Reyhan melajukan mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Membuatku harus berpegangan erat pada pinggiran pintu mobil. Membuatku berkali-kali harus menarik napas panjang. Aku tak tahu ada apa dengan dia? Aku melihat ada sesuatu yang berat yang sedang menghantam pangkal kepalanya. Dia seperti sedang kacau sekali! Dia kenapa sih? Membuatku bingung saja!
“Reyhan!” aku memanggil namanya dengan suara agak tinggi. “Pelan-pelan Rey! Kamu mau ngajakin mati berjamaah?!” Reyhan tak menggubris perkataanku. “Kita mau ke mana?!”
Reyhan tetap tak mendengarku dan malah semakin memacu kendaraannya dengan kecepatan penuh. Membuat aku takut karena dia bagaikan sedang menantang maut!
“Reyhan! Sinting lo ya?” aku langsung menepuk kepalanya saat dia tak juga menghiraukan perkataanku.
“Aww! Sakit, Ayy!” akhirnya suara dia terdengar juga. “Kamu tenang aja, aku gak akan ngajakin kamu mati!”
“Siapa juga yang mau diajak lo mati! Sinting!”
Reyhan tak berkata lagi. Setelah lama dia melajukan mobilnya, akhirnya dia menepikan kendaraan ke parkiran sebuah mall. Reyhan lalu menarikku dengan setengah berlari, berjalan memasuki area mall. Aku sangat merasa kita sedang diikuti dan Reyhan sedang berusaha bersembunyi dari kejaran seseorang. Karena Reyhan terus menggenggam erat tanganku dan terus mengajakku berlari.
Ada sekitar lima belas menit kita mengelilingi area mall tanpa tujuan, sampai pada akhirnya dia membawaku keluar dari sana.
“Rey, mobil kamu-“
“Gak ada waktu! Kita harus segera pergi!”
Benar dugaanku, kita sedang diikuti dan Reyhan sedang berusaha menghindar. Tapi yang jadi pertanyaanku adalah siapa yang sedang Reyhan coba hindari?
“Reyhan ada apa?” aku menghentikan langkah kakiku dan mencoba untuk melepaskan cengkraman Reyhan yang sudah mulai meninggalkan bekas saking kencangnya. “Ayo pulang!”
“Enggak, kita harus pergi! Nanti aku cerita!”
“Gak bisa!” aku menolak. “Aku capek! Kamu gak lihat aku udah ngos-ngosan gini, dari tadi kamu ajakin lari?!”
Reyhan terdiam sejenak. Dia menatapku dengan napas yang juga sama tersengal. Lalu dia menarikku ke dalam pelukannya. “Maaf.” Hanya itu kata yang dia ucapkan, namun mampu mendamaikan hatiku.
“Tuan Rey!” tiba-tiba suara seseorang dari kejauhan terdengar memanggil nama Reyhan dengan sebutan tuan. Hah? Aku bisa melihat walaupun samar, ada sekitar empat orang laki-laki mengenakan seragam hitam rapi, berlari-lari mengejar kami. Mereka siapa?
“Ayo, kita harus lari!” lagi-lagi Reyhan menarik tanganku dan mengajakku berlari. Iya, aku harus berlari dari kejaran orang-orang asing yang mengejar kami itu!
***
“Tuan Rey harus pulang!”
“Gak bisa! Saya gak akan pulang kalau bosmu itu terus memaksakan kehendaknya!”
“Ini gawat Tuan!”
“Saya tidak peduli!”
Begitulah suara-suara berisik yang aku dengar sangat nyaring dari luar ruangan. Tubuhku rasanya lemas sekali, tubuhku menggigil. Demam! Aku mencoba untuk membuka mataku yang terpejam ini. Rasanya sangat pusing luar biasa!
Saat mataku terbuka, aku melihat seorang ibu-ibu sedang mengompresiku dengan sabar. Seberapa kerasnya pun aku mengingat, aku benar-benar tidak mengenali ibu ini! Siapa dia?
“Neng udah sadar?” kata ibu itu.
“Ibu siapa? Saya di mana?”
“Saya Ibu Santi, neng ada di rumah saya. Kemarin, saya dan suami saya nemuin neng pingsan, terus temen neng kakinya luka. Jadi saya bawa kalian ke sini.”
“Reyhan?” kataku sedikit berbisik.
“Ini bukan menyangkut tuan, tapi menyangkut nona Ayyana!” suara itu lagi-lagi aku dengar dari luar rumah.
“Saya bilang saya tidak akan mau lagi menjadi bonekanya bosmu!”
Reyhan! Itu suara Reyhan! Aku sangat yakin sekali. Aku mencoba bangkit dari tempat tidurku, dibantu oleh Ibu Santi. “Neng mau keluar?” aku mengangguk.
“Ada apa di luar, bu?”
“Entahlah, orang-orang itu terus memaksa nak Reyhan untuk pulang.”
Orang-orang? Tiba-tiba pikiranku teringat akan kejadian semalam saat aku dan Reyhan dikejar-kejar oleh empat orang lelaki berkemeja hitam. Apa mereka orang-orang yang sama?
“Rey?” aku berjalan keluar rumah sederhana itu, menghampiri Reyhan yang terlihat sedang bersitegang dengan orang-orang asing itu. Dan benar, mereka adalah orang-orang yang sama! Ada apa? Siapa mereka?
“Ayy, kamu udah sadar?” tanya Reyhan langsung menyerbu ke arahku. Ada ekspresi cemas dan tegang dari wajah Reyhan.
“Nona Ayyana,” keempat orang asing itu kompak menyapa namaku dengan kata depan ‘nona’, sambil sedikit menunduk. Aku sangat tidak mengerti, mereka ini siapa? Mengapa mereka mengenaliku?
“Kami harus membawa nona dan tuan kembali,”
“Gue bilang, gue gak akan pulang, brengsek!” Reyhan menarik salah satu kerah kemeja dari orang yang ada di depan kami. Hal itu justru membuatku semakin bingung.
“Rey, kenapa sih? Lepasin gak?” aku menarik tangan Reyhan agar tak terus menarik kerah kemeja dari lelaki yang kini ada di hadapan Reyhan. Reyhan luluh lalu melepaskan cengkramannya.
“Kalian siapa?” tanyaku.
“Kami di tugaskan oleh Pak Presdir untuk membawa pulang Tuan Reyhan.”
Oke, aku mengerti sekarang. Orang-orang ini adalah pengawal dari keluarga Reyhan. Aku menghela napas panjang lalu mengalihkan pandanganku kepada Reyhan. Kami saling menatap dengan dalam.
“Rey, kita pulang ya!” ucapku sambil menggenggam erat tangannya.
Kondisiku yang sedang tidak baik-baik saja, membuat Reyhan akhirnya terpaksa harus membawaku ke rumahnya. Reyhan tidak mau kalau sampai Ibuku khawatir melihat kondisiku. Aku menurut, karena pengawal-pengawal Reyhan mengatakan Pak Aiman sedang di Malaysia dan akan pulang dalam tiga hari ke depan.
Sesampainya di rumah Reyhan, aku disambut hangat oleh tante Dea, Mamanya Reyhan. Aku benar-benar tak menyangka, Mamanya bisa memiliki pelukan senyaman itu. Aku di antar ke kamar tamu dalam istana yang super megah itu. Mamanya Reyhan baik, dia bahkan merawatku yang terserang demam.
Esoknya, sekitar pukul sepuluh pagi, aku sudah bersiap-siap di dalam kamar tamu untuk segera pulang. Reyhan sudah menungguku di ruangan depan karena dia akan mengantarkanku.
Namun, saat pintu kamar itu aku buka, aku melihat ada orang lain di kejauhan sana sedang bersitegang dengan Reyhan. Itu adalah Pak Aiman, Papa Reyhan. Kenapa Pak Aiman sudah pulang?
Tante Dea terlihat berperan sebagai penengah di antara dua lelaki itu. Dan dengan mengendap-endap, aku berusaha mendekati ruangan itu dan penasaran sekali apa yang sebenarnya sedang mereka bicarakan, sampai-sampai mereka harus berdebat sehebat itu.
Dan aku bisa memastikan, Reyhan sedang marah besar!
Pembicaraan mereka berputar di sekitaran alasan, mengapa Reyhan tidak menghadiri pertemuan dua hari lalu, mengapa Reyhan kabur, mengapa Reyhan tak menurut. Sesekali aku mendengar nama Kak Ira disebut-sebut. Nama keluarga Wijaya juga tak luput keluar dari mulut Pak Aiman.
Mereka sedang membicarakan apa?
“Saya sudah memiliki pilihan sendiri, Pak Presdir!”
“Ayyana tidak cocok untukmu!”
“Tidak cocok untuk anda!”
Deg! Mendengar namaku ikut terseret, sudah sangat jelas ini tentang hubunganku dengan Reyhan. Dan Pak Aiman tidak menyetujui itu. Hatiku berdebar sangat kencang bagaikan berpacu dengan waktu. Bagaimana ini? Apa Pak Aiman sudah tahu tentang hubungan kami? Apa ini artinya aku dan Reyhan benar-benar harus berpisah? Apa ini artinya ketakutanku selama ini akan menjadi kenyataan?
Pikiranku sudah kacau!
Kemudian, sebuah kalimat dari Pak Aiman berhasil meledakkan sistem kerja otakku! Membuatku terkesiap saat itu juga. Membuatku tak bisa berkata-kata. Membuatku tak bisa berpikir dengan nalar! Aku tak percaya dan tak mengerti, saat Pak Aiman mengatakan bahwa Reyhan-lah yang sudah menyebabkan Papaku meninggal! Hah, apa maksudnya ini?!
“Di kecelakaan waktu itu, kamu tahu Rey, kamu sudah kehilangan banyak darah!” Pak Aiman mulai menjelaskan apa maksud dari ucapannya tadi. Aku memasang telingaku dengan tajam agar tak melewatkan satu katapun informasi yang keluar dari mulutnya.
“Darah kamu itu darah langka, Reyhan. Dan ketika kamu datang ke rumah sakit itu, hanya ada sedikit persediaan darah yang tersisa. Lalu dokter bilang, darah itu untuk operasi seorang pasien yang akan menjalankan operasi ginjal. Tapi kamu lihat kan Rey? Papa berhasil membuat mereka membatalkan operasinya dan kamulah yang selamat!”
Deg! Aku terkejut. Bagaimana mungkin?
“Dan setelah operasi kamu berhasil, Papa dapat kabar kalau Pasien yang gagal operasi karena darahnya dialihkan ke kamu itu adalah atas nama Pak Adam. Itu, Papanya Ayyana kan?” aku melihat senyum menyeringai saat mengatakan itu. Tak ada sama sekali raut penyesalan di matanya.
Apa yang dia katakan tadi? Aku menjerit dalam hatiku. Tidak mungkin?!
Reyhan terbelalak tak percaya, saat mendengar ucapan dari Papanya tadi.
“ANDA GILA!” dia berteriak dengan air mata, memunculkan api kemarahan. “KENAPA ANDA MELAKUKAN HAL SEGILA ITU?! Hah?!” Reyhan menarik kerah dari jas hitam yang dikenakan Pak Aiman, seperti akan memukul wajah iblis itu. Namun, segera dipisahkan oleh Tante Dea dan anak buah Pak Aiman.
“Papa tidak akan pernah membiarkan satu-satunya pewaris keluarga Aiman mati dengan cara yang konyol!”
“Anda bukan manusia! ANDA IBLIS!”
“Menurutmu, kalau Ayyana sampai tahu kebenaran ini, apa dia masih mau dengan kamu, Rey?”
Suasana pun hening seketika!
“Jadi... begitu ceritanya-“ aku melangkah dengan kaki yang sudah bagaikan tak menapak. Tenggorokanku rasanya tercekat sekali. Rasanya sangat menyakitkan sekali mendengar semua kenyataan yang aku dengar hari itu. Air mata sudah tak mampu lagi aku bendung. Aku butuh pegangan sekarang, tapi... satu-satunya peganganku saat itu... kurasa juga sudah hancur berkeping-keping!
Reyhan melirikku dengan perasaan bersalah! Dan langsung menyerbu ke arahku. Dia menggenggam tanganku. Tapi entah mengapa, rasanya aku sudah muak! Aku menyingkirkan tangannya dariku. Mendorongnya agar menjauh dariku. Perasaanku sudah hancur. Detik itu juga!
“Ayyana? Saya tidak tahu kamu ada di sini?” ucap Pak Aiman dengan santai tanpa ada niatan sedikitpun untuk meminta maaf.
“Apa yang anda katakan itu sungguhan?”
“Ayy, aku benar-benar gak tahu apa-apa soal ini! Aku-“
“Apa itu benar, Pak Aiman?”
Pak Aiman mengangguk. “Itu adalah kebenarannya. Apa itu masalah?”
“Apa? Anda masih bertanya apa itu masalah?” Aku benar-benar tak habis pikir dengan cara berpikir dari Pak Aiman. Membuatku kesal dan marah! “Anda yang sudah membuat Papa saya batal operasi! Papa saya meninggal! Apa anda seegois ini Pak Aiman?!”
“Lantas, apa saya harus membiarkan anak saya mati?”
“PAPA!” Reyhan berteriak. “HENTIKAN!”
“Tinggalkan Reyhan dan biarkan dia menjalankan kehidupannya dengan layak!”
“Ayy, jangan dengarkan omong kosong dia! Ayo kita pergi!” Reyhan meraih tanganku hendak membawaku keluar dari rumah sialan itu. Tapi aku masih terus diam berdiri di sana, mematung bagai tak bernyawa. Aku menarik napas, lalu membuang napasku untuk menenangkan sedikit saja hatiku yang sedang kalut!
“Rey,” aku mengalihkan pandanganku pada Reyhan. Dia memandangiku seakan mengerti maksudku. Reyhan secara perlahan melepaskan genggaman tangan itu.
“Kamu denger kan, apa yang Papamu barusan bilang?” ucapku.
“Ayy...” nada suara Reyhan parau.
Dengan suara yang bergetar, aku bersusah payah mengeluarkan kata. “Aku rasa gak ada lagi alasan untuk kita tetap bertahan..” Aku menarik napas panjang lagi. Aku sudah tak tahu sudah seberapa banyak air mataku mengalir. “Reyhan, kita cukup sampai di sini.”
Pada akhirnya aku harus mengambil keputusan itu. Aku dan Reyhan tak bisa lagi bersama. Apalagi setelah aku tahu apa yang sudah Pak Aiman lakukan pada Papaku.
“Aku pamit, Rey!”
“Enggak Ayyana!” Reyhan berusaha mencegahku untuk pergi. “Aku minta maaf. Please, aku sayang sama kamu. Kamu jangan ninggalin aku, Ayy. Please...” air mata Reyhan jatuh. Namun aku benar-benar sudah tak bisa lagi melihat mereka. Melihat mereka bagaikan aku melihat Papa. Aku tak sanggup lagi harus berlama-lama ada di sekitaran mereka! Kali ini aku harus benar-benar pergi!
Reyhan menatap tajam tepat ke arah dua bola mata Papanya. Dia merogoh ponsel dari dalam saku jaketnya. Lalu mencari nomor kontak seseorang untuk dia hubungi. Reyhan mendekatkan benda pipih itu ke indera pendengarannya. Dan menunggu untuk beberapa saat.
“Hallo Kai, gue butuh bantuan lo!” Kata Reyhan dengan suara parau.
Wow spechless
Comment on chapter Bab 6 : Bagian 1