Itu ingatan Dinda beberapa tahun lalu, saat dia dan Pasa dipasangkan untuk mengikuti resital Harmoni dari tempatnya belajar piano. Dinda menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi panjang di depan kelas. Senyum Dinda terkembang, dia ingat dengan jelas bagaimana kerasnya mereka berlatih dan mempersiapkan diri untuk resital tersebut.
"Gimana kabar Miss Baya sekarang, ya?" bisiknya pelan. Tangannya tergerak mengetik nama 'Miss Baya' pada kolom pencarian kontak di ponselnya. Namun, begitu melihat nomor wanita paruh baya itu, wajahnya berubah murung kembali. Tangannya dengan segera menghapus kembali apa yang sudah dia ketik.
Setelah insiden dua tahun lalu, Dinda memang tidak lagi menjaga komunikasinya dengan siapa pun yang berkaitan dengan tempat les tersebut. Untungnya, papa dan mamanya juga tidak bertanya lebih lanjut saat Dinda mengatakan ingin berhenti. Keputusan yang meski aneh, tetap diterima orangtuanya.
"Ryo!"
Teriakan Olon itu mengalihkan pandangan Dinda dari ponselnya. Diambilnya tas sandang berisi buku-buku dari atas kursi panjang dan beranjak masuk ke kelas. Kursinya kosong, sementara Ryo sudah berada di kursi sebelahnya sejak tadi. Olon sedang berdiri di samping Ryo yang wajahnya tertekuk seperti panecake bantat.
Melihat itu, Dinda mendesah. Seperti Sabtu, Minggu, dan Senin lalu, tampaknya Kamisnya ini pun akan melelahkan. Kakinya mendekat ke kursi di samping Ryo.
"Apa, sih?" tanya Ryo dengan nada ketus, tidak melirik sama sekali ke Olon.
Olon sepertinya tidak sadar dengan kondisi temannya itu. Dengan santainya dia berkata, "Nyontek," kepada Ryo tanpa merasa bersalah sama sekali.
Namun, detik itu juga seseorang mengeplak kepala Olon dengan buku tulis tipis.
"Sakit! Siapa, sih?" ucapnya melihat ke arah Dinda yang langsung dibalas gelengan oleh Dinda.
"Gue malu punya pacar kayak Lo!" Kana yang berdiri di belakang Olon mencubit pipi cowok itu keras-keras. Rambutnya yang bergelombang sebahu dan bibir yang dipoles lipgloss tipis membuat Olon dan Ryo menatap takjub.
"Lo lagi jatuh cinta, Na?" tanya Ryo.
"Kamu mau nyari penggantiku, Yang?" tanya Olon yang kemudian mengubah ekspresinya menjadi melas.
Dinda yang mendengar pertanyaan itu hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Jatuh cinta? Siapa yang jatuh cinta?" Dinda mendekati mereka lalu menggantungkan tasnya di samping Ryo. Dia memandangi cowok itu sebentar, dan memutuskan untuk duduk setelah tidak melihat reaksi apa pun.
Kana dan Olon menatap Ryo lalu kembali ke Dinda. Berulang begitu beberapa saat hingga akhirnya mereka saling tatap. Olon menatap Kana dengan pandangan bertanya, dijawab oleh Kana dengan menggeleng. Tapi kemudian mata mereka membelalak.
"Kalian enggak berangkat bareng?!" teriak mereka histeris tiba-tiba.
"Enggak, Dinda naik sepeda sendiri," jawab Ryo sambil lalu, matanya tetap menatap ke buku-buku pelajarannya. Semua juga bisa lihat, ryo tidak suka dengan kata-katanya sendiri.
"Kenapa?" tanya Olon dan Kana berbarengan lagi.
Dinda menghela napasnya. Ditatapnya kedua temannya itu sambil menggeleng, meminta dalam hati agar mereka tidak membahas masalah itu sekarang. Untung saja, kedua temannya mengerti dan tidak bertanya lebih lanjut. Mereka malah dengan sukarela meninggalkan dua sahabat itu untuk berkomunikasi melalui satelit hati.
Ya, mana tahu, kan, keduanya secara ajaib bisa berbaikan?
***
Semuanya berawal dari dua hari yang lalu. Sepulang sekolah Dinda bilang pada Ryo bahwa dia ingin berangkat ke sekolah dengan sepedanya sendiri.
"Ya Tuhan, Yo! Aku tuh cuma mau berangkat pakai sepeda sendiri! Bukan mau pindah dari galaksi Bimasakti!"
"Ya tapi alasannya apa Dinda? Kamu enggak biasanya mau ngasih jarak kayak gini. Aku ada salah?"
Dinda tidak mengerti. Apa salahnya dia ingin mengendarai sepeda sendiri ke sekolah? Toh, sepeda itu juga sudah dibelikan papanya sejak beberapa bulan lalu. Lagi pula, awalnya mereka memang berniat berangkat sekolah bersama menggunakan sepeda masing-masing.
"Din ...."
Dinda melirik ke arah Ryo. Dadanya masih kembang kempis karena kesal pada reaksi Ryo yang menurutnya berlebihan. Tapi Dinda juga tahu, persahabatan mereka bukan seumur jagung. Dinda tahu pasti kenapa Ryo sampai seberlebihan ini.
"Aku ingin menepis kata-kata Kak Levi, Yo."
Kening Ryo mengernyit mendengar kalimat itu. "Memangnya dia bilang apa?"
Mengalirlah cerita Dinda soal kata-kata Levi di ruang wakepsek waktu itu. Bahwa hidup Dinda hanya berpusat pada Ryo.
"Kalau aku pikir-pikir," Dinda menggigit gigir bawahnya, "kata-kata Kak Levi ada benarnya."
"Maksud kamu?" Nada suara Ryo terdengar jelas sangat terganggu, mungkin tersinggung dengan kata-kata Dinda.
"Hidupku memang hanya seputar kamu, bahkan ...." Dinda tidak berani melanjutkan kalimatnya. Mengatakannya sama saja dengan memastikan perang berlangsung dengan sahabatnya itu.
"Bahkan soal kamu tidak ikut resital itu juga karena aku? Itu maksud kamu?"
Dinda menggigit bibirnya semakin kuat. Bukan seperti ini reaksi Ryo yang diinginkannya. "Yo, bukan seperti itu maksudku."
Ryo menarik napasnya dalam-dalam. Dia menatap Dinda lamat-lamat sebelum berkata, "Harusnya kata-kata Levi tidak berpengaruh apa-apa pada pertemanan kita, Din."
"Itu maksudku! Aku naik sepeda sendiri enggak akan mengubah apa pun, Yo!"
Ryo menggeleng. "Kamu naik sepeda sendiri memang enggak ngubah apa-apa. Masalahnya, yang ngebuat kamu mau naik sepeda sendiri setelah dulu bilang lebih suka diboncengin aku, itu kata-kata dia. Itu, Din!"
Dinda hanya bisa terpekur. Ryo benar. Entah bagaimana, Levi mengubah pikiran Dinda tentang hubungannya dengan Ryo, dan untuk saat ini, itu mengganggu.
***
"Jadi, gitu ceritanya," jelas Dinda setelah pulang sekolah kepada Kana yang sejak tadi pagi memutuskan bertukar tempat duduk dengan Ryo—tentu dengan sedikit memaksa cowok itu berpindah ke sebelah Olon yang duduk di pojok belakang kelas.
"Kalau aku jadi Ryo, mungkin aku juga mikir gitu, Din." Kana melirik ke arah pintu kelas yang biasanya ditunggui Olon atau Ryo. Kini dua-duanya tidak ada di sana. Mungkin sekarang mereka ada di lapangan basket.
Dinda menarik napas dalam-dalam. Bukan cuma Kana dan Ryo yang berpikir seperti itu, kalau Dinda ada di posisi Ryo pun mungkin dia akan melakukan hal yang sama. Masalahnya beberapa bulan yang lalu, saat mereka baru masuk sekolah, Dinda berkeras untuk berangkat ke sekolah dibonceng Ryo demi menghemat tenaga. Dan cowok itu menyetujuinya begitu saja meski orangtua Dinda sudah melarangnya.
"Terus gimana? Kalian mau diem-dieman begini sampai kapan?" tanya Kana tiba-tiba memecah lamunan Dinda.
"Aku ...." Ucapan Dinda terhenti karena melihat seseorang masuk ke dalam kelas.
"Ditungguin dari tadi di lapangan, ternyata kamu di sini." Orang itu mendekati Dinda dan Kana dengan tatapan penuh percaya diri. Pakaiannya terlihat basah oleh keringat dan rambutnya lepek, meneteskan air ke mana-mana.
"Ngapain kakak ke sini?" tanya Dinda pada cowok—Levi—yang kini menarik kursi dan duduk sangat dekat dengan Dinda. Saking dekatnya, tetesan keringat dari rambut Levi jatuh ke rok sekolah Dinda. Sekarang, posisi Dinda berada di tengah, tepat di antara Levi di sebelah kanan dan Kana di sebelah kiri.
Bukannya menjawab pertanyaan Dinda, Levi malah melirik ke Kana. "Bisa tinggalin gue berdua?"
Mata Kana membelalak. "Apa jaminannya lo nggak bakalan ngapa-ngapain ...."
"Masa depan gue masih cerah! Itu jaminannya!" potong Levi malas mendengar ocehan Kana.
Dinda mendengkus mendengar jawaban yang sangat aneh itu. Kadang dia bingung, darimana datangnya tingkat kepercayaan diri yang tinggi di diri Levi itu.
"Din, kayaknya gue gak bisa menang dari dia. Gue nyusul Olon ke lapangan, ya. Entar calling aja kalau kalian udah selesai," ucap Kana buru-buru mengambil tasnya dan ngibrit keluar kelas.
Dinda bahkan tidak sempat mencerna ucapan Kana dan kini dia terjebak bersama Levi di kelas, berdua saja. Sekarang dia menyesali keputusannya tidak mengikuti Ryo ke lapangan seperti biasanya.
Perlahan Dinda menarik kursinya menjauh sedikit dari kursi Levi. "Jadi mau ngapain kakak di sini? FYI, ini ruangan kelas satu. Harusnya anak kelas dua nggak ...."
"Kenapa kamu kemarin pergi gitu aja?" potong Levi sambil menatap langsung ke mata Dinda. Siku kedua tangan Levi bertumpu di dua meja depan dan belakang Dinda, membuat jarak tatapan itu semakin dekat saja.
Dindan mengalihkan pandangannya ke papan whiteboard di depannya. "Enggak ada apa-apa. Cuma pengin segera pulang aja."
Pelipis Levi mengernyit. "Pulang? Aku inget banget, loh, Din, itu masih pagi banget."
Dinda menggigit bibirnya. Tidak mungkin, kan, dia bilang saat itu dia ingin kabur dari Levi?
"Kamu mau kabur?" tanya Levi tepat sasaran membuat jantung Dinda seperti dipotong dari tempatnya, langsung berhenti berdetak. "Kalau dihitung-hitung, kamu sering banget, ya, kabur dariku?"
Kalau ini adalah drama Korea dan Dinda adalah penontonnya, Dinda mungkin sudah akan teriak-teriak meleyot mendengar kalimat Levi barusan. Sayangnya, dia bukan penonton melainkan tokoh utama. Dia memang ingin teriak tapi bukan karena merasa kalimat itu meleyotkan hatinya.
"Anggap aja aku lagi males," ucap Dinda ketus dan hendak kabur kembali. Sayang, kali ini usahanya gagal. Tangan Levi lebih dulu mencekal lengannya dan menariknya untuk duduk kembali.
"Oke, aku enggak akan nanya apa-apa tentang kaburnya kamu." Levi mengangkat kedua tangannya.
Dinda menarik napas pelan. Sebenarnya, dia sendiri tidak tahu apa yang tengah dia lakukan. Semua ini terasa bodoh dan tidak masuk akal. Sebagian dirinya ingin sekali memastikan apakah Levi benar-benar Pasa atau bukan. Tapi, dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan saat sudah mengetahui siapa Levi.
Dinda menatap Levi. Cowok itu seperti putus asa, dan sedikit banyak itu salah Dinda. Perasaan bersalah itu muncul kembali, tapi langsung ditepis oleh Dinda.
"Kalau enggak ada yang mau kakak omongin lagi, aku mau pulang." Dinda membereskan barang-barangnya dan beranjak dari tempat duduknya.
"Bisakah kamu tetap datang ke Klub Musik Sabtu ini?" Levi mendongak dan menatap Dinda. "Terlepas siapa aku, bisakah kamu tetap hadir di Klub Musik?"
Dinda sudah memutuskan untuk meninggalkan Levi begitu saja saat tangannya kembali dicekal oleh Levi.
"Kak ...."
"Kamu tahu kamu enggak harus memanggilku dengan sebutan 'Kak', kan?"
Mendengar itu, mata Dinda membelalak. Tidak, Dinda tidak ingin mendengarnya. Kepala Dinda menggeleng dengan mata yang mulai merebak.
"Dan, lo, Lev, harusnya juga tahu, berduaan di dalam kelas kosong dengan cewek yang bukan siapa-siapa lo, sore-sore begini bukan hal yang bagus!" ucap sebuah suara dari belakang Dinda. Dengan kasar, tangan dari pemilik suara itu mengempaskan tangan Levi dari Dinda.
Dinda menoleh dan mendapati Ryo ada di sebelahnya. Di belakang mereka ada anak basket serta Kana sedang berdiri menyaksikan hal itu. Beberapa siswa yang sedang lewat juga ikut berkumpul karena penasaran. Dilihat dari sudut pandang mana pun, kejadian bisa mengundang ucapan tidak mengenakkan.
"Yo ...." Dinda berusaha menahan Ryo. Tentu saja gagal.
Tatapan elang dari Ryo sudah beradu dengan tatapan harimau Levi.
"Gue rasa, enggak selamanya lo harus ikut campur sama urusan Dinda, Yo," ucap Levi dengan nada ketus sambil menaikkan sudut bibir kanannya, meremehkan Ryo.
Gigi Ryo menggeretak. Tangannya terarah hendak menarik kerah baju sekolah Levi tapi ditahan Dinda.
"Ayo kita pulang!" ucap Dinda sambil menarik tangan Ryo menjauh dari Levi.
"Aku akan nunggu kamu di Klub Musik Sabtu ini, Din!" pekik Levi yang diabaikan oleh Dinda.
Apa pun yangdirencanakan cowok itu dan bagaimana cara menghindarinya akan Dinda pikirkan nanti. Sekarang yangpenting, mereka harus pergi dari sini secepatnya sebelum perang galaksi pecahantara elang dan harimau lalu menyebabkan gosip antarsemesta!
Big no!