Abu-abu adalah warna langit ketika mendung
Abu-abu adalah warna kesukaan mu
Abu-abu adalah warna jaket yang kamu pakai saat kita pertama kali bertemu
Abu-abu adalah warna kehidupan antara aku dan kamu yaitu penuh ketidak jelasan
---
"Gua sayang sama lo. Lo, mau gak jadi pacar gua?"
Alditya memegang kedua tangan Cerelia, menatap manik mata Cerelia lekat-lekat.
Seketika Chayra ingin menghampiri Alditya memberhentikan langkah. Debar dijantung Chayra terasa berhenti, begitu pun dengan semestanya. Semua mahasiswa yang ada di sana terkekeh dan saling berbisik.
Chayra tidak sangup berkata. Rasanya ingin mati atau menghilang dari bumi, saat itu juga.
"Kak Alditya—" ucap Chayra lemah, namun cukup terdengar di telinga.
Cerelia tampak bingung kala itu.
Alditya yang mendengar suara Chayra langsung menghempas tangan Cerelia. Ia membalikkan tubuh.
"Chayra?"
Tepat setelah Alditya melihat Chayra. Chayra pun melangkah mundur ketika Alditya melangkah maju untuk menghampirinya.
Alditya meraih tangan mungil Chayra. Megangkat dagu Chayra meminta Chayra untuk mendengar penjelasannya. Tetapi, Chayra memalingkan wajah dan berusaha melepaskan tangannya dari tangan Alditya.
Tidak ingin Chayra pergi Alditya menghadang Chayra. Chayra yang sudah merasa muak dengan semua ini langsung mendorong tubuh tegap Alditya, lalu menginjak kaki cowok itu sekuat tenaga. Hingga pada akhirnya Alditya meringis kesakitan. Chayra pun bergegas berlari menuju Fakultas Sains.
Kini, Chayra sudah terduduk di dalam kelasnya. Kelas yang kosong, karena UAS matematika dasar diundur menjadi dua minggu lagi.
Chayra melelungkupkan kepala di atas meja. Menangis sejadi-jadinya. Tidak peduli ada yang melihatnya ataupun tidak. Yang jelas ia ingin menangis.
Tafila mengernyit, ia terdiam sejenak usai membuka pintu kelas. Pandangannya menyipit kala melihat seorang perempuan tengah menangis di dalam kelas sendiri dan di pojok kelas.
Berkali-kali Tafila mengucek mata. Memastikan jika yang ia lihat itu adalah manusia, bukan mbak kunti yang sedang menangis tersedu-sedu.
"Chayra? Itu dia bukan, ya?"
"Ra, lo kenapa?"
Suara Tafila membuyarkan nangisan Chayra. Ia terhenyak.
Bukannya menjawab pertanyaan Tafila, Chayra malah semakin terisak. Dengan kepala kembali ia sembunyikan di balik tangan.
"Ra, lo nangis?"
Pertanyaan konyol yang Chayra dengar dari mulut Tafila, membuat Chayra ingin mengaruk mulut Tafila serta memukulnya. 'Sudah tahu begitu, mengapa masih bertanya?'
Tafila menghampiri Chayra. Menarik kursi agar bisa lebih dekat dengan cewek itu. Ia mengusap perlahan rambut hitam Chayra yang saat itu menangis. Tafila kebingungan tidak tahu harus melakukan apa supaya Chayra berhenti menangis.
"Ra, lo kenapa?" Chayra diam tidak menjawab pertanyaan Tafila.
"Ra?"
"Dia jahat, Ra," tutur yang saat itu masih melelungkupkan kepala.
"Pacar, lo?"
Chayra mendongakkan kepala. Ia menghapus air matanya. Lalu, berkata, "Iya."
Tafila terkunci menatap netra sendu dari mata sembab milik Chayra. Chayra mengeratkan mulutnya rapat-rapat. Kepala Chayra menengadah berusaha agar air mata tidak kembali jatuh.
Tafila meletakkan kedua tangan di atas bahu Chayra. Seraya berkata, "Tenang ada gua, di sini."
Chayra tidak dapat berkata-kata. Ia pun memeluk Tafila dengan erat. Tafila mengusap rambut Chayra perlahan.
Seperti menemukan kembali sesuatu yang telah lama hilang. Itulah yang Tafila rasakan ketika memeluk Chayra.
"Ra?"
"Iya?"
"Udahan yuk, nangisnya. Lo jelek kalau nangis."
Chayra melepas pelukannya saat Tafila berkata seperti itu. Ia pun memukul pelan lengan Tafila. Sementara itu, Tafila bukannya marah ia malah menyeringai.
"Sialan, lo!" cicit Chayra.
***
"Salah lo sih. Kalau cowok 'kan bisa clop sama beberapa cewek. Seharusnya lo juga harus clop sama beberapa cowok. Biar kalau ditipu bisa sama yang lain, gak sakit-sakit banget!" pungkas Tafila. Ia pun kembali menikmati es krim-nya.
"Itu mah, lo!" Chayra memukul lengan Tafila.
"Dih, engga ya!" Tafila tersenyum miring dengan wajah menyebalkan.
"Apaan. Waktu itu, lo godain cewek di kafe. Ingat, ga?" sindir Chayra.
Tafila tertawa. "Sekali-kali."
"Tuh kan. Dasar playboy!"
"Itu bukan playboy, itu sebuah usaha mana tau ada yang kecantol." Chayra memajukan bibirnya.
"Eh tapi, sisi baiknya. Lo berarti setia banget!"
Chayra menahan senyumnya akibat ucapan Tafila. Cowok kaya dia bisa juga ngomong kaya gini?
"Ya udah yuk pulang!" ajak Tafila seenaknya.
"Eh—" Chayra menarik jaket denim yang Tafila kenakan. "Gua belum abis ini!"
Tafila menghentikan langkah, kemudian ia menoleh.
"Cepetan abisin, atau gua tinggal." Dan Tafila berlalu begitu saja.
'Dih, dasar nyebelin!'
Dengan cepat Chayra menghabiskan es krim yang masih tersisa sedikit. Setelah habis, Chayra langsung membuang tempat es krim tersebut ke tempat sampah. Dan menyusul Tafila yang sekarang sudah berada di parkiran motor.
Tafila yang melihat Chayra langsung memberikan helm pada cewek itu. Chayra mengernyit. Sebuah helm dengan mainan di dashbord mobil. Helm konyol yang harus ia kenakan. Seperti seorang badut.
"Kenapa?"
Chayra mengeleng. Ia tersenyum lebar sehingga memperlihatkan deretan giginya. Dengan terpaksa Chayra mengenakan helm yang Tafila berikan.
Perjalan menuju rumah Chayra tidak lama. Sebab, jalanan terlihat lengang. Hanya butuh waktu tiga puluh menit untuk bisa sampai ke rumah Chayra, dari kampus.
"Rumah lo yang mana?"
"Itu, yang pagar putih. Masa lo lupa!"
Tidak, Tafila tidak lupa sama sekali. Ia hanya memastikan sesuatu pada Chayra.
Tafila menepikan motor tepat di depan rumah Chayra. Ia sejenak terdiam, teringat akan suatu hal.
"Nih helm-nya. Makasih ya!" Chayra meraih pintu pagar rumah.
"Eh, tunggu."
"Kenapa?"
"Ga ada niatan ajak gua masuk rumah gitu?" Chayra mendelik.
"Ya udah kalau gak mau. Gua ga apa-apa."
"Dih ngambek. Bentar gua nyari kunci dulu."
Tafila mengangguk. Sementara Chayra sibuk mencari kunci rumah dari dalam tas yang tidak kunjung ia temukan. Chayra menatap singkat Tafila.
"Kenapa?" tanya Tafila yang melihat Chayra kebingungan.
"Kuncinya ga ada."
"Hilang?"
Chayra mengangkat bahu. "Kayaknya lupa bawa."
"Terus lo masuknya, gimana?"
"Boleh minta tolong anterin gua, gak?"
"Ke mana?"
"Ke tempat tetangga. Kayaknya Mama gua lagi main di sana."
Tanpa banyak bicara Tafila langsung menuruti permintaan Chayra. Setelah Chayra sudah duduk di atas motornya. Perlahan Tafila menuju belakang komplek, rumah tetangga yang Chayra maksud.
"Nanti berhenti di depan rumah pagar hitam nomor 20 ya."
Tafila diam, ia heran mengapa Chayra meminta untuk berhenti di depan rumahnya. Chayra pun turun dari motor Tafila dan melangkah masuk.
"Eh, anak Mama. Kenapa, sayang?"
Chayra mengalami Mamanya dan Tante Mita.
"Aku lupa bawa kunci, Ma."
"Oh,sebentar ya."
Karena penasaran apa yang sedang Chayra lakukan. Tanpa banyak bicara Tafila masuk ke dalam teras rumahnya.
"Eh, Ila sudah pulang?" ucap Namira.
"Ila, kamu pulang sama Anin?" Kali ini Mita yang bertanya.
"Ila?!"
Chayra memutar tubuhnya, karena penasaran. Chayra mematung. Sedangkan Tafila menatap terkejut, mendengar namanya disebut.
"Kalian sudah saling kenal, ternyata?" lontar Namira.
"Maksudnya, Ma?" Chayra tampak bingung dengan ucapan Namira.
"Lho, dia kan Ila. Teman waktu kecil kamu!"
"Ila?" tanya Chayra kepada Namira dan Mita.
"Iya, itu Ila." jawab Mita.
Chayra tercekat. Kening Chayra berkerut menatap Tafila tidak percaya. Kini, kaki Chayra pun terasa lemas.
Chayra melangkah keluar tidak percaya dengan semua ini. Ia menghela napas panjang. Chayra pun pergi tanpa pamit. Ia berlari kembali menuju rumah.
Tafila tidak tinggal diam. Ia segera mengejar Chayra. Menyejajarkan langkah di samping Chayra. Dalam satu gerakan Tafila meraih tangan kiri Chayra. Meminta Chayra untuk berhenti.
"Ra, tunggu." Chayra berhenti melangkah.
"Kenapa lo ga bilang?!" Suara lirih Chayra terdengar. Tafila tersentak. Chayra tampak menunggu, apa yang Tafila ingin katakan.
"Gua takut salah orang, Ra."
Keduanya terdiam. Tafila tersenyum simpul. Mata Chayra tampak berkaca-kaca tidak sanggup berkata. Tafila tampak menyorot manik mata Chayra.
"Balik ke rumah gua yuk. Biar ngomongnya enak?" Chayra mengeleng.
"Ke taman?" usul Tafila yang langsung diberi anggukan oleh Chayra.
Derap sepatu Chayra dan Tafila kini, melangkah menuju taman. Tempat di mana mereka bertemu pertama kali.
"Sejak kapan lo tahu? Dan kenapa ga kasih tahu gua?"
Tafila membenarkan posisi mendengar penuturan Chayra. Mata Tafila fokus memandang Chayra. Tafila diam, tidak tahu harus menjawab apa. Ia kebingungan harus menjelaskan dari mana dulu.
Saat pertama kali ia dipertemukan dengan Chayra ketika SMA. Tafila memperhatikan wajah Chayra. Bibir merah tipis, mata sipit dan kulit kuning langsat. Tafila selalu menyamakan wajah Chayra dengan Anin. Mereka berdua sangat mirip.
Anin terdapat ruang tersendiri di hati Tafila. Karena alasan itu, Tafila selalu berusaha dekat dengan Chayra. Meskipun, cewek itu sempat menjauh darinya.
"La? Kenapa diam?"
Tafila menarik napas sebelum berkata. "Gua bingung mau ngasih tau lo gimana."
Tatapan Tafila menatap langit. Sesekali ia mengembuskan napas.
"Lo ingat ga foto ini?"
Chayra mengernyit setelah Tafila memperlihatkan foto dari balik casing ponselnya. Membuat casing transparant yang di dalamnya terdapat sebuah foto polaroid menarik mata Chayra untuk melihat.
"Lo, dapat dari mana foto itu?"
"Lo ingat ga, waktu itu lo pernah nabrak gua. Terus pas gua mau nolongin lo. Lo malah langsung kabur. Terus waktu lo udah pergi, gua ga sengaja nemu foto ini." Chayra tertegun. Ia ingat, sangat ingat kejadian itu.
"Lo, ga bercanda, 'kan?"
Tafila menoleh. Mendengar itu, ia mengubah posisi, lalu mengeleng.
"Emangnya keliatan lagi bercanda?"
Kali ini Chayra yang mengeleng. Chayra menatap wajah Tafila yang saat itu sangat serius. Tidak ada raut wajah yang menandakan bahwa ia sedang bercanda.