Tafila tersenyum manis mengamati kedua buah foto. Yang satu foto yang sengaja ia simpan dan ia pajang dalam bingkai. Sedangkan satu foto lagi merupakan foto polaroid yang ia temukan ketika bertabrakkan dengan Chayra kala itu. Kedua buah foto itu menampilkan foto anak perempuan dan laki-laki yang sedang tersenyum sambil bermain ayunan.
"Apa Anin itu lo, Ra?"
"Chayra itu Anin? Anin itu Chayra?!" kata Tafila pelan.
Tafila sangat yakin dengan hal itu. Pasalnya jika dilihat dari foto anak perempuan itu dengan Chayra. Mereka hampir mirip mungkin bukan hampir, tetap sangat mirip! Terutama yang Tafila ingat mata sipit dengan wajah datar tanpa senyuman. Entah mengapa Tafila merasa jika melihat Chayra ia selalu teringat dengan Anin.
Sebenarnya Tafila ingin sekali menanyakan kepada Chayra. Apakah dia teman kecilnya? Teman kecil yang selalu bermain di taman dahulu? Teman kecil yang pernah dengan bodohnya ia tembak dahulu? Ingin, ingin sekali. Tapi rasanya ketika Tafila mengutarakan hal itu ada satu hal yang selalu menganjal hati serta pikirannya.
Bagaimana kalau bukan Chayra? Bagaimana kalau ia salah orang?
Bagaimana kalau nanti Chayra ilfil dengannya? Dan Segala pertanyaan bagaimana serta hal buruk lainnya.
Beberapa detik pun berlalu hingga kepala Tafila tiba-tiba terasa nyeri dan sakit kembali. Ia pun mencengram rambut sekuat tenaga berusaha meminimalisir rasa sakit yang ia rasakan. Ia segera meletakkan kedua foto yang ia pegang di atas meja, karena takut jika darah kembali keluar dari hidung. Dan melumuri foto yang ia pegang.
Tafila berusaha mengambil sebuah gelas yang berisi air minum, sebelum mengambil obat penghilang rasa sakit sekaligus demam. Namun, gelas tersebut malah tersenggol dan jatuh pecah. Dan rasa sakit kepala yang Tafila rasakan semakin menjadi-jadi.
"Argh!!!" lirih Tafila kesakitan.
memojokkan diri disudut dinding kamar.
Sagara yang saat itu baru saja pulang ke rumah setelah hampir dua minggu terakhir tidak pulang, karena menjadi pekerja pabrik dibilangan Cikarang. Ia yang hendak masuk ke kamar, memberhentikan langkah tepat di depan kamar Tafila. Sayup-sayup ia mendengar rintihan kesakitan dari Tafila—adiknya.
"Dek? Lo kenapa?" tanya Sagara dari balik pintu.
"Dek? Lo kenapa?" ulang Sagara.
Memastikan keadaan adiknya. Namun, tidak ada jawaban. Ia pun membuka pintu kamar Tafila tanpa izin dan menemukan adiknya sedang terduduk di pojok ruangan sembari memegang kepalanya.
"Adek lo, kenapa?!" teriak Sagara. Ia berlari menghampiri. Raut wajah Sagara saat itu terlihat panik dan kebingungan secara bersamaan.
"Dek?!"
Sagara memegang kedua pundak Tafila menguncang bahunya agar ia menatapnya. Tafila hampir hilang kesadaran saat itu. Dan ketika Sagara menguncang tubuhnya seketika ia kembali tersadar. Ia pun hanya bisa mengelengkan kepala berkali-kali.
Saat itu, Tafila hanya bisa merapal semoga mimisan ya tidak kambuh. Karena, ia tidak ingin semakin membuat abang satu-satunya itu khawatir. Telapak tangan Sagara pun menyentuh kening Tafila. Panas yang dirasakan Sagara setelah menyentuh kening Tafila.
"Lo—lo demam!"
"Sekarang lo tidur di kasur ya." Sagara membantu Tafila berjalan menuju tempat tidurnya.
"Gua ambil air minum sama kompres," tukas Sagara. Ia berjalan terburu-buru menuju dapur.
Sementara Sagara di dapur. Tafila membenarkan posisi tubuh. Ia pun menghembuskan napas. Merasa terlalu merepotkan abangnya. Tidak lama Saraga datang membawa air putih hangat dan baskom, guna mengompres kening Tafila.
"Ini lo minum dulu."
Sagara memberikan gelas berisi air putih hangat kepada Tafila. Kemudian, ia meletakkan baskom di atas meja dekat dengan tempat tidur Tafila. Ia pun menyelupkan kain ke dalam air dan memerasnya.
"Lo tiduran aja. Biar gua bisa kompres dahi lo."
Tafila menuruti perkataan Sagara. Saraga pun meletakkan kain kompres di dahi Tafila. Setelah itu, ia menyelimuti dengan selimut yang sudah tersedia.
"Lo udah makan? Udah minum obat?" tanya Sagara yang masih terlihat panik. Tafila hanya mengelengkan kepala.
"Ya—" Sagara melirik sekitar kamar Tafila keluar kamar kemudian masuk kembali.
"Ya udah tunggu sebentar. Gua beliin lo bubur di depan gang."
"Engg—"
Baru saja ingin mencegah Sagara. Abangnya itu sudah pergi dengan langkah tergesa. Dan lagi-lagi ia merepotkan orang lain.
Sepuluh menit berlalu dan Sagara telah kembali dengan sebungkus bubur ayam beserta obat demam dan vitamin untuk Tafila. Kaki Sagara tanpa sengaja menginjak serpihan pecahan gelas yang Tafila jatuhkan tadi. Sagara sedikit kesakitan, namun ia tidak menunjukkan bahwa ia sedang merasa kesakitan.
"Adek, ini buburnya lo makan ya. Sama obatnya juga jangan lupa!" Sagara meletakkan bubur beserta obat di atas pangkuan Tafila.
"Makasih, bang." Sagara mengangguk. Ia lantas berpamitan pergi ke toilet sebagai dalih membersihkan telapak kaki yang sepertinya berdarah akibat pecahan gelas.
"Iya sama-sama. Gua kamar mandi bentar kalo gitu."
Tafila pun kemudian terbangun dari tempat tidur. Dan memakan bubur yang telah dibelikan oleh Sagara. Ia ingin cepat-cepat sembuh karena seleksi untuk menjadi duta kampus masih harus ia ikuti. Beruntungnya sekarang hari jumat. Minggu besok ia wajib sudah kembali sehat.