HADIR di sekolah setelah kejadian hari Sabtu kemarin bukan perkara mudah untuk Dinda. Berbagai pertanyaan dan kecemasan muncul di benaknya, membuat dia maju-mundur. Berkali-kali dia meminta Ryo untuk menghentikan laju sepeda hanya untuk meyakinkan dirinya lagi, dan lagi, bahwa dirinya akan baik-baik saja. Bahwa bertemu Levi, kalau pun mereka bertemu di sekolah nanti, tidak akan membuat masalah untuknya.
Sayang, itu hanya ucapan untuk meyakinkan diri saja. Ketika sepeda telah sampai di depan gerbang, ketika matanya menangkap Levi sedang bersandar di sana dengan tangan bersedekap di dada, Dinda segera turun dan berbalik menjauh. Kalau saja tangan Ryo tidak mencekalnya, Dinda pasti sudah berlari naik angkutan umum untuk pulang sekarang.
"Jangan melarikan diri lagi, Din," bisik Ryo, membuat Dinda membalikkan badannya menatap ke Levi.
Dinda tidak tahu dia harus melakukan apa.
Pasa adalah sahabatnya, dulu. Meski hubungannya dengan Ryo sudah terjalin jauh sebelum Dinda bertemu Pasa, tapi persahabatannya dengan Pasa juga bukan persahabatan biasa. Mereka telah melakukan banyak latihan bersama. Jika di sekolah Dinda bersama Ryo, sorenya adalah waktunya bersama Pasa. Jika Senin hingga Jumatnya sibuk menemani Ryo, Sabtu dan Minggu adalah waktunya bersama Pasa. Mereka merencanakan banyak pentas dan panggung yang akan mereka pijaki.
Dinda menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Ryo benar, dia tidak bisa melarikan diri lagi. Siapa pun Levi—Pasa atau bukan—cowok itu perlu penjelasan mengapa dia akhirnya memilih pergi Sabtu kemarin.
Kakinya tergerak mengikuti langkah pelan Ryo. Mata Dinda terus menatap kakinya, tidak berani mendongak. Khawatir wajahnya akan langsung dikenali Levi.
"Din ...."
Bahkan tanpa mendongak pun, Levi sudah mengenalinya.
"Selesaikan masalah kalian," bisik Ryo menggiring sepedanya meninggalkan Dinda dan Levi di depan gerbang.
Dinda bergeming menatap kepergian sahabatnya itu. Matanya kini bergeser ke cowok tampan yang kini sudah berdiri tegak satu langkah jaraknya di depan Dinda.
"Mau ngobrol di sini atau di kantin?" tanyanya membuat Dinda menggigit bibir bawahnya.
"Aku ...."
"Kantin berarti, yuk." Levi menarik lengan Dinda tanpa permisi.
Mau tidak mau, Kaki Dinda ikut melangkah meninggalkan gerbang mengikuti ke mana Levi menariknya.
***
"Jadi, yang kemarin itu ... apa?"
Dinda menatap Levi bingung. Pertanyaan Levi barusan cukup mengganggunya. Kenapa Levi bertanya seolah-olah Dinda tidak tahu apa-apa? Kenapa Levi bersikap seperti Dinda bukan siapa-siapa? Apakah Levi bukan Pasa?
"Kamu berhutang penjelasan, Dinda."
"Bukannya terbalik? Bukannya Kak Levi yang punya hutang penjelasan padaku?"
Pelipis Levi mengernyit. Matanya menatap Dinda dengan sorot yang tidak dapat diartikan. "Maksud kamu?"
"Lagu itu ...." Dinda menatap mata Levi tajam. Digigitnya bibir bawah, cemas terhadap apa yang mungkin muncul setelah ini.
"Apa?" tanya Levi tidak mengerti.
"Dari siapa Kakak tahu lagu itu?"
Levi menyeringai kecil. Matanya yang tadi terlihat khawatir, kini berubah berbinar. "Kamu akhirnya ingat?"
Mata Dinda membelalak. Apa ini? Levi tahu siapa dirinya? Dinda tiba-tiba mengingat kembali pertemuannya dengan Levi beberapa minggu lalu. Ucapan pria itu terngiang lagi di telinganya.
"Gue akan ngebuat lo ingat sama gue, bahkan sampe ke titik terdetil."
"Kakak ... bukan ...."
"Bukan?" Levi menaikkan satu alisnya, menunggu Dinda melanjutkan kalimatnya.
Dinda menggelengkan kepalanya. Tidak. Dinda belum siap. Cowok di hadapannya ini bisa siapa saja. Bisa jadi Pasa, bisa jadi bukan. Dan, kalau Dinda menyebutkan terlebih dulu nama Pasa di sini, bisa jadi ini jebakan dan dia masuk ke dalamnya.
"Gue—"
"—Aku ke kelas, ya, Kak." Dinda berdiri dari kursinya dan segera beranjak dari sana. Berlari.
"Din!"
Dinda menutup telinganya. Dia benar-benar tidak mau tahu siapa Levi sebenarnya, dan apa yang diinginkan cowok itu mendatanginya. Yang Dinda inginkan hanya pergi dari situ secepatnya.
***
Di kelas, Ryo memperhatikan Dinda yang masuk dengan wajah bermuram durja. Ini pertama kalinya dia melihat lagi ekspresi jelek itu setelah kemarin di rumah Dinda. Dulu, wajah itu juga ditunjukkan Dinda berbulan-bulan lamanya setelah kegagalan cewek itu tampil di panggung yang sama dengan Pasa.
"Gimana?"
Dinda menatap wajahnya dengan tampang yang semu. Tidak berekspresi, tapi tidak juga datar seperti robot. Gadis itu berjalan ke arah meja mereka sambil menunduk. Tas di tangannya tidak bergerak sama sekali dari pelukannya. Ryo yakin, apa pun yang terjadi, obrolan Dinda dan Levi tidak menghasilkan sesuatu.
"Oke, aku enggak akan nanya apa-apa."
Dinda duduk di sampingnya. Menghela napas berkali-kali. "Kenapa kamu enggak nanya?"
Ryo menatap wajah Dinda, mencoba menerka ke mana pikiran gadis itu sekarang.
"Seharusnya kamu nanya!"
Alis Ryo kini naik sebelah. Dia sukses melongo dengan reaksi Dinda barusan. Selama hampir lima belas tahun mereka kenal, ini pertama kalinya Dinda bertingkah seperti gadis remaja seumuran mereka yang minta diperhatikan. Dinda tidak pernah menunjukkan ketidakjelasan sikap, cewek itu selalu bersikap dewasa dan bisa diandalkan. Melihat Dinda yang seperti ini, Ryo malah ingin tertawa.
"Kamu ingin ditanya?"
"Enggak!"
Ryo mati-matian menahan geli di perutnya. "Jadi, kamu mau diapain?"
Dinda kini menatap mata Ryo. Kedua bola mata cewek itu terlihat berair. "Yo, aku mau pulang," ucapnya manja.
Sudah, Ryo sudah tidak tahan lagi. Tawanya meledak. Rasanya benar-benar aneh melihat Dinda bertingkah seperti gadis yang ada di novel-novel teenlit yang sering mereka baca. "Din, tadi ngapain, sih? Ngomongin apa sama Levi?"
Mulut Dinda kini ikut memberengut. Daripada kasihan, Ryo kini malah gemas sama penampakan Dinda. Cewek itu kusut dari atas sampai bawah. Bajunya memang masih terkancing rapi, roknya juga masih benar di posisinya. Masalahnya terletak di rambut sebahu dan sepatunya.
Ryo meletakkan tangannya di bahu Dinda dan menggeser tubuh cewek itu untuk membelakanginya. Dinda menurut. Teman-teman mereka yang sudah biasa melihat keakraban Ryo dan Dinda tidak mau ambil pusing. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing.
"Jadi," ucap Ryo pelan, tangannya membuka ikat rambut Dinda, "gimana tadi? Apa yang kalian omongin?" Ryo merapikan rambut Dinda, menyisirinya dengan jari dan mengikatnya kembali.
Dinda menggeleng. "Enggak ngomong apa-apa."
"Maksudnya?"
"Aku tadi langsung kabur sebelum memastikan dia Pasa atau bukan."
Ryo menghela napasnya. Sebenarnya dia sudah tahu ini akan terjadi. Sahabatnya ini memang bukan jenis cewek yang demen mengkonfrontasi langsung orang lain. Adanya juga dia yang dikonfrontasi, dilabrak cewek-cewek yang suka pada Ryo misalnya. "Terus?"
Dinda menggeleng lagi. "Entah. Aku enggak tahu mesti gimana."
"Mau ngindar?"
Mata Dinda menatap sinis. "Kamu kira aku selemah itu?"
Iya, emang, ucap Ryo dalam hati. Ryo tidak habis pikir dengan sahabatnya sejak kecil ini. "Kamu lagi PMS, ya, Din?" tanya Ryo seperti memantik api tepat di hadapan bensin.
"Kamu itu, bukannya bantuin malah makin bikin masalah, ya!"
***