MEREKA kini di ruangan OSIS. Levi tidak berbohong kepada Bu Meira. Dinda memang dipanggil oleh wakil kepala sekolah bagian kesiswaan tentang statusnya yang belum menjadi anggota dari ekstrakuliler mana pun. Di sini, ada beberapa siswa lain yang juga bernasib sama.
"Kok, di sini juga, Kak?"
"Nemenin kamu." Levi yang duduk di samping Dinda tersenyum manis menatap Dinda.
Di depan sana, Pak Emil sedang berceramah panjang lebar mengenai betapa pentingnya ekstrakuliler sebagai salah satu metode pengenalan diri siswa terhadap bakat terpendamnya. Dinda menghela napasnya. Bukannya dia tidak tahu, masalahnya dia belum benar-benar memutuskan akan ikut ekskul apa.
Musik jelas pilihan utamanya. Tapi, dengan segala hal yang pernah terjadi, Dinda merasa bermain musik lagi merupakan pilihan egois yang bisa dia pilih.
"Sebenarnya, ada apa dengan kamu dan musik, sih?"
Dinda menatap kehadiran kakak kelasnya itu yang tadi tiba-tiba hilang dan kini sudah muncul lagi di sebelahnya dengan dua kotak susu cokelat di tangannya. Salah satu susu cokelat itu diberikannya ke Dinda.
Tangan Dinda secara otomatis mengambil susu cokelat itu dan meminumnya. "Makasih." Dinda menunduk lagi. Kalau saja kejadian itu tidak pernah terjadi, mungkin aku masih .... Dinda menghela napasnya.
"Lagi?"
Dinda menatap Levi dengan mimik bingung.
"Kayaknya kalau ngobrol denganku kamu selalu menghela napas."
"Karena kakak selalu menanyakan sesuatu yang membuatku menghela napas." Dinda memicingkan matanya ke arah Levi.
Levi meringis. "Apa aku selalu menanyakan sesuatu yang salah?"
Dinda menggeleng pelan. "Mungkin ... bukan salah, cuma aku tidak tahu cara menjawabnya."
Omongan Pak Emil di depan sana pelan-pelan mereda. Beliau sedang duduk mengambil napas. Pelan ditatapnya satu persatu siswa yang belum terdaftar di ekstrakulikuler itu, lalu beliau menghela napas. "Kalian harus bisa menentukan hidup kalian sendiri. Kalau mengenai hal sekecil ini saja kalian tidak bisa menentukan, bagaimana kalian akan bisa menentukan hal yang besar-besar?"
Dinda terdiam. Dia menunduk dan memandang ujung kakinya.
Levi menatap perubahan air muka Dinda.
Ya, kalau memutuskan hal seperti ini saja Dinda tidak bisa, bagaimana dia akan memutuskan hal besar nantinya? Dinda menghela napas lagi.
"Bukannya dengan tidak masuk ke ekstrakulikuler apapun berarti sudah memutuskan sesuatu, ya, Pak?"
Suara Levi di sampingnya mengagetkan Dinda. Gadis itu menatap pada Levi dengan mata membulat dan mulut menganga. Gila kali ya ini orang?
"Kalau mengenai hal sekecil ini saja keputusan kami sudah dicampuri, bagaimana kami akan bisa menentukan hal yang besar-besar?" lanjut Levi lagi.
Pak Emil terdiam sebentar, kemudian beliau menatap wajah Levi dan mendekati cowok itu. Beliau menggaruk-garuk dagunya yang berjenggot tebal hitam mengkilat. Dia tampak memikirkan sesuatu sebelum berkata, "Kamu Pahlevi Angkasa, kan? Kelas 11 IPA 1?"
Levi tersenyum meringis. Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Bapak ingat saya?"
"Kamu gitaris muda berbakat itu, kan? Yang sampe di sini malah gabung ke klub basket bukan musik?"
"Pak, saya gabung di klub musik, kok. Cuma jarang aja ke sana. Gimana lagi, basket lebih diminati gadis-gadis, kan?" Levi tersenyum lalu mengedipkan matanya pada Dinda.
"Ngapain kamu di sini? Yang saya panggil ke sini hanya siswa kelas satu." Pak Emil menatap tajam pada Levi.
"Saya nemenin dia." Levi menunjuk Dinda.
Panik menguasai Dinda. Segera gadis itu menggelengkan kepalanya ke Pak Emil. "Sa-saya tidak memintanya, Pak!"
"Kalian berdua, tinggal di sini. Yang lain, kembali ke kelas masing-masing!"
* * *
Kantin sekolah kini begitu ramai. Semua siswa sedang mencari makanan, entah itu hanya sebagai cemilan, pengganjal perut, atau makan siang. Mereka berkumpul di stan-stan penjaja makanan yang menyewa tempat di sana.
Ryo dan Dinda duduk bersebelahan di salah satu meja. Ryo memesan siomay, Dinda memesan seblak pedas. Sebenarnya Dinda tidak biasa makan pedas, tapi ini hari khusus. Ini pertama kalinya dia kena hukum menghormat di depan tiang bendera.
Dan parahnya lagi, orang yang menyebabkannya dihukum sekarang sedang cengengesan di depannya. Duduk santai tanpa merasa bersalah dengan semangkuk baso kuah yang siap dimakan di hadapannya.
"Gimana rasanya kena hukum?" tanya cowok itu tanpa merasa bersalah.
"Menurut lo?" Dinda melahap seblak pedasnya dengan muka tertekuk.
Levi tertawa terbahak-bahak mendengar balasan dari Dinda. Di samping Dinda, Ryo memakan siomaynya dengan khidmat. Seolah-olah makanan itu adalah makanan terenak di dunia yang tidak pernah dia makan sebelumnya.
"Eh, Yo, ngomong sesuatu, dong," pinta Levi sambil mengunyah baso daging lengkap dengan sayurnya. "Gimana pendapat lo sahabat lo kena hukum hormat bendera?"
Dinda menatap Ryo, menunggu respons dari cowok itu.
"Ya, biasa aja, memangnya ada yang aneh dari siswi yang dihukum menghormat bendera? Tiap hari juga ada aja, tuh, yang dihukum Pak Emil di sana," jawab Ryo sambil lalu. Tampak tidak tertarik sama sekali dengan obrolan Levi dan Dinda.
Dinda menatap Ryo tidak percaya. Air mukanya langsung berubah. Pipinya menggembung, mulutnya mengerucut, keningnya mengerut. Hei, ini pertama kalinya, loh, Dinda dihukum, dan Ryo mengatakan itu seolah-olah ini bukan kejadian luar biasa. Sahabat macam apa itu?! Dinda mendengkus.
"Apa? Aku salah?" tanya Ryo menatap Dinda.
"Ya, gak salah, sih, tapi ya gak gitu juga ngomongnya. Kayak aku sering banget aja kena masalah."
Ryo menatap Dinda dengan pandangan sinis. "Hem?"
"Emang aku bikin masalah apa coba?" tantang Dinda.
Ryo menunjukkan telunjuk kanannya. "Satu, menukar makanan Pak Daya dengan makanan Bu Meisya waktu kita kelas dua SD."
"Itu aku enggak sengaja, Ryo."
Ryo kini mengacungkan telunjuk dan jari tengah, membentuk huruf 'V'. "Dua, bikin Bibi tergopoh-gopoh datang ke sekolah karena kamu bilang aku jatuh dari tangga saat kita kelas empat. Padahal aku cuma kesandung biasa, di anak tangga terakhir pula."
"Itu kesalahpahaman, Ryo. Aku jelas-jelas lihat kamu meringis kesakitan di anak tangga terbawah," balas Dinda lagi.
Tidak mengindahkan kalimat Dinda, Ryo menaikkan jari manisnya. "Tiga, waktu kelas satu SMP, kamu bikin Pak Dodo marahin Aya karena ketahuan nyontek dari bukumu."
"Ih, itu Aya-nya aja yang enggak hati-hati. Bukan aku yang bikin masalah!"
"Tapi kamu yang bikin Pak Dodo datang ke meja Aya." Ryo tersenyum menang.
Levi tersenyum melihat tingkah Dinda Dan Ryo. "Kalian benar-benar duo yang menarik."
Dinda mendengkus. "Cuma empat itu. Dan, semua itu bukan salahku."
Ryo menggeleng sebentar. Terdengar helaan napas darinya sebelum dia melanjutkan lagi. Kali ini dengan nada suara yang terdengar sedih. "Kamu pernah membuat seseorang harus menghadapi neraka sendirian di atas panggung yang seharusnya kalian pijak bersama."
Kali ini, Dinda bergeming. Perasaan bersalah yang selama ini dia pendam dan dia sembunyikan menyeruak dengan cepat. Dia ingat sekali kejadian itu. Bagaimana mungkin dia bisa melupakan kejadian yang membuatnya memutuskan berhenti main piano? Terlebih, karena ulahnya itu, partnernya—yang kini entah ada di mana—kehilangan nama untuk bisa tetap bertahan di panggung yang dulu pernah mereka berdua kuasai.
"Jadi, karena itu kamu ragu masuk ke ekskul musik?" Levi yang sedari tadi mendengar perkataan Ryo menatap keduanya bergantian.
"Din, main piano lagi, ya?" bisik Ryo lembut. Tatapan cowok itu langsung menuju mata Dinda. Tatapan tulus yang lembut.
Itu jelas sebuah permintaan. Ryo jarang meminta Dinda melakukan sesuatu dengan cara seperti ini. Kalau cowok itu sudah menggunakan cara ini, berarti permintaan itu penting untuknya.
"Maafin dirimu sendiri, Dinda," bisik Ryo lagi.
***