil tahu, nggak? Pengen baikan tapi gengsi."

Dinda langsung menatap kana dengan wajah kesal. "Maksud lo?"

Kana mendecih pelan lalu tertawa seperti mengingat sesuatu. "Seminggu ini, memangnya lo enggak nyadar?"

Itu pertanyaan retoris. Dinda tahu yang dimaksud oleh Kana. Seminggu ini, yang dia dan Ryo lakukan adalah saling menunggu satu sama lain. Mereka memang sudah tidak lagi berangkat dan pulang bersama. Tapi, Dinda berangkat setelah memastikan Ryo keluar dari rumah dan Ryo baru mengayuh sepedanya meninggalkan sekolah setelah melihat Dinda mengeluarkan sepedanya dari parkiran.

"Selama gue kenal kalian berdua, ini pertama kalinya kalian bertengkar lama." Kana mengemut permen lolipop di tangannya. "Cepetan baikan, deh, lo pada. Biar gue juga bisa balik duduk sama Olon."

Dinda mendengkus. "Bilang aja lo nggak rela jauh-jauh dari Olon."

Kana menyikut lengan Dinda. "Masalah lain lo tuh." Kana menggerakkan dagunya ke arah depan, tepat di pintu masuk kantin.

Dinda mengikuti arah pandangan Kana lalu menarik napas dalam-dalam. Di depan mereka, Levi sedang berdiri santai sambil menyandar di dinding dengan tangan bersedekap di dada. Pandangan cowok itu terarah ke Dinda. Entah bagaimana cowok itu bisa selalu tahu waktu-waktu Dinda akan ke kantin.

"Kalau lo enggak mau terjadi pertarungan antarsemesta untuk yang kedua kalinya, mending lo datengin deh tuh orang, selesein masalah lo," kata Kana sambil mendorong tubuh Dinda.

"Yah, Kana!" Dinda hanya bisa menghela napas ketika lagi-lagi Kana meninggalkannya pada situasi begini. Situasi saat dia harus menghadapi Levi.

Dinda melirik jam tangannya. Waktu istirahat masih ada lima menit lagi. Namun, kelas matematika yang akan berlangsung setelahnya akan diganti dengan waktu belajar mandiri. Masih ada waktu dua jam pelajaran kalau Dinda ingin berbicara dengan cowok di depan pintu sana.

Masalahnya Dinda sedang tidak ingin bertemu dengan kakak kelasnya itu. Kalau boleh memilih, lebih baik dia bersama Ryo meskipun sahabatnya itu mendiamkannya daripada bersama Levi.

Melihat Dinda tidak bergerak sama sekali dari tempatnya, kapten basket sekolah mereka itu bergerak mendekat. "Kita beneran butuh bicara Dinda. Jangan menghindar lagi."

Levi benar. Seminggu ini, bukan cuma Ryo yang menjauh darinya, dia pun menjauh dari Levi. Padahal cowok itu berusaha mati-matian mencari cara bertemu dengannya. Mulai dari menungguinya di parkiran sekolah, menunggunya di kantin, bahkan entah bagaimana dia juga bisa menunggui Dinda di depan kamar mandi perempuan.

"Ayolah, Dinda. Kamu tahu kita perlu bicara."

Dinda menggigit bibir bawahnya. Dinda mengingat lagi ucapan Ryo seminggu yang lalu. Ryo paling tidak benar di satu hal, aku harus menyelesaikan masalahku dengan Kak Levi.

Dinda mengangguk. "Tapi enggak di sini. Aku enggak mau ada gosip lain lagi."

Levi tersenyum lalu menggangguk. "Abis ini kamu ada kelas?"

"Belajar mandiri."

"Ruang klub musik berarti."

Tubuh Dinda mematung. "Apa enggak ada ruang lain lagi?"

"Ada, tapi aku enggak punya akses pintunya. Kecuali kalau kamu mau kita bicara di kamar mandi cowok."

"Kak!" pekik Dinda kesal pada kegilaan omongan Levi.

"Jadi?"

Dinda menyerah dan berjalan mendahului Levi ke ruang klub musik.

Sesampainya mereka di ruang klub musik, tanpa sadar Dinda duduk di dekat piano. Levi melihat itu.

"Aku kira kamu sudah tidak menyukai piano. Sepertinya dugaanku salah?"

Dinda meneleng menatap ke arah Levi.

Dagu Levi bergerak menunjuk ke arah piano yang ada di sebelah Dinda.

"Aku bukan tidak suka piano. Aku ... merasa bersalah."

Levi mengernyit, tetapi sejurus kemudian senyumnya terkembang. "Kenapa? Karena aku?"

Dinda melirik Levi. Matanya mencari tahu apa maksud di balik kata-kata itu, tapi dia tidak menemukan apa-apa.

"Dinda, Dinda. Jangan bilang kamu masih belum tahu aku siapa?" Levi berjalan mendekati Dinda, mengambil gitar, kemudian duduk di kursi samping Dinda sambil memetik senarnya. "Aku tahu kamu sudah tahu siapa aku."

Dinda tidak mau mengambil risiko. Dia takut salah orang. Kenangan itu bukan ingatan yang baik. Setidaknya, Dinda ingin hanya sedikit orang yang tahu tentang kejadian itu.

"Kenapa? Kaget? Memangnya aku seberubah itu?"

Dinda mengabaikan perkataan Levi dan bertanya, "Kamu siapa?"

Levi menghentikan petikan gitarnya lalu menatap Dinda dengan saksama. "Ya Tuhan, Dinda! Harus banget aku nyebut namaku?"

"Kak, kalau kita angkat telepon penipu, aturan pertama yang harus kita turuti adalah jangan pernah menyebut nama kita atau nama orang yang kita kenal. So, memangnya kamu siapa? Jangan-jangan kamu salah orang," jelas Dinda panjang lebar. Kali ini, dia sudah bertekad akan menghadapinya.

Levi memutar bola matanya, lalu tersenyum. Dia kemudian mengulurkan tangannya ke Dinda. "Hai, namaku Pasa, bukan nomor 2. Dan, suatu saat aku akan menjadi nomor satu. Baik di gitar, maupun di piano! Oh, sekarang juga tambah basket."

Mendengar itu, Dinda menggigit bibirnya. Air matanya mulai mengalir. Rentetan kenangan yang selalu dia hindari kini terputar di benaknya seperti air terjun yang mengalir deras.

"Oh iya, nama asliku Pahlevi Angkasa, disingkat Pasa. Jadi, sekarang kamu sudah ingat aku?"

"Jerawat kamu ke mana?" tanya Dinda.

"Kita udah enggak ketemu selama hampir 3 tahun dan yang kamu tanyakan pertama kali setelah mengenaliku adalah jerawat? Hei, miss piano, sopankan Anda begitu?"

Dinda tersenyum. Tangan kanannya menghapus airmata yang mengalir di pipinya. "Kenapa Kak Levi enggak pernah bilang kalau Kakak itu Pasa?"

"Harus ya aku bilang 'hei aku Pasa, kamu masih ingat aku?' setelah kamu ngilang? Lagipula, Din, gimana bisa kamu enggak ngenalin partnermu sendiri? Ketampananku ini asli tanpa operasi plastik. Aku langsung tahu kamu, loh."

Kenyataan terpampang di hadapan Dinda dan gadis itu tidak bisa mengelak lagi.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dessert
1054      555     2     
Romance
Bagi Daisy perselingkuhan adalah kesalahan mutlak tak termaafkan. Dia mengutuk siapapun yang melakukannya. Termasuk jika kekasihnya Rama melakukan penghianatan. Namun dia tidak pernah menyadari bahwa sang editor yang lugas dan pandai berteman justru berpotensi merusak hubungannya. Bagaimana jika sebuah penghianatan tanpa Daisy sadari sedang dia lakukan. Apakah hubungannya dengan Rama akan terus b...
Guru Bahasa
363      239     0     
Short Story
Pertama kali masuk pesantren yang barang tentu identik dengan Bahasa Arab, membuatku sedikit merasa khawatir, mengingat diriku yang tidak punya dasar ilmu Bahasa Arab karena sejak kecil mengenyam pendidikan negeri. Kecemasanku semakin menjadi tatkala aku tahu bahwa aku akan berhadapan dengan Balaghah, ilmu Bahasa Arab tingkat lanjut. Tapi siapa sangka, kelas Balaghah yang begitu aku takuti akan m...
Love Al Nerd || hiatus
137      108     0     
Short Story
Yang aku rasakan ke kamu itu sayang + cinta
Jelita's Brownies
4308      1633     11     
Romance
Dulu, Ayahku bilang brownies ketan hitam adalah resep pertama Almarhum Nenek. Aku sangat hapal resep ini diluar kepala. Tetapi Ibuku sangat tidak suka jika aku membuat brownies. Aku pernah punya daun yang aku keringkan. Daun itu berisi tulisan resep kue-kue Nenek. Aku sadar menulis resep di atas daun kering terlihat aneh, tetapi itu menjadi sebuah pengingat antara Aku dan Nenek. Hanya saja Ib...
Mobil Baru
504      253     1     
Short Story
GAUNG SANGKARA
1697      785     0     
Action
Gaung Sangkara, mendapatkan perhatian khusus mengenai pengalamannya menjadi mahasiswa Teknik paling brutal di kampusnya. Dimana kampusnya adalah sebuah universitas paling top di Indonesia, ia mendapatkan banyak tekanan akan nama-nama besar yang berusaha menindas bahkan membunuh dia dan keluarganya. Hal tersebut berpengaruh terhadap kondisi sosial dan psikologis-nya. Lahir dari kalangan keluarga d...
Luka Dan Perkara Cinta Diam-Diam
7791      2561     22     
Romance
Kenangan pahit yang menimpanya sewaktu kecil membuat Daniel haus akan kasih sayang. Ia tumbuh rapuh dan terus mendambakan cinta dari orang-orang sekitar. Maka, ketika Mara—sahabat perempuannya—menyatakan perasaan cinta, tanpa pikir panjang Daniel pun menerima. Sampai suatu saat, perasaan yang "salah" hadir di antara Daniel dan Mentari, adik dari sahabatnya sendiri. Keduanya pun menjalani h...
BlueBerry Froze
3436      1071     1     
Romance
Hari-hari kulalui hanya dengan menemaninya agar ia bisa bersatu dengan cintanya. Satu-satunya manusia yang paling baik dan peka, dan paling senang membolak-balikkan hatiku. Tapi merupakan manusia paling bodoh karena dia gatau siapa kecengan aku? Aku harus apa? . . . . Tapi semua berubah seketika, saat Madam Eleval memberiku sebotol minuman.
Wanna Be
6230      1719     3     
Fan Fiction
Ia dapat mendengar suaranya. . . Jelas sekali, lebih jelas dari suara hatinya sendiri. Ia sangat ingin terus dapat melihatnya.. Ia ingin sekali untuk mengatakan selantang-lantangnya Namun ia tak punya tenaga sedikitpun untuk mengatakannya. Ia sadar, ia harus segera terbangun dan bergegas membebaskan dirinya sendiri...
Bittersweet Memories
47      47     1     
Mystery
Sejak kecil, Aksa selalu berbagi segalanya dengan Arka. Tawa, rahasia, bahkan bisikan di benaknya. Hanya Aksa yang bisa melihat dan merasakan kehadirannya yang begitu nyata. Arka adalah kembarannya yang tak kasatmata, sahabat sekaligus bayangan yang selalu mengikuti. Namun, realitas Aksa mulai retak. Ingatan-ingatan kabur, tindakan-tindakan di luar kendali, dan mimpi-mimpi aneh yang terasa lebih...