"Aaaaa!"
Cerelia menutup kedua mata dengan telapak tangan. Suara mengelegar petir dan hujan kala siang hari itu cukup deras. Serangan panik melanda Cerelia. Tubuhnya gemetar, telapak tangan berkeringat dan jantung berdebar lebih cepat.
Dengan sigap cowok yang sudah mengetahui ketakutan Cerelia langsung mendekap dengan pelan. Berusaha menenangkan Cerelia yang terlihat ketakutan.
"Ga apa-apa. Ada gua di sini," ucap cowok itu.
"Gua takut Dit. Kenapa sih, ramalan cuaca dengan kenyataan kadang selalu beda!" umpat Cerelia, sambil terisak.
"Coba deh. Lo sugestiin diri lo, bilang sama alam bawah sadar lo. Kalau petir adalah hal biasa jadi ga perlu ada yang ditakutkan," bisik Alditya disela ia mendekap tubuh Cerelia.
Cerelia menghapus air mata yang turun dipipi. Melepas dekapan tubuh Alditya. Ia menatap lekat manik mata cowok itu penuh keseriusan. Tidak lama ia memejamkan mata, menarik napas dalam.
"Petir adalah hal biasa jadi ga perlu ada yang ditakutkan," ungkap Cerelia sampai tiga kali. Setelah itu, Cerelia kembali membuka kedua matanya.
"Gimana rasanya?"
"Mendingan. Makasih ya?" Alditya mengangguk seraya tersenyum pada Cerelia. Mengusap pelan pucuk kepalanya.
Karena Astraphobia yang ia derita. Atau perasaan takut terhadap kilat atau petir. Membuat hidup Cerelia tidak bisa senormal orang-orang. Ia harus selalu mengecek prakiraan cuaca jika ingin berpergian.
Banyak orang yang ketika melihat Cerelia ketakutan dengan petir akan beranggapan bahwa. Cerelia adalah orang aneh, dengan petir saja takut. Seperti anak kecil saja.
"Gua pesenin teh manis ya?" tanya Alditya yang terlihat khawatir dengan Cerelia. Tanpa menunggu jawaban dari Cerelia. Alditya langsung menuju kasir, memesan teh manis untuk Cerelia.
Berkali-kali Cerelia melirik ke arah jendela kafe. Di luar hujan masih sangat deras. Tidak memungkinkan untuk pulang.
Perasaan Cerelia saat itu sangat tidak enak. Sebab, ia hampir membuat gaduh suasana kafe yang ia kunjungi akibat teriakan histerisnya mendengar kilatan petir.
"Ini, diminum dulu. Biar tenang."
Cerelia mendongakkan melihat Alditya yang sudah berbaik hati memberinya teh manis. Ia pun segera meminum teh tersebut.
"Pulangnya nanti aja boleh ya. Alditya?"
Alditya yang sedang bersandar pada kursi kafe dan menatap hujan terkesiap. Alditya mengubah posisi agar lebih dekat dengan Cerelia. Pergelangan tangan kirinya, ia letakkan di atas kursi Cerelia seakan sedang merangkul.
Suara alunan musik akustik kembali diputar oleh pemilih kafe. Setelah hujan deras yang melanda sudah reda.
"Iya ga apa-apa." Cerelia tersenyum tidak enak.
"Eh iya. Video kelompok kita yang review makanan udah di edit lo, sama Dimas. Mau liat ga?" ucap Alditya bersemangat.
Cerelia menyesap teh manis sebentar lalu berkata, "Oh ya? Liat dong!"
Alditya mengambil ponsel dari saku jaketnya. Memutar video dari layar ponsel. Dan kini, tertampil lah wajah Dimas yang tidak lain merupakan teman satu kelompok mereka.
"Yak, selamat siang menjelang sore. Saya Dimas. Sekarang sedang berada ditempat makan yang hits banget di sekitar kampus Merah Putih. Di mana lagi kalau bukan di Bakso Aci Mang Ujang!"
Kamera menyorot penampilan depan Warung Bakso Aci Mang Ujang. Dan beberapa pengunjung yang ada sedang makan bakso.
"Sekarang saya sudah bersama pemilik Warung Basko Aci Mang Ujang."
"Di sini ada beberapa menu dari Bakso Aci Mang Ujang. Ada bakso aci ceker, bakso aci pedas, bakso aci spesial, dan bakso aci biasa. Nah, kali saya akan mencoba pesan bakso aci pedas."
Layar pada ponsel Alditya menampilkan menu bakso aci yang tersedia di sana. Kemudian, tertampil Dimas sudah siap sedia dengan bakso aci-nya.
"Bakso aci pedas Mang Ujang. Sekarang saya mau mencoba."
Dimas mengaduk bakso yang kuahnya sudah terlihat taburan sambal. Setelah itu, ia menyeruput kuah bakso aci.
"Rasanya gurih, pedas dan tentunya nikmat!"
Sendok Dimas pun mengambil aci dan memasukkan ke dalam mulut. Mengunyah perlahan lalu, menelannya.
"Aci-nya kenyal. Pokoknya kalian yang belum pernah beli bakso aci Mang Ujang. Wajib mencoba! Dijamin enak dan pastinya tidak menyesal."
"Sekian laporan dari saya Dimas Bagaskara. Terima kasih."
***
"Wah gila sih, gak nyangka banget Dixita berani banget!" tutur Nindya berapi-api.
"Tau ya. Kenapa nekat banget sih?" timpal Valya.
"Gua gak kebayang deh gimana nasib nilai UAS dia," kali ini Alya yang berucap.
"Gak tau deh. Gua aja kaget, mana pas banget di depan gua," ucap Nikita.
"Lagian ngapain sih nyontek. Udah tau Bu Amira, kalo UAS selalu jalan-jalan. Gua mah Up dah!" ucap Nindya kembali.
Sementara keempat temannya sibuk mengomentari Dixita yang ketahuan menyontek. Chayra memilih untuk tidak peduli. Fokus pandangan Chayra tertuju pada sepasang cowok dan cewek yang masing-masing wajah mereka terpancar aura gelak tawa bahagia.
Chayra menyernyit saat tahu bahwa cowok dari cewek tersebut adalah Alditya. Sudut bibir Alditya tertarik lebar hingga, mata itu terlihat menyipit. Alditya terlihat sangat akrab bahkan seperti sedang bersama kekasihnya. Padahal kekasihnya adalah Chayra.
Untuk beberapa detik Chayra bergeming dan pada akhirnya ia mengeleng. Mengusap wajah perlahan.
Mungkin cuma teman.
Batin Chayra positif. Walaupun sebenarnya hatinya terasa teriris dan tidak terima.
"Eh Ra, lo kenapa sih? Dari tadi diam aja?" tanya Nindya.
"E—" Chayra tampak melarikan mata kesana kemari. "Engga apa-apa kok."
"Beneran?"
"Iya..."
"Oh iya, Ra. Tadi gimana perasaan lo, pas Dixita ditegur. Kan dia disebelah lo tuh?" ucap Valya, yang mengambil kentang goreng milik Nindya tanpa izin.
"We ... Lo ah Val. Kebiasaan!"
"Bagi dikit napa, pelit amat! Lanjut Ra."
"Biasa aja. Malah gua kasian sama dia. Nanti nilai dia gimana ya? Disuruh ulang ga, ya?"
"Duh!" Nindya mengebrak meja. Membuat keempat temannya terkejut bukan main.
"Santai dong!" sahut Nikita.
"Sorry, Nikita." Nindya tersenyum ramah. Namun, senyuman itu tidak dibalas oleh Nikita.
"Nah ini nih! Sikap yang gua sebel dari Chayra." lanjut Nindya.
"Kenapa tuh?" tutur Alya penasaran.
"Orang kaya dia mah gak usah dikasihanin. Lo mah Ra, kasihan mulu sama orang. Liat-liat mana yang pantas, mana yang engga!"
"Tau ya. Si Chayra mah. Kadang gua juga kesel. Kenapa sih kalo si Dixita minta ajaran lo tuh selalu nerima. Gua kalo jadi lo gak mau. Soalnya dia pernah menghina lo kan?"
"Oh iya itu, tu" timpal Nikita.
"Nah iya, 'kan?" ucap Valya yang merasa benar.
"Ya kan gua cuma kasihan aja. Masa orang minta tolong, ga ditolongin? Masalah dia mengina gua si, ya urusan lain. Nanti kalau dia cape ya, diam," ungkap Chayra membela.
"Bukan gitu lo, Ra. Sesekali ya boleh lo pelit. Biar dia ga seenaknya sama lo!" jawab Nindya geram. Tetapi, Chayra memilih untuk tidak mengubris. Ia lebih tertarik melihat Alditya.
Chayra memandang tempat duduk Alditya yang sudah kosong. Chayra menghela napas panjang, karena merasa gagal mendapat informasi. Pada akhirnya ia mengambil ponsel dari dalam tas. Mengirimkan sebuah pesan singkat kepada Andrian.
Lagi di mana Kak?
Pemuda berambut gondrong yang tidak lain adalah Alditya langsung mengambil ponsel ketika ia tahu mendapatkan pesan.
Lagi di mana Kak?
Di kelas. Udah dulu ya, dosennya galak.
Alditya pun langsung masukkan ponsel ke dalam saku celananya. Setelah membalas pesan dari Chayra. Ia kembali melangkah pelan menuju Fakultas-nya dengan tangan tersemat di atas pundak Cerelia.
"Dari siapa?" tanya Cerelia disela keheningan di antara mereka.
"Bukan siapa-siapa."
Chayra segera meraih ponsel saat menerima pesan dari Alditya. Ia tersenyum kecut dan meringis kecil, begitu membaca pesan dari Alditya. Perasannya sekarang bergemuruh dan ingin menangis, namun ia tahan. Karena tidak mungkin menangis di tempat umum kan?
Dan pada saat itu, Chayra sebisa mungkin menampilkan raut wajah seakan tidak terjadi apa-apa. Dengan mengigit bibir bawah berharap teman-temannya tidak menyadari kesedihan yang Chayra rasakan.
Chayra kembali memakan, makanan yang telah ia pesan. Meskipun, sekarang makanan tersebut terasa hambar.