PAGI itu tidak seperti biasanya. Suara hujan lengkap dengan gemuruhnya dan pohon yang jingkrak-jingkrak terkena angin menyambut Dinda ketika membuka mata. Bukan hal yang menyenangkan mengingat dia dan Ryo berangkat ke sekolah menggunakan sepeda. Ponselnya berbunyi nyaring. Mungkin Ryo, pikirnya. Matanya yang belum terbuka sepenuhnya, tangannya mencari-cari di mana letak ponsel yang memanggil untuk dijawab itu.
Begitu menemukan ponselnya, jempolnya sigap menggulung layar ke atas dan mendekatkan benda kecil itu ke telinganya yang masih menempel ke bantal. "Ya, Ryo? Mending kamu bawa mobil atau kita berangkat bareng papaku, deh."
"Enggak mau aku jemput? Aku bareng supir, loh."
Suara yang menyambutnya di seberang sana membuat Dinda seketika duduk. "I-ini siapa?"
"Masih belum bisa membedakan suaraku dengan Ryo, ya? Atau masih belum nyimpen nomorku?" Suara itu terdengar sangat percaya diri.
Dinda segera menatap nama yang tertera di layar. Kak Levi, batin Dinda dengan wajah yang meringis. Dia menghela napas lalu menjawab pertanyaan cowok itu. "Aku bareng Ryo aja, Kak. Entar kalau enggak naik mobil Ryo, kita bareng papaku."
"Yakin? Aku bisa jemput, loh!"
"He-em."
"Oke, sampai ketemu di sekolah."
Dinda menghela napasnya lagi. Matanya menatap langit-langit yang penuh dengan tempelan bintang glow in the dark. Lampu kamar yang memang sengaja dia matikan sebelum tidur, membuat bintang-bintang itu menyala. Terlihat bagus. Ingatannya melayang ke momen saat Dinda mendapatkan hadiah bintang-bintang itu. Senyum tipis menghiasi wajahnya.
Ponselnya kembali berbunyi. Kali ini dia yakin siapa yang menghubunginya. Sigap tangannya menjawab telepon itu. "Ada apa lagi, sih, Kak Lev?"
Bukannya mendapat jawaban, Dinda malah mendengar panggilannya ditutup. Terkejut, Dinda melihat siapa yang meneleponnya. Matanya membelalak. Ryo?
* * *
Sepanjang perjalanan ke sekolah, Ryo hanya diam saja. Hari ini mereka diantar oleh papanya Dinda. Dinda duduk di kursi penumpang belakang, sementara Ryo duduk di sebelah papa Dinda.
Beberapa kali papa Dinda menatap kedua remaja ini, sesekali dia menggelengkan kepala. "Kalian lagi berantem?"
"E-enggak, kok, Pa," jawab Dinda.
Papa Dinda menatap ke Ryo, menunggu jawaban sahabat anaknya itu.
"Enggak, Pa." Ryo menjawab singkat sambil tersenyum ke papa Dinda. Dia sudah terbiasa memanggil papa Dinda dengan sebutan 'Papa'.
Papa Dinda kali ini tersenyum geli. Jelas sekali ada yang salah. Kali ini dia yakin anaknya yang membuat ulah. "Nanti, sampai sekolah, segera diomongin. Ya, Dinda?"
Dinda dan Ryo langsung menatap wajah pria paruh baya yang ada di kursi kemudi.
Sontak saja hal itu membuat papa Dinda tertawa. "Kalian ini. Tuh, udah sampe. Pasang payung masing-masing."
Keduanya, Ryo dan Dinda, segera mengambil payung dari dalam tas mereka. Begitu mobil berhenti, keduanya mencium tangan papa Dinda lalu turun sambil memayungi diri masing-masing.
Begitu mobil itu menghilang dari hadapan mereka, keduanya saling lirik. Tak sepatah kata pun keluar dari bibir mereka berdua.
"Aku ...." Dinda mencoba mengatakan sesuatu tapi ragu-ragu. Ia bingung. Apa yang harus dijelaskan? Masalahnya, kejadian tadi pagi dan sikap Ryo sekarang seperti menuntutnya untuk menjelaskan sesuatu.
"Dinda!"
Dinda dan Ryo menoleh ke belakang. Di pinggir jalan, di samping mobil berwarna hitam, berdiri Levi dengan payungnya yang super besar sambil tersenyum pada mereka.
Dia segera mendekati Dinda dengan payung besarnya. Tanpa bertanya pada Dinda, Levi mengambil payung yang dipegang gadis itu, menutupnya, lalu memasukkannya ke kantong plastik yang entah dari mana munculnya. "Nah, sekarang kita bisa sepayung berdua," katanya tanpa merasa bersalah.
"Eh, Kak kembaliin payungku."
"Akan aku kembaliin setelah aku anterin kamu ke kelas."
Dasar cowok toxic! Main perintah-perintah aja. batin Dinda.
Ryo yang sedari tadi menatap kejadian itu dalam diam langsung menarik tangan Dinda, menyerahkan payungnya sendiri. "Pakai!" perintahnya lalu segera berlari ke dalam sekolah sambil menutup kepalanya dengan hoodie.
Ini sama aja toxicnya, lanjut hati Dinda menatap kepergian Ryo. Segera dia membuka payung Ryo dan berbalik menatap Levi. "Besok-besok kalau mau nyolong payung orang bilang-bilang, ya, Kak. Dah, aku mau ke kelas." Dinda lalu berjalan masuk halaman sekolahnya menyusul Ryo.
Levi yang ditinggal Dinda di depan gerbang masih kaget dengan respons cewek itu barusan. "Astaga? Dia bilang apa tadi? Nyolong?" Levi tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Dia tidak menyangka kelakuannya tadi digolongkan sebagai tindakan pencurian oleh Dinda.
"Bener-bener, deh, kelakuan," katanya lagi.
Hujan tinggal gerimis. Levi menutup payung besarnya, menyelipkan besi-besinya hingga gagangnya mengecil, melipat bagian kainnya dan memasukkannya ke dalam plastik yang berisi payung Dinda. Melihat payung gadis itu ada di sana, terlintas ide iseng di benak Levi. "Nah, kamu mesti ngerasain rasanya diisengi juga."
* * *
Ryo sudah di kelas ketika Dinda sampai. Segera gadis itu melipat payungnya—well, secara teknis bukan miliknya, sih—dan berjalan ke kursinya sendiri. Dia menatap Ryo yang ekspresi wajahnya seperti orang belum sarapan itu. Disodorkannya payung yang tadi dia 'pinjam' ke Ryo. Cowok itu melirik sebentar lalu berkata, "Simpan saja dulu."
Dinda mengalah. Cewek itu duduk di kursinya sendiri. Dia merasa lelah entah kenapa. Kayaknya beberapa hari ini banyak hal yang tidak berjalan sesuai keinginannya. Padahal kalau dia bisa menelusuri lagi cuma hari ini saja yang terasa janggal.
"Dindaaa!"
Teriakan Yani dan Cici barusan membuat Dinda teralihkan dari lamunannya sendiri. "Ada apa?"
"Kamu jadian sama Kak Levi?!" teriak mereka berdua kompak, membuat seantero kelas sontak melihat ke arah mereka.
Dinda seketika melongo dengan pertanyaan itu.
"Beneran? Kamu jadian sama Kak Levi?" Pertanyaan yang sama diulang oleh salah satu teman mereka yang lain.
Dinda menggeleng. "Kalian dapat kesimpulan dari mana?"
"Dia pakai payung kamu!" kata Yani dengan bersemangat.
"Dari mana kamu tahu itu payung aku? Dia pakai payung segede gaban gitu," ucap Dinda tidak mau kalah.
"Enggak. Itu payung kamu Dinda! Warna pink ada tulisan Adinda Karya Kusuma-nya."
Dinda sekali lagi mengerutkan keningnya. Ngapain dia pake payung aku?
"Terus, dia juga lagi jalan ke sini." Kali ini Cici yang menyambung.
"Ngapain dia ke lantai anak kelas satu?" tanya Dinda bingung.
"Dia bilang—"
"Dinda, nih, payung kamu. Kamu baik banget udah minjemin payung ini tadi," ucap seorang cowok sambil menyodorkan payung ke Dinda yang masih jadi pusat perhatian teman-temannya.
Sontak perhatian Cici, Yani, Dinda, dan Ryo beralih ke pemilik suara. Cici dan Yani terperangah, hampir serempak mereka berkata, "Kak Levi ...."
"Makasih, ya, udah ngabarin ke Dinda." Levi tersenyum manis ke kedua teman Dinda.
Ryo tanpa tendeng aling merebut payung Dinda dari tangan Levi. "Udah mau bel, lo ke kelas, gih. Tadi, gue yang kasih payung ini ke Levi. Makanya, Dinda pake payung gue."
Serentak teman-teman mereka kini melihat ke atas meja Dinda, tempat payung Ryo kini bersemayam lalu manggut-manggut bersama. Lalu mereka melihat lagi ke tubuh Ryo yang setengah basah dan kembali manggut-manggut.
"Ngapain lo minjemin payung Dinda ke Kak Levi? Kenapa enggak payung lo sendiri aja, sih?" Mata Yani memicing menatap Ryo.
Dinda menghela napasnya. "Payung gue tadi direbut Kak Levi. Jadi, Ryo ngasih payungnya buat gue."
"Ngapain Kak Levi ngerebut payung kamu? Dia punya payung sebesar itu." Kali ini Kana, salah satu teman sekelas mereka, sahabat Dinda dari SMP, yang bertanya.
Levi mendekat ke meja Dinda dan berjongkok di tepat di samping Dinda. Lalu, sambil tersenyum manis, dia berkata, "Biar kami bisa sepayung berdua."
Seketika para gadis di dalam kelas itu menahan napasnya. Wajah Levi ketika mengatakan hal itu benar-benar wajah yang sulit dilewatkan. Ketampanannya serasa menembus kahyangan.
Dinda berdiri dari kursinya, menarik lengan Levi agar cowok itu berdiri. Setelah cowok itu berdiri, Dinda menarik cowok itu keluar kelas. "Balik. Ke. Kelas. Lo! Ini perintah!" Matanya melotot menatap Levi yang tersenyum geli.
"Jadi sekarang pakai lo-gue? Gak pakai aku-kamu lagi?"
"Kak, please ...."
"Oke, aku balik ke kelas, asal kamu nanti ngijinin aku ikut makan siang bareng kalian."
Dinda menatap Levi tak percaya. Matanya melirik ke arah Ryo yang kini melihat ke arah mereka dengan tatapan curiga. Bukan apa-apa, makan siang adalah waktu yang dia niatkan untuk menjelaskan segalanya ke Ryo. Kalau saat makan siang ada Levi rencananya tentu akan gagal. Tunggu, kenapa aku harus menjelaskan ini semua ke Ryo?
Dinda menggeleng mantap.
"Oke. Kalau gitu aku akan tetap di sini."
"Terserah." Dinda meninggalkan Levi di depan pintu kelas tepat saat bel sekolah berbunyi.
Kini, satu kelas menatap ke arah jendela yang menampakkan kepala kakak kelas mereka itu. Sesaat mereka melihat Bu Meira, guru Bahasa Indonesia mereka, berpapasan dengan Levi. Keduanya berbincang sebentar sebelum Bu Meira meninggalkan Levi dan masuk ke kelas Dinda.
"Dinda, kamu ditunggu di ruang OSIS." Bu Meira berkata pelan sambil membereskan peralatan mengajarnya di atas meja.
Dari balik jendela, Dinda melihat senyum Levi yang mengembang penuh kemenangan. Dinda memutar bola matanya. "Baik, Bu," jawabnya.
Ketika akan berdiri dan pergi keluar kelas, tangannya ditahan oleh Ryo. Cowok itu menatap Dinda.
Dinda menatap Ryo sekilas lalu dengan kepalanya menunjuk ke Bu Meira yang sedang menunggu Dinda untuk keluar.
Tangan Ryo melepas genggamannya. Ini pertama kalinya, Ryo benar-benar tidak suka dengan kehadiran cowok lain di sekitar Dinda.
* * *