Suasana ruangan backstage cukup tegang. Semua peserta berlomba-lomba merapalkan doa, tidak terkecuali Tafila. Babak pengumuman akan segera tiba setelah penampilan dari karawitan Jawa selesai. Para juri memberikan beberapa saran serta wejangan kepada para peserta dan penonton.
"Baik. Setelah perjalanan yang panjang. Dimulai dari tes tertulis, wawancara, unjuk bakat, dan sesi tanya jawab."
"Kini, tiba saatnya penentuan siapa yang akan menjadi duta kampus!"
"Sebelumnya kita mau cek ombak dulu nih!" ucap MC perempuan, yang mengenakan gaun berwarna biru dongker.
"Mana suaranya?" MC laki-laki berteriak lantang. Dengan tangan kanan diletakkan di dekat telinga.
"Woo ..."
"Kurang keras... "
"Woooaa..."
"We are ... We are... We are, Fakultas Kedokteran!"
"Tafila di dadaku. Tafila kebanggaan ku. Ku yakin Tafila pasti juara! Hepi ye.. Hepi ye.. Uwiwiww..."
"Mr. Genta Is The Best!"
"Wih, semangat banget nih!" tutur MC laki-laki.
"Karena kalian sudah tidak sabar. Mari, kita panggilkan Finalis Duta Kampus Universitas Merah Putih!"
Para peserta naik ke atas panggung, berjalan dengan koreografi yang sudah mereka pelajari. Setelah itu, mereka berjejer rapi di atas panggung. Raut wajah mereka terlihat tenang, namun debar jantung mereka tidak keruan.
"Sebelum menentukan pemenang Duta Kampus 2020. Pemenang dibagi menjadi empat kategori. Yaitu pemenang Favorit Kampus Ambasador, Runner Up I, Runner Up II, dan Duta Kampus 2020."
Lampu-lampu mulai meredup. Dan para penonton pun hening. Suara alunan musik yang diputar membuat suasana semakin menegang.
"Untuk juara Favorite Kampus Ambassador disandang oleh ..."
"Selamat kepada. Fina Alfia, dari Fakultas Kedokteran!"
Suara tepuk tangan mengema di ruang auditorium. Seorang Perempuan yang mengenakan kebaya berwarna merah melangkah maju ke depan panggung. Lalu, satu orang juri dan pemenang favorit Kampus Ambasador tahun lalu menyematkan sebuah selempang kepada juara.
"Sekarang selanjutnya ... Juara Runner Up I jatuh kepada ..." Kedua MC saling melirik.
"Selamat kepada ... Ayasa Widuri, dari Fakultas Hukum dan Sintia dari Fakultas Pendidikan!"
'Wooooa ... Ayasa!'
Kemudian, pemenang Runner Up I tahun lalu yang berwarna Embun dan Bumi. Menyematkan selempang kepada Ayasa dan Kamelia. Selepas itu, mereka berdua mengambil posisi disebelah kiri.
"Selanjutnya untuk juara Runner Up II diterima oleh ... Genta Mahesa dari Fakultas Komunikasi. Dan Vina Adira, dari Fakultas Sastra!"
"Selamat kepada Genta dan Vina. Silahkan bergeser ke kiri."
"Selanjutnya yang paling ditunggu. Pemenang dari Duta Kampus 2020 adalah ..."
"Selamat Kepada Tafila Rayhan, dari Fakultas Sains. Dan Kamelia, dari Fakultas Ekonomi ..."
Tafila di dadaku. Tafila kebanggaan ku. Ku yakin Tafila pasti juara! Hepi ye.. Hepi ye.. Uwiwiww...
Suara para pendukung Tafila memenuhi auditorium. Yel-yel penyemangat pun terus terdengar. Sampai akhirnya MC meminta untuk diam sebentar dikarenakan sedikit menganggu.
Dekan dari Kampus Merah Putih langsung menyematkan selempang bertuliskan Duta Kampus Merah Putih. Kepada dua pemenang.
***
Satu minggu telah berlalu usai pengumuman pemenang duta kampus. Kini, Chayra dan Ranasya harus mewawancarai dua orang pemenang dari duta kampus. Untuk dimuat di koran serta majalah kampus.
Rasanya dan Chayra sudah berada di taman kampus. Mereka menunggu pemenang duta kampus melakukan kegiatan yang entah apa, Chayra kurang paham.
Ketika acara mereka sudah selesai. Chayra dan Ranasya bergegas menghampiri salah satu duta kampus yang tidak sibuk.
"Yang mana orangnya?"
"Yang itu." Tunjuk Ranasya pada seorang cowok yang sedang berdiri di dekat pintu keluar seorang diri.
Chayra memasang pandangan mata lebih tajam. Memastikan seseorang yang baru saja ditunjuk oleh Ranasnya.
"Lo yakin dia?"
"Iya lah! Memang dia kok pemenang duta kampus."
"Serius?"
Ranasya menepuk keningnya. "Iya. Memang dia. lo emang gak lihat di Instagram kampus?" Chayra mengelengkan kepalanya.
"Gua sakit tiga hari. Mana update," jawab Chayra santai.
"Pantes."
"Serius dia?" Chayra kembali bertanya pada Ranasya, seakan tidak percaya jika cowok itu adalah pemenang duta kampus.
"Iya! Kenapa sih? Lo kenal?"
"Orang nyebelin!"
"Hah? Lo kenal berarti?"
"Eh?"
"Benarkan lo kenal?"
"Ya gitu.. " jawab Chayra ragu.
"Nah, pas nih! Karena lo kenal berarti lo aja ya, yang minta izin buat wawancara dia? Gua tunggu di sini."
"Eh—" Chayra terbelalak mendengar ucapan Ranasya. "Gak bisa gitu! Bareng-bareng dong!"
"Duh, gua gak enak. Gak kenal. Lo aja ya?"
'Apalagi gua Sya!' umpat Chayra.
Ranasya mendorong tubuh Chayra menuju Tafila. Setelah itu ia pun pergi melihat Chayra dari kejauhan. Di belakang tubuh Tafila Chayra berada. Ia melangkah mundur saat hampir mendekat Tafila. Ia bingung harus mengatakan apa.
Tetapi Ranasya dari kejauhan terus saja menatap Chayra dengan tatapan tajam. Meminta Chayra agar cepat berbicara pada Tafila. Pada akhirnya Chayra mengumpulkan sedikit keberanian pada dirinya, untuk berbicara pada Tafila.
Tafila sedikit merapikan baju kemeja putih serta jas berwarna hitam yang ia kenakan sebagai seragam. Tampak penampilannya menjadi sangat menarik. Dengan rasa tidak enak Chayra memanggil nama Tafila, setelah rekan kerjanya menyenggol tubuhnya untuk memintai izin mewawancarai Tafila.
"Tafila."
Tatapan Tafila beralih saat suara seseorang yang tidak asing baginya. Tubuhnya berbalik menghadap Chayra yang saat itu membelakanginya.
"Chayra?" Tafila terkejut melihat Chayra.
"E—eh. Hai Tafila?" sapa Chayra canggung. Tafila menyernyit bingung.
'Aduh, kenapa sih gua?' ucap Chayra dalam hati.
"Ada apa?"
Chayra tersenyum kecil, guna menghilangkan rasa canggung dihadapan Tafila. Bagaimana tidak? Ia berusaha menjauh dan mengacuhkan Tafila akibat kejadian saat makan bakso bersama Tafila. Namun, saat ini ia harus berhadapan dengannya.
Chayra pun menunjukkan sebuah kartu tanda pengenal Lingkar Pena yang ia punya pada Tafila. Tafila mengusap dagunya seraya menyipitkan mata melihat kartu tanda pengenal tersebut.
"Gua—" Satu alis Tafila terangkat saat Chayra membuka suara. "Gua, mau minta waktu buat wawancara sama lo boleh?" ucap Chayra dengan cepat.
Raut wajah Tafila tiba-tiba saja berubah. Bukannya menjawab, ia malah meminta Chayra mengulangi ucapannya.
"Hah? Gimana-gimana?"
"Gua, mau minta waktu buat wawancara sama lo boleh?" ulang Chayra.
"Hah? Gak denger. Coba ulangin!"
Chayra berdecak. Tampak bibir Chayra yang sudah mengecut kesal. Sementara itu, yang diminta wawancara malah terlihat senang. Ia tertawa puas.
"Iya ... Iya ... Boleh!" sahut Tafila.
Chayra tersenyum simpul. Tafila bersedekap lalu, membisikkan sesuatu pada Chayra. "Tapi ada syaratnya!" bisikan Tafila sukses membuat Chayra mendelik.
"Gimana, mau gak? Gak mau ya udah," kata Tafila.
Tafila melangkah meninggalkan Chayra. Belum sampai lima menit Chayra langsung meraih lengan Tafila. Tafila melemparkan pandangan sambil tersenyum penuh arti.
"Gimana?"
"Apanya?" tanya Chayra polos.
"Jadi wawancarai gua gak? Secara gua duta baru di kampus!" jawab Tafila dengan sombongnya. Hal tersebut membuat Chayra menatap sinis.
"Hei?" tanya Tafila memecah keheningan.
"Terserah lo," ucap Chayra, kemudian menarik lengan jas Tafila.
"Udah cepetan, teman gua udah nunggu noh di sana!" Tafila menuruti perintah Chayra, sambil mengelengkan-gelengkan kepalanya melihat tingkah Chayra.
"Mau wawancara di mana?" tanya Tafila pada Ranasya.
"Di bangku sana aja Kak, aja gimana?" jawab Ranasya sopan.
"Gak usah panggil Kak. Dia seangkatan sama kita!" sergah Chayra tidak terima.
"Sirik aja lo!" jawab Tafila.
Lalu, Tafila Chayra dan Ranasya melangkahkan kakinya menuju sebuah bangku yang tepat berada di bawah pohon rindang. Sambil berjalan Chayra menyalakan kamera DSLR yang sempat dimatikan, supaya waktu tidak berjalan lama.
Ranasya dan Tafila langsung akrab. Ranasya memberikan beberapa pertanyaan untuk Tafila sedangkan Tafila menjawabnya dengan bersemangat. Disisi lain, Chayra yang kini menjadi seperti nyamuk di antara mereka berdua.
"Chayra?" Ranasya bersuara.
"Iya?"
"Fotoin kita berdua dong!" pinta Ranasya sambil tersenyum senang.
"Oke."
Chayra mengangkat kamera DSLR-nya lalu memfokuskan lensa kamera sebelum memotret.
Crek!
Foto dua insan yang tersenyum hangat sudah ia dapatkan.
"Sekali lagi," ucap Chayra. Mereka pun segera mengubah posisinya dengan gaya lain.
"Ra, sini gantian. Jarang-jarang lo foto sama cogan!" ajak Tafila. Chayra yang saat itu sedang memeriksa foto hasil jebpretannya mengangkat kepala menatap Tafila.
"Gak ah, malas!" ucap Chayra. Namun, Ranasya berdiri dari tempat duduknya. Mengambil kamera yang dipegang Chayra.
"Udah sana foto bareng. Itung-itung ucapan terima kasih karena udah mau diwawancarai sama kita!" tutur Ranasya.
"Gak ah malas gua, Sya."
Tafila yang masih duduk di bangku taman. Jengah menunggu Chayra yang tidak kunjung datang, ia pun menarik lengan Chayra.
"Ih, engga mau!"
Tetapi, Tafila tidak mengubris penolakan Chayra. Ia malah semakin memaksa Chayra. Dan mau tidak mau Chayra menurut karena tenaganya tidak terlalu besar daripada Tafila. Dengan bibir mengerucut Chayra pun duduk di samping Tafila.
"Ayo senyum, Ra!" teriak Ranasya yang sudah bersiap membidik Chayra dan Tafila.
Tafila yang menyadari raut wajah Chayra yang memberengut itu. Segera mengarahkan kedua tangannya ke arah pipi Chayra, mencubitnya agar tersenyum.
"Satu ... Dua ... Tiga ..." Foto antara Chayra dan Tafila berhasil diambil oleh Ranasnya.
"Sekali lagi!" pinta Ranasya.
Tafila mengubah posisinya sedangkan Chayra masih dengan posisi yang sama. Tafila merangkul pundak Chayra dan kepalanya bersandar di atas kepala Chayra.
"Senyum!"
Sesudah memotret Chayra dan Tafila, Ranasya mendapat telepon yang entah dari siapa. Yang jelas ketika menyudahi teleponnya,
Ranasya kemudian mengembalikan kamera yang ia pegang kepada Chayra.
"Lo mau ke mana Sya?"
"Gua, mau ke kostsan. Acaranya udah selesai kan ya?"
"Udah," jawab Chayra.
"Ya udah, gua dukuan ya. Temen kostsan gua lupa bawa kunci, gua balik sekarang ya Ra." Ranasya merapikan beberapa buku serta alat tulis yang ia bawa ke dalam tas.
"Kak Tafila, makasih ya. Ra, gua duluan ya." Pamit Ranasya.
Tafila menatap wajah Chayra yang masih menatap ke pergian Ranasya.
"Ra?"
Chayra menatap Tafila, menaikkan alisnya. "Apa?"
Ia menarik napasnya sejenak mengumpulkan kata-kata serta keberanian pada dirinya. Chayra kembali menatap lurus.
"Gua mau—" Tafila mengantungkan kata-katanya. Pandangannya meniti pada Chayra. "Minta maaf. Ra, maafin gua ya?" Chayra menolehkan kepalanya saat Tafila berkata.
Tafila menundukkan kepalanya menghela napasnya sebentar, lalu kembali menatap Chayra.
"Maaf ... Gara-gara gua, lo dilabrak sama mantan gua," tutur Tafila penuh penyesalan.
Chayra hanya terdiam. Jujur saja ia masih sangat marah. Sebab, ia malu tiba-tiba saja kepalanya disiram air es teh oleh seseorang yang tidak ia kenal sama sekali.
"Gua—" Kini, Chayra yang mengantung ucapannya. "Udah maafin lo. Tapi gua, gak mau deket sama lo lagi." lanjut Chayra.
"Kenapa?"
"Ga apa-apa. Gua, duluan..."
Chayra pun mengalungkan kamera DSLR-nya pada lehernya. Melangkah pergi meninggalkan Tafila begitu saja setelah mengucapkan kalimat itu dan berpamitan pada Tafila.
Tafila terdiam menatap punggung Chayra yang kian menjauh. Meninggalkannya begitu saja di taman. Berniat ingin mengejar namun, ia tahu usahanya akan sia-sia.
Chayra berjalan dengan langkah terburu-buru sesekali melihat ke belakang apakah Tafila mengejarnya. Chayra yang fokus menatap ke belakang dikejutkan oleh tubuh seseorang. Ia menabrak seseorang.
Cowok tinggi, rambut di kucir, mata sipit dan mengenakan kemeja berwarna merah maroon. Sama dengan kemeja yang Chayra kenakan. Chayra tersenyum kikuk ke arahnya.
"Lo, kenapa?" tanya Alditya sembari memperhatikan sekitar.
"Gak apa-apa," elak Chayra. Ia mengalihkan pandangannya. "Saya, mau ke basecamp dulu ya Kak."
"Eh. Sama dong! Kalau gitu bareng aja yuk. Lewat taman aja lebih dekat soalnya," ajak Alditya.
Tanpa aba-aba Alditya mengengam tangan Chayra. Mengajaknya berbalik arah melewati taman. Chayra tidak bisa mengelak. Ia tidak enak hati dengan ajakan Alditya.
'Semoga saja Tafila udah gak ada di taman.'
Langit sudah berubah warna menjadi jingga. Suasana sore hari yang cukup sepi. Chayra dan Alditya berjalan bersisian. Melewati lorong menuju basecamp.
"Semua foto yang aku mau udah dipotret kan?" tanya Alditya.
"Udah Kak."
"Udah wawancara sama Duta juga kan?" tanya Alditya memastikan.
"Udah kak." Alditya mengangguk senang.
Ketika telah sampai di basecamp Lingkar Pena. Chayra langsung memasukkan kembali kamera DSLR yang ia pinjam ke dalam tas khusus kamera. Basecamp telah sepi, dipastikan seluruh anggota sedang ada kelas.
"Kamu udah makan belum, Ra?" tanya Alditya.
Chayra tidak mengubris pertanyaan Alditya. Pikirannya melayang akibat ia meninggalkan Tafila begitu saja di taman. Sekarang ia merasa menjadi manusia jahat.
Alditya mengerutu karena tidak digubris oleh Chayra. Ia pun mengulang perkataannya.
"Kamu udah makan?" Chayra terbangun dari lamunannya.
"Belum."
"Makan yuk. Aku juga belum makan," ajak Alditya.
"Di mana?"
"Kamu maunya di mana?"
"Terserah Kakak, Aku ikut aja," ucap Chayra sembari memasukkan beberapa buku ke dalam tasnya.
Alditya memasukkan tangannya ke dalam saku celana jeans yang ia kenakan. Alditya masih berpikir, ia mau mengajak Chayra makan apa. Sebab, ia selalu bingung jika mengajak seorang cewek makan jawabannya selalu sama 'terserah'.