Aras tidak tahu sudah kali ke berapa pulang-balik ke aula tempat para anggota OSIS melaksanakan kegiatan. Ketika ditanya oleh Senja ada penyelenggaraan apa, dia sama sekali tidak tahu, lebih tepatnya selalu lupa karena dia hanya fokus menunggu kemunculan Inggrid. Sebentar lagi gadis itu akan merasakan akibatnya. Meski kali ini dia harus merogoh separuh uang simpanannya, yang terpenting nama baik Senja harus pulih.
Kehadiran beberapa siswa SMA beralmamater berbeda dari sekolahnya membuat gadis di sebelah Aras melongo. Aras tahu kalau Senja pasti semakin ingin tahu apa yang dilaksanakan oleh OSIS. Setelah mengingat-ingat sebentar, cowok berseragam batik abu-abu itu menjawab sambil tetap fokus ke arah pintu aula.
"Tadi Haifa bilang katanya acara studi banding OSIS, makanya banyak anggota OSIS dari SMA lain yang datang. Kali ini sekolah kita jadi tuan rumah." Dia membelalak ketika melihat kemunculan Inggrid dengan wajah lusuh dan tangan saling bertaut, seperti orang kebingungan juga takut.
Aras tersenyum kecil. "Target kita muncul, Ja. Kayaknya Inggrid udah diomelin sama ketuanya."
Senja menggaruk kepala, tidak paham maksud Aras. Kemarin sewaktu Aras bertemu Bu Wawa, dia tidak ikut ke dalam percakapan sebab kepalanya terus berdenyut. Jadilah Senja hanya bisa melihat dan menunggu waktu untuk tepuk tangan seperti yang pernah Aras bilang.
"Acaranya udah selesai." Aras bersandar ke tembok ketika bel pulang berbunyi kedua kalinya. Sebentar lagi Inggrid akan datang menemuinya, tentu setelah gadis itu disidang habis-habisan.
Cowok itu merogoh ponsel dari kantong celana abu, lalu menelepon seseorang. "Gimana? Bu Wawa udah siap, kan?"
Puas mendengar jawaban Haifa di seberang sana, dia langsung memutus sambungan sepihak. Walaupun rencananya belum mampu membawa Senja ke alam gadis itu, setidaknya Senja bisa kembali tanpa mengantongi namanya yang telah dijelek-jelekkan.
Setelah menunggu belasan menit, Haifa muncul bersama Bu Wawa yang tengah mengangkat telepon masuk. Dari percakapannya, mungkin salah satu anggota OSIS.
Sambungan diputus, Bu Wawa menatap Aras dan Haifa. "Saya udah dipanggil ke dalam aula."
Aras mengangguk. "Sesuai perjanjian, Ibu harus jujur."
"Iya, saya akan jujur. Tenang aja. Saya masuk dulu. Kayaknya acaranya juga udah selesai, kan, ya?"
Haifa mengangkat bahu, Aras pun tak menjawab. Namun, Senja mengangguk meski hanya Aras yang melihat.
"Ras, lo sejak kapan rencanain ini?" Senja bersandar pada tembok seraya menatap punggung Bu Wawa yang sudah tak terlihat, ditelan pintu aula.
Aras ikut bersandar sambil bersedekap. Dia memejam sejenak, berusaha bersikap tenang meski sebenarnya sedikit gugup, takut rencananya gagal. "Di hari lo sakit kepala karena ingatan Inggrid bermunculan di otak lo. Malamnya, gue kabarin Haifa untuk bantuin kita."
"Kamu pasti khawatir, takut Bu Wawa gak amanah, ya?"
Tebakan Haifa membuat Aras menoleh ke gadis bermata sayu itu. Ternyata kekhawatirannya dapat ditebak oleh Haifa. "Semoga aja Bu Wawa nepatin janji."
"Sori, gue gak bisa bantuin apa-apa." Senja menunduk lesu. Perasaan tidak berguna ini sungguh membuat tak nyaman.
Tahu Senja diserang pikiran negatif, Aras merangkul pundak gadis itu menggunakan tangan kanannya sambil bersiul. Salah satu kebiasaan untuk terlihat tenang dan biasa-biasa saja. Senja tersenyum menatap wajah Aras dari samping.
"Makasih," lirih Senja hingga tak ada yang mampu mendengarnya.
Setelah menunggu hampir tiga puluh menit, Bu Wawa keluar diikuti Inggrid dan Airis yang bersungut-sungut. Inggrid bahkan terus mengomeli Bu Wawa dan hanya ditanggapi sekenannya oleh pegawai perpustakaan itu.
"Jadi maksud Bu Wawa cuma ngirim kotak kue tanpa konsumsi makan siang itu sengaja? Bukan karena pengen dapat uang lebih? Bu Wawa sengaja ngejebak saya? Iya?" Inggrid sampai menghadang langkah Bu Wawa.
Airis ikut berdiri di sebelah Inggrid. "Kayaknya Ibu emang sengaja! Sekarang apa? Semua kebohongan kita kebongkar! Semua anggota OSIS jadi pengen lengserin jabatan kami. Pengakuan Ibu tadi di dalam emang sengaja pengen bongkar uang yang kita ambil."
Bu Wawa tersenyum tipis. "Airis, Inggrid, sudah cukup. Ibu sudah puas bermain-main dengan kalian. Kalau kalian minta uang ganti rugi, saya bisa ganti. Saya sudah tidak mau kerja sama lagi. Memang sudah sepantasnya kalian diturunkan dari jabatan Bendahara dan wakilnya."
"Ibu gampang banget ngomong kayak gitu. Sok paling suci! Siapa? Siapa yang nyuruh Ibu ngaku waktu di rapat tadi?" Inggrid belum mau mengendurkan kepalan tangannya, malah semakin erat.
Bu Wawa melirik ketiga remaja yang sedang bersandar santai menatap keributan di depan mereka. Inggrid berbalik, memasang wajah tak mengerti.
"Masih belum paham?" Bu Wawa berjalan melewati Inggrid dan Airis begitu saja tanpa menjelaskan yang sebenarnya.
Inggrid mendekati Aras. Raut wajahnya masih merah padam. "Apa maksudnya, Ras? Apa permintaan lo ketemu hari ini ada kaitannya sama persidangan gue tadi di dalam?"
Aras tersenyum simpul, masih nyaman dalam posisi bersedekap. "Gue yang rencanain ini semua. Gue pengen lo bersihin nama baik Senja."
Mendengar nama Senja disebut refleks membuat Inggrid meremas roknya kuat-kuat, giginya bergemeletuk. "Senja? Lo lakuin ini karena Senja? Dari mana lo tau tentang gue? Lo gak tau apa-apa, Ras. Lo cuma tau kalau gue suka sama lo! Lo gak tau apa-apa!"
Tidak ada niatan sama sekali ingin menenangkan gadis di depannya, Aras malah menepuk pundak Inggrid berulang kali. "Lo masih siswa SMA, Rid. Gak seharusnya lo belajar makan uang haram. Kembaliin uang kas bendahara, minta maaf sama teman-teman lo, dan ... minta maaf sama Senja. Lo udah nuduh dia yang enggak-enggak."
"Kenapa Kak Aras harus ikut campur?" Airis mulai menitikan air mata. Tangisnya bukan hanya penggambaran kekecewaan, tetapi juga tangis sebab tidak mampu menahan malu mengingat tadi saat disidang semua anggota OSIS menyaksikan. Para pengurus inti dan pembina organisasi berusaha mengupas tuntas dana OSIS. Pada akhirnya, semua terbongkar setelah Bu Wawa mengakui kerja sama mereka.
"Kenapa harus Senja yang menjadi alasan lo ngelukain gue, Ras?" lirih Inggrid.
Aras membuang napas panjang. "Lo pantes dapetin penderitaan ini. Sekarang lo pasti bisa ngerasain posisi Senja dulu gimana, kan? Mungkin Senja lebih sakit karena lo nuduh dia yang enggak-enggak. Lo harus minta maaf, Rid meskipun Senja udah gak ada."
"Oh, jadi Inggrid yang nuduh Senja dulu? Gue gak nyangka. Ternyata tuduhan lo menggambarkan lo yang sebenarnya." Mantan ketua OSIS tiba-tiba muncul di pertengahan pembicaraan mereka dan semakin memojokkan Inggrid.
Inggrid semakin menunduk, bahunya bergetar hebat. Senja yang melihat tangisan deras Inggrid jadi tidak tega. Dulu Senja pernah di posisi itu, tetapi dia lupa rasanya seperti apa. Namun, pasti sangat menyakitkan, bukan?
Tidak ingin berlama-lama menyaksikan Inggrid, Senja menjauh sambil menunduk. Tahu-tahu air matanya sudah turun perlahan. Ada perasaan yang tak mampu Senja jelaskan. Seperti tertekan, hampa, dan menyesakkan. Walaupun dia sudah melihat kilasan balik bagaimana Inggrid menuduhnya waktu itu, tetap saja dia tidak mampu merasakan pedihnya berada di momen itu. Namun, apa yang dia rasakan sekarang pun tak bisa diutarakan dan hanya mampu dilampiaskan dengan air mata.
"Seberapa benci mereka ke gue sampai-sampai ada yang tega nuduh gue? Apa emang cuma Aras dan Haifa doang yang ngerti gue?" bisiknya.
Senja berhenti berjalan, tiba-tiba saja dia bersimpuh di koridor. Dia hanya tak mampu berjalan ketika otaknya mati-matian berusaha mengingat kepingan memori semasa hidup. Dia ingin tahu ada berapa banyak orang yang mencintai dan membencinya. Apa seburuk itu sifatnya sampai banyak nama yang dituliskan di buku hariannya? Semua Nama yang dia tuliskan memiliki kisah kurang mengenakkan baginya, tetapi tak satu pun yang mampu Senja ingat meski sudah dibaca berulang-ulang.
Rasanya menyakitkan jika harus mengingat tepat di depan orang yang pernah menyakitinya. Sekalipun dia arwah, dia tetap dapat merasa. Dia ingin mengingat semuanya tanpa perlu didera sakit kepala. Dia ingin semua berakhir detik ini juga. Senja ingin tahu alasan dia mengakhiri hidup ataukah memang dia dibunuh. Dia ingin tahu saat ini juga.
***