DINDA kini duduk di pinggir lapangan basket. Seperti biasa, membaca buku sambil menunggu Ryo selesai latihan. Lima hari berlalu sejak Ryo mengucapkan permintaannya.
Selama ini, baik Dinda maupun Ryo selalu menghindari topik itu dengan baik. Bahkan, mereka cenderung melupakannya. Ada perasaan yang tidak menyenangkan setiap kali harus mengingat kejadian demi kejadian akibat keputusan Dinda saat itu. Keputusan yang untuk pertama kalinya dia ambil sendiri.
Dinda kira, keputusannya untuk tidak bergabung dengan klub musik lagi adalah keputusan yang terbaik.
Ternyata tidak. Permintaan Ryo kemarin benar-benar mengganggu tidur Dinda semingguan ini. Ditambah lagi, tenggat waktu untuk menentukan akan ikut ekstrakulikuler apa juga semakin dekat.
Jadi, kemarin pagi dengan setengah hati Dinda memasukkan formulir pendaftarannya ke klub musik. Berharap dengan begini, rasa bersalah yang terus menghantuinya selama dua tahun belakangan bisa sedikit menghilang.
Seperti biasa, Dinda duduk di tepi lapangan basket, menunggu Ryo selesai latihan. Cowok itu dari dulu begitu. Minatnya pada basket tidak pernah surut sedikit pun. Sama seperti Dinda yang selalu duduk di pinggir lapangan basket menunggui Ryo untuk bisa pulang bersama.
Ini hari Sabtu, sudah satu jam berlalu sejak waktu ekskul dimulai. Seharusnya Dinda sekarang ada di ruangan klub musik, bukan di sini. Tapi, entah kenapa kakinya urung ke ruangan keramat itu. Masih enggan atau masih merasa tidak nyaman, entahlah. Yang jelas, dia kini memilih untuk menunggu Ryo di pinggir lapangan basket, seperti biasa.
"Memang ya, cuma Ryo yang bisa bikin kamu gerak." Wajah seseorang muncul di samping bahunya, membuat Dinda terlonjak kaget.
"Kak Levi!" pekik Dinda sambil menjengit ke belakang.
"Biasa aja, Neng, jangan teriak-teriak juga. Budek kuping saya." Cowok itu dengan santai duduk di samping Dinda sambil mengucek-ngucek kupingnya.
"Kak Levi enggak latihan basket?" Dari tadi memang Dinda tidak melihat Levi di lapangan. Ini minggu kedua Dinda di sini, dan Levi si kapten basket, sudah dua kali pula bolos latihan. "Dan, kelihatannya enggak niat latihan juga," komentar Dinda ketika memperhatikan pakaian yang kini dikenakan Levi. Mana ada orang yang akan latihan basket memakai kemeja putih lengan panjang, celana jin, dan sepatu pantofel.
"Ini karena kamu, tahu?"
"Aku?"
"Kemarin aku lihat formulir pendaftaranmu di klub musik. Jadi, kukira kamu bakal di sana hari ini." Cowok itu menatap Dinda tajam membuat Dinda merasa tidak nyaman seketika. "Ditungguin sejam, orangnya enggak nongol-nongol. Padahal aku udah siapin D'amore buat dimainin."
Ditatap begitu tentu saja Dinda jengah juga. Apalagi, cowok yang ada di sampingnya ini memiliki kontur wajah yang tegas, dengan mata yang tajam beriris hitam, dan bibir merah, membuat cowok ini betul-betul bisa menarik hati siapa saja yang melihatnya.
Astaga, aku mikir apaan barusan?
Pipi Dinda memanas menyadari isi pikirannya sendiri. Dinda mengalihkan pandangannya ke lapangan lagi, ke tempat Ryo sedang rebutan bola basket dengan teman-teman setimnya. Cowok itu tampak begitu fokus.
"Ngapain di sini?"
"Menurut Kakak?"
"Nungguin Ryo lagi?"
Dinda bergeming.
"Kamu ... apa hidupmu akan terus berputar di sekitar Ryo?"
Pertanyaan yang Dinda tidak prediksi keluar dari mulut kakak kelasnya itu. "Maksud Kakak apa?"
"Yah, hampir semua keputusanmu karena Ryo, kan? Bahkan soal payung pun begitu."
Dinda tidak bisa mengelak. Memang hampir seluruh dunianya ada di sekitar Ryo. Janji masa kecil yang dia buat dengan cowok itu membuatnya enggan untuk mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Sangat berkebalikan dengan Ryo yang memutuskan sesuatu berdasarkan mimpi dan tujuannya. Mimpiku apa? Musik? Dinda menggelengkan kepalanya.
Lengannya tiba-tiba digenggam Levi. Cowok itu kini telah berdiri di hadapan Dinda dan menarik gadis itu untuk ikutan berdiri. Mau tidak mau Dinda bangkit dari duduknya. Dia menatap Levi dengan bingung. Cowok itu mengambil tas sandang Dinda yang masih tergeletak di kursi, mengambil buku musik Dinda, dan menarik gadis itu keluar lapangan.
"Eh, kita mau ke mana?" Dinda menahan dirinya agar tidak tertarik tangan cowok itu.
"Klub musik lah, ke mana lagi?"
Sementara itu, di lapangan Ryo melihat kejadian itu. Bola yang dilemparkan Olon ke arahnya tidak tertangkap, malah melayang bebas menabrakkan diri ke kepala Ryo.
"Aduh!"
"Eh, Nyuk, ngelamunin apaan, sih, lo?" Olon mengikuti arah pandangan Ryo. Lalu dia tertawa.
Richard mendatangi mereka lalu sambil tertawa berkata, "Kan, udah gue bilang. Kalau punya gebetan itu, yang paling susah bukan sukanya, tapi cemburunya."
***
Di ruangan klub musik, Dinda hanya duduk di pinggir ruangan dengan canggung. Ini hari pertamanya di klub musik. Hampir semua anak yang masuk klub musik di hari ini dianggap sebagai siswa yang tidak begitu serius. Mau bagaimana lagi? Orang-orang yang memutuskan begabung di last minute dianggap sebagai orang-orang yang mengambil keputusan hanya agar tidak dimarahi Pak Emil.
Untuk kasus Dinda itu ada benarnya. Salah satu alasan dia mengambil ekskul ini memang agar tidak harus mendapat omelan tambahan dari wakasek kesiswaannya itu.
Dengan keadaan yang begitu ditambah dengan keterlambatannya, tentu saja kini dia mendapat tatapan tajam dari banyak siswa lain. Bukan hanya tajam, cenderung merendahkan malah. Dinda hanya bisa tertawa miris menatap mereka.
"Jadi, namamu Dinda?"
Dinda mengangguk. Itu pertanyaan dari ketua klub. Kayaknya, sih, teman dari Levi karena begitu Levi menepuk pundaknya, cowok itu langsung berdehem kecil dan tersenyum, mengucapkan selamat datang pada Dinda yang terdengar setengah hati.
Dinda kira dia bukan satu-satunya siswi yang memasukkan formulir di hari terakhir, ternyata tidak. Hampir semua anggota klub adalah first-submitter, dia satu-satunya yang submit di hari terakhir. Itu berarti dia satu-satunya pengkhianat di sini.
Dinda menghela napas. Keberadaannya di klub ini tidak akan semenyenangkan perkiraan.
Seseorang menyentuh bahunya, Dinda menoleh.
"Look at me when I play," bisik Levi kemudian duduk di sebuah kursi kayu tanpa senderan di tengah ruangan. Pelan suara petikan gitar terdengar dari senar-senar yang diajak bermain oleh Levi. Romance D'Amoure. Music of love. Lembut dan terdengar sedih.
***