"Jadi dia menghilang gitu aja, Ra?" pekik Valya, sambil meletakkan cangir berisi teh hangat.
"Ya gitu."
"Lo, udah coba hubungin?"
"Udah. Gua chat, telepon, DM gak satu pun dibalas." Valya mengusap punggung Chayra perlahan. Berusaha menenangkan temannya itu.
"Terakhir dia bilang, dia sibuk."
Kini mata Chayra berkaca-kaca. Air pun tumpah dari kelopak mata. Tidak sanggup menahan rasa sesak di dadanya.
"Gua, salah apa ya?"
'Kak Alditya, kamu ke mana?'
Valya memilih tidak menjawab. Valya menentangkan tangan, ia siap memeluk tubuh Chayra. Chayra pun langsung lebur ke dalam pelukan Valya. Teman yang saat ini sangat ia percayai untuk urusan curhat.
"Jangan sedih lagi ya, Ra. Gua selalu ada."
Perkataan Valya membuat hati Chayra berdesir. Ia semakin memeluk erat tubuh Valya. Hanya itu yang bisa Chayra lakukan.
Beberapa detik kemudian Chayra dan Valya mengubah posisi seperti awal. Valya masih menatap Chayra serius. Sesekali Chayra mengusap air mata yang masih berlinang di pipinya.
"Di minum dulu Ra, teh nya."
Chayra mengangguk. Ia memegang cangkir teh dengan kedua tangan, lalu meminumnya sampai habis.
"Nanti lo jadi ke perpus?" tanya Valya disela keheningan.
"Jadi."
"Mau gua temenin?"
"Engga usah Val. Gua bisa sendiri kok."
"Gak apa-apa kalau mau ditemenin."
"Engga, makasih Val. Gak mungkinkan lo ke kampus lagi. Kalau gua kan sekalian balik."
"Beneran, Ra?"
Chayra menepuk pundak Valya berusaha meyakinkan.
"Iya. Gua gak apa-apa, jangan khawatir ya! Ya udah gua mau ke perpus ya?"
"Serius lo? Mata lo masih keliatan kaya orang nangis."
"Gak apa-apa deh. Kalau nanti-nanti, keburu ke sorean."
Tangan Chayra meraih tas yang letakkan tepat di dekatnya. Usai mengenakan tas ia,
lalu berdiri di depan cermin yang telah tersedia. Sedikit merapikan rambut yang terlihat berantakan. Ia kemudian keluar kamar Valya memakai sepatu sneakers berwarna putih.
"Gua pamit ya, Val."
"Iya. Hati-hati, Ra."
***
Langkah kaki Chayra keluar dari gedung perpustakaan. Setelah mengembalikan buku yang minggu lalu ia pinjam untuk belajar UAS Geografi Regional Indonesia. Mereka bilang Chayra ambisius, tetapi bagi Chayra ini bukanlah ambisius. Namun, lebih kepada menjadi orang yang lebih tekun agar bisa mencapai apa yang ia inginkan.
Chayra sekali lagi memandang ponselnya. Terus memikirkan Alditya yang tidak kunjung ada kabar.
Hari ini ia memutuskan untuk pergi menemui Alditya menuju Fakultas Komunikasi. Tempat di mana Alditya berada.
Chayra menyapu pandangan pada lobi Fakultas Komunikasi. Biasanya Chayra melihat Alditya bergerumul dengan teman-temannya. Mengisap rokok dan meminum kopi di sana.
Manik mata Chayra memincing ketika menemukan seseorang yang ia cari. Ketika ingin menghampiri cowok itu, Chayra membelalak. Cowok itu terlihat sedang bersama seorang cewek, yang ia lihat tempo hari saat dirinya dan Tafila berteduh di bawah terowongan.
Chayra semakin membelalak kala Alditya terlihat semakin akrab. Dan sekarang yang Chayra lihat, Alditya merangkul cewek itu.
Perlahan Chayra memundurkan langkah. Tiba-tiba sebuah tempat sampah yang tidak Chayra sadari keberadaannya tersengol. Membuat tempat sampah tersebut terjatuh. Untung saja isi di dalam tempat sampah itu hanya sedikit. Tidak membuat sampah-sampah berserakan akibat Chayra tabrak.
'Kenapa ketika sudah menetapkan. Gua malah dijatuhkan?' rintih Chayra.
Chayra berlari tidak tentu arah. Ia tidak tahu ingin ke mana, yang jelas ia hanya ingin berlari. Tidak ingin melihat Alditya. Beberapa kali Chayra menabrak orang. Namun, ia berusaha tidak memedulikan hal itu.
Air mata mulai keluar dari pelupuk mata Chayra. Dan ia pun perlahan menyekanya dengan jemari. Tidak bisa ditahannya lagi. Dengan perasaan yang benar-benar kacau serta patah. Tentunya siapa yang bisa menahan itu.
Alditya memang sulit untuk ditebak. Dan Chayra tidak pernah mengerti mengapa ia bisa menjatuhkan hati terlalu dalam pada Alditya. Yang jelas-jelas orang baru di hidupnya.
Cinta memang tidak pernah bisa ditebak. Seperti sikap Alditya terhadap Chayra.
Andai Chayra tahu jika mencintai Alditya akan menimbulkan rasa sakit yang begitu dalam, ia akan menjauhi Alditya lebih awal.
Tetes air hujan turun sedikit membasahi baju yang Chayra kenakan. Air hujan yang turun dari langit sana menjadi saksi bisu kesedihan Chayra. Setiap tetesnya menyeruak menengelamkan Chayra dalam tangisan yang lebih lama.
***
"Sayang ayo cepetan!"
"Kita mau ke mana sih, Ma?"
"Mau lamaran!"
"Hah?" Chayra berhenti dan menarik tangannya dari genggaman Namira.
"Kamu tuh serius banget sih!"
"Terus kita mau ke mana dong, Ma?"
Namira memiliki tak menjawab pertanyaan Chayra— anaknya. Namira meminta Chayra mempercepat langkah kakinya untuk bisa cepat sampai di tempat tujuan. Dikarenakan langit sudah hampir mengelap.
"Permisi ... Assalamualaikum ..." Namira mengetukkan kunci pagar berwarna hitam itu dengan mengebu.
"Maaa, pelan sedikit. Kaya mau nagih hutang aja," cetus Chayra. Ia malu, sebab beberapa orang yang lewat sempat memperhatikan Namira.
"Assalamualaikum, permisi Jeng?!"
Tak lama seorang wanita paruh baya keluar dari dalam rumah. Ia berjalan membukakan pintu pagar rumahnya.
Namira pun memeluk wanita itu sangat erat. Seperti sudah lama tidak berjumpa. Sementara Chayra hanya terdiam melihatnya penuh tanya.
"Eh Jeng. Akhirnya mampir juga!" ungkap wanita itu semringah. Namira tertawa renyah.
"Ayo, masuk kalau gitu!"
Wanita itu mengamit punggung Namira masuk rumah. Namira meninggalkan Chayra begitu saja. Seakan lupa telah mengajak anak satu-satunya itu. Chayra hanya bisa berdecak dan mengikuti dari belakang masuk ke dalam rumah yang ia tidak tahu rumah siapa.
"Ya ampun. Repot-repot banget, pake di bawain kue!"
"Ah engga kok, Jeng. Sekalian nyicipin kue buatan saya," tukas Namira.
"Makasih lho, Jeng. Sebentar saya mau siapkan minum dulu ya." Namira mengangguk.
Chayra menyenggol lengan Namira. Sedikit bergeser untuk bisa lebih dekat dengan mamanya.
"Ma, ini rumah siapa sih?" tanya Chayra penasaran.
"Rumah teman kamu."
"Teman? Siapa, Ma?"
Tidak lama wanita yang Chayra tidak ketahui datang membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat. Ia pun meletakkan cangkir tersebut tepat di depan Namira dan Chayra. Setelah itu ia duduk.
"Ini, Anin bukan?" tanya wanita itu pada Namira. Namira tersenyum, lalu mengangguk.
"Lho ... Sudah besar ya? Cantik lagi." Namira menyikut lengan Chayra. Agar ia menyalami wanita itu.
"Kamu pasti bingung saya siapa ya?"
"I—i"
"Iya, Tante. Tante siapa?"
"Tante, mamanya Ila. Kamu inget gak?"
Kening Chayra tampak berkerut. Dunia terasa berhenti sejenak. Lidah Chayra terasa membeku sulit untuk berkata.
Ila? Anak itu? Dia kembali?
"Tante—" Ada jeda yang terjadi begitu lama. Bibir Chayra pun melekuk dan tersenyum manis. "Tante Mita?"
Wanita itu mengangguk pasti. Chayra tidak bisa menyembunyikan wajah keterkejutannya. Ia terlihat sangat senang.
"Kamu masih ingat Ila, kan?" harap Mita.
"Ingat dong, Tante!"
"Syukur lah, tante kira kamu lupa."
Lupa? Mana mungkin, melupakan orang yang sangat berarti dalam hidupnya.
"Lalu Ila ke mana, tante?"
Mita melirik jam di dinding yang terpasang di ruang tamu. Ia pun berkata, "Dia masih di kampus, kalau jam segini."
Chayra menghembuskan napas lesu. Raut wajah kekecewaan tercetak jelas pada Chayra.