"Mantan minta balikan merupakan asupan racun yang mematikan, jadi jangan sampai termakan"
***
Matahari terlalu terik siang ini. Bahkan kaki yang berniat hendak jalan, mendadak surut. Matahari dan aku, Ghita Yudhita, adalah musuh bebuyutan. Aku memang perempuan yang takut hitam karena matahari. Tentu kalian tahu alasannya. Apalagi sekarang ini lapisan ozon bumi semakin menipis. Hal ini pula yang membuatku harus menyetok beberapa sunblock setiap bulan sama halnya dengan pembalut yang sedang kukenakan.
Tuhan menganugerahiku kulit putih. Mungkin karena hal itu pula, aku khawatir kusam jika terkena matahari terlalu lama. Meski daya tarikku tetap tak berubah. Bibir tipis, hidung mancung, wajah oval yang kata orang menggemaskan. Saking menggemaskannya, dulu saat SMA aku pernah dikejar-kejar kaum Adam. Jelas, karena perawakanku yang tak begitu tinggi pun pendek, dengan rambut hitam panjang, membuatku banyak memiliki mantan. Dari kelas teri sampai ikan pari. Meski begitu, aku bukan tipe playgirl. Mereka yang mengejar, dan aku yang menerima tanpa berniat mempermainkan.
Kini, aku merasa bosan dengan siklus pacaran, dan pada akhirnya memilih single. Tak menutup kemungkinan jika ada pria yang datang dan dia bukan dari riwayat mantan, mungkin aku akan memilihnya.
Berbicara tentang mantan. Hal itu termasuk dalam salah satu prinsipku. Mantan itu pantangan yang pastinya akan menjadi halangan. Sebutlah mantan itu masa purba dari hidupku. Jadi, jangan pernah mengingatkanku tentang hal itu.
Menatap lagi sekeliling halaman rumah yang kutinggali bersama Adik, Ibu dan ayahku, niatan jalan keluar di tengah hari untuk membeli es buah pun sirna. Lebih baik melantai saja di ubin rumah. Masih sama-sama dingin kayaknya.
***
Makassar memang sedang kemarau bulan-bulan ini. Aku pindah ke kota ini sejak masuk SMA. Adikku, Widia, masih duduk di bangku SMA kelas 10 Ipa 1. Saudara satu-satunya yang kupunya itu sedang asyik bermain game di depan televisi. Tak lupa, kipas angin menyala kencang menghadap dirinya saja.
"Ghita! Ibu nemuin buku di atas loteng nih."
Aku yang hendak duduk langsung berbalik, menatap Ibu dengan kotoran sarang laba-laba di kepalanya. Apa Ibu sempat ketemu spiderman? Aku sempat terkekeh melihat ibuku, tetapi setelah kuperhatikan buku yang dia pegang ... seketika aku langsung kaget dan merinding. Seingatku buku tersebut adalah buku yang berisi catatan nama-nama mantan dan sifatnya. Jangan tanya mengapa aku menulisnya. Saat sekolah dulu, hal itu adalah kegiatan nge-trend dalam geng-ku. Aku kira buku itu telah hilang ditelan bumi bersama kenangan pahit di dalamnya.
"Jangan bilang Ibu udah baca isinya?"
Aku menghampiri Ibu dengan tergesa-gesa. Tak memedulikan adikku yang berteriak heboh karena kakiku sempat menyenggolnya, membuat Widia harus terhenti bermain game.
"Ibu belum baca kok," akunya, sambil mulai membuka sampul buku itu.
Aku segera menarik buku tersebut dari tangan Ibu.
"Lah, kok dirampas sih. Ibu baru baca di sampulnya ada tulisan 'ntan' itu buku apa?" Ibuku memang suka kepo. Khas Emak-emak zaman now.
Tulisan yang benar adalah mantan. Tapi, karena buku ini telah kotor sehingga kata mantan di sampulnya berubah menjadi 'ntan'.
"Oh, bukan apa-apa, Buk," sambil kugelengkan kepala, "hanya buku biasa," lanjutku. Ibuku memicingkan mata. Menatap curiga ke arahku.
"Jangan-jangan itu buku yang berisi adegan-adegan tak senonoh."
"Astaga, Ibu! Itu tak mungkin."
Dari mana Ibu bisa berpikir tentang itu. Pikiran, Bu Ayuni, ibuku ini memang susah ditebak. Selain sifat keponya yang tinggi, beliau juga suka menyanyi-nyanyi tak jelas, membuat tetangga rumah selalu menyuruhku meredam suara Ibu meski tak pernah berhasil. Tapi aku tahu kalau ibuku adalah yang terbaik.
Aku berlari dari hadapan Ibu, sebelum dia banyak bertanya tentang buku tersebut. Karena aku mulai merasakan aura kepo Ibu mulai aktif. Kuraih sebuah korek api dari dapur dan keluar rumah untuk membakar buku ini.
Di halaman belakang aku bertemu dengan Ayah yang sedang asyik bersiul-siul dengan burung tetangga. Entahlah, itu burung beo atau gagak aku tak tahu. Selain bermain dengan burung, Ayah juga hobi makan dan mengoleksi celana kulit. Aku tahu makan merupakan kebutuhan pokok, tapi ayahku melakukannya secara berlebihan. Melihat perutnya yang buncit dan betisnya yang besar. Apalagi kalau ayahku menggunakan celana kulitnya. Seketika aku akan merasa geli. Hal itu terlihat aneh. Semakin aku larang, semakin Ayah percaya diri saja.
"Ehh, Nak, kamu mau ngapain kok bawa korek segala?" Ayahku, Yudhi Alam, menatap heran.
"Aku mau bakar sampah Yah."
"Oh sampah toh? Sekalian kamu bakar tukang korupsi yang hanya nyampah di negara kita."
"Hah?"
Aku mulai menyalakan api dari korek. Kupandang lekat-lekat buku ini. Aku tak mau membukanya. Semakin kupandang buku ini, semakin aku bimbang. Apakah aku harus membakarnya? Tapi, entah setan dari mana yang membuatku mengurungkan niat untuk membakar buku tersebut. Kulempar korek yang kupegang.
Bummm!
Korek itu meledak, mengagetkan ayahku yang secara refleks meraih dan mencekik burung tetanggaku. Burung itu memekik kesakitan. Aku mundur secara teratur, menjauh dari Ayah kemudian memacu kakiku untuk berlari ke dalam rumah. Berharap Ayah tak tahu bunyi itu berasal dari korek gas yang kulempar.
Saat kakiku menginjak tangga pertama, kudengar Ayah memanggil Ibu yang kini sedang di dapur. Aku mengurungkan niat masuk ke kamar dan memilih untuk mengintip Ayah yang kurasa akan mengadu pada Ibu.
"Bu, Ayah udah ngebunuh."
Ibu melototkan matanya. Mulutnya terbuka lebar beberapa detik.
"Ayah ngebunuh siapa!?" Ibu terlihat gusar di hadapan Ayah.
"Anu, Bu."
"Anu apa!"
Dapat kulihat badan Ayah gemetar. Ayah memang seperti itu kalau melihat Ibu marah. Ayah pasti takut lagi. Tapi kalau kutanya Ayah selalu menyangkali hal itu. Jujur saja, aku saja langsung diam seketika kalau ibu dalam mode marahnya.
"Ayah ngebunuh siapa ??"
"Bu...burung Mas Joko, Bu."
"Heh? Burung Mas Joko?" Ibu mengerutkan dahi kemudian mengalihkan pandangan dan menatap ke celana Ayah.
"Bukan burung itu, Bu. Tapi burung peliharaan Mas Joko, tetangga kita."
Ini sangat menggelikan. Adegan ini benar-benar ingin membuatku tertawa keras. Apalah daya aku hanya bisa menutup mulut, agar suaraku tak terdeteksi oleh Ayah dan Ibu.
"Oalah, burung peliharan toh, kirain burung yang lain, hahaha." Ibu tertawa keras apalagi saat Ayah menaik turunkan alisnya. Aku rasa ada kode di balik itu, yang tentunya tak kuketahui.
Tuk.
Sesuatu jatuh di kepalaku. Pelan-pelan aku meraihnya. Benda itu memiliki tekstur yang cukup lembek dan juga memiliki permukaan yang kasar.
"Loh, Ghita, di kepalamu ada tokek," ucap ibuku.
"Akhhhhhhh!!!" teriakku dengan heboh, menggoyang-goyangkan kepala.
"Kalau mau latihan goyang dangdut di dalam kamar saja, Nak," kata Ayah.
Dasar Ayah.
Kutambah gerakan dengan melompat-lompat agar tokek ini bisa lepas dari kepalaku.
"Ayah, Ibu, bantuin Ghita dong!!"
"Urus saja sendiri, siapa suruh mengintip Ibu dan Ayah."
Darimana Ibu tahu. Panca indra ditubuh Ibu memang sangat sensitif. Lain kali aku harus berhati-hati.
"Widia! Bantuin kakak!"
"Nggak ah."
Aku hanya mendengkus kesal melihat kelakuan Widia. Dengan terpaksa kutundukkan kepalaku lalu kusejajarkan dengan dinding. Kutarik napas dalam-dalam sebelum membenturkan kepalaku ke dinding. Jalan satu-satunya yang bisa kulakukan untuk menghilangkan tokek tersebut.
Alhasil, tokek itu mati dan sedikit mengotori kepalaku. Dalam pandanganku permukaan lantai serasa ikut bergoyang akibat benturan yang membuatku pusing. Bukannya datang menolong, Ayah dan Ibu hanya tertawa melihatku. Dengan hati dongkol aku menuju kamar, untuk membersihkan kekacauan dalam diriku.
Aku merutuki diri setelah berada di kamar. Buku itu, aku lupa di bawah. Kembali kupacu langkah kakiku yang malas untuk menurungi tangga. Sampai di bawah kulihat buku itu sudah berada digenggaman Widia.
"Jangan baca buku itu!"
"Terlambat, lembar pertama aku udah baca."
"Eghhhhh, kamu ya!"
"Cieee, ada banyak nama cowok di sana." Widia mencolek pinggangku.
Kutatap tajam Widia. Jelas aku tahu kemana arah pembicaraan ini.
"Kalau kak Ghita nggak mau ini terbongkar, yahh, seperti biasa. Kakak tahu kan?" Widia menaik-turunkan alisnya.
"Oke, oke, kuota minggu ini aku yang isiin." Sambil kutarik bukunya. Meninggalkan Widia dengan senyum jahatnya. Dia memang adik yang suka mengancam.
***
bersambung
Lanjut kak
Comment on chapter ✨ DDM [1]✨