Sinar oranye dari luar, menembus langsung jendela kamar yang terbuka. Waktu menunjukkan pukul lima sore, lebih lima belas, seseorang masih terlelap, tidur menyelusuri alam mimpi dengan wajah yang terus tersenyum, ah ... mungkin mimpinya bertemu uang berjuta-juta, siapa juga yang tidak senang bertemu dengan uang bukan.
Rumah besar yang hanya ditempati oleh tiga orang, menambah kesan sepi dan hening. Bahkan, kedua orang tuanya pun, jarang pulang ke rumah, dengan alasan urusan bisnis. Baiklah, sebut nama anak yang sedang tidur itu Nayyanika, nama kecil nya Nayya.
Masih asik berkelana dialam sana, seseorang membuka pintu utama. Berbalut sandal dan celana panjang bahan, laki-laki itu mulai masuk sambil membawa satu plastik putih berukuran sedang. Ia berjalan pelan, seraya menghela napas panjang-panjang.
Saat sedang menatap betapa berantakan isi rumah sepupunya ini, ia sempat-sempatnya berceletuk. "Cih, siapa yang mau nikah sama dia, kerjaan rumah aja terlantar, apalagi suaminya."
Ia berjalan menuju meja makan, meletakan plastik putih itu bersamaan dengan dirinya yang kembali berjalan dan kini berdiri didepan anak tangga, menarik napas panjang lalu bersedekap dada.
"NAYYA! BANGUN LO! GADIS LAZY!"
Kesal, ia mulai menaiki beberapa puluhan anak tangga, melihat tiga pintu kamar yang terletak diatas, ia berjalan menuju pintu yang terletak paling pojok dengan gantungan kunci 'Nayya rooms' tidak menunggu aba-aba lagi, ia mendorong pintu coklat minimalis itu dengan brutal.
"Astaga, anak ini." Ia berceloteh sambil geleng-geleng kepala. Di ruang utama saja sudah seperti kandang kambing, apalagi dikamarnya, mungkin layak disamakan dengan tempat pembuangan akhir, sudahlah dia jadi merasa geram dan pusing sendiri.
"Bangun, bangun lo heh! Sore sore tidur tuh enggak boleh," katanya sambil memukul-mukul tubuh gadis itu dengan bantal sedikit kencang.
Nayya menggeliat seperti ulat bulu, yang ketika diganggu oleh manusia, dua matanya masih terpejam namun badannya sudah begerak kesana-kemari, merenggangkan otot-ototnya yang terasa pegal setelah tidur dari pukul sepuluh pagi itu.
"Bagus ya lo, waktu pekan akhir itu dipake buat bersih-bersih rumah, santai-santai sambil ngerjain kerjaan sekolah, bukan simulasi mati, paham lo anak Pak Firhat?!"
Mendengar suara yang tidak asing itu, dua matanya langsung terbuka lebar, dan dengan spontan ia langsung duduk sambil menggaruk-garuk pipinya yang entah kapan sudah jadi santapan nyamuk.
"Garuk-garuk, udah mirip gembel lo, sana mandi habis itu beresin kamar lo juga nih, ganti sprai lo yang udah dua tahun enggak ganti itu," lontar nya langsung saja mendapat tatapan maut dari Nayya.
"Hadeuh berisik deh lo Dhala, masuk rumah orang main nyelonong aja, tuan rumah lo hah? Ganggu orang tidur aja," balas Nayya yang kini berpindah menggaruk kepalanya.
Yang disebut Dhala itu hanya bisa membuang napas. Menghadapi human satu ini, memang membutuhkan sedikit ekstra kesabaran yang luar biasa. Karena ... ah sudah lupakan, tidak perlu membahasnya lagi, melihat Nayya yang belum beranjak-beranjak dari tempat tidur semakin menambah rasa kesal.
"Enggak perlu ada acara bengong kaya dugong segala, kerasukan setan baru tahu, udah sana mandi, enggak lihat tuh jam berapa? Setengah enam sore Nayya! Kata orang tua dulu-dulu, anak gadis enggak boleh mandi terlalu sor--hmmpp-"
"Berisik banget anak Pak Fathir ini, iya iya Bapak Dhala saya mau mandi!" sambil membekap mulut Dhala, ia mengibaskan rambutnya lebih dulu pada wajah sepupunya itu sebelum benar-benar berlari menuju kamar mandi.
"Cuih! Tangan lo bau sambal terasi, rambut lo bau kemenyan, najis Nayya lo harus keramas pake kembang tujuh rupa!" teriaknya sambil mengelap terus menerus mulutnya yang tadi dibekap oleh Nayya.
Percikan air dari kamar mandi terdengar, harum sabun yang gadis itu gunakan juga tercium oleh Dhala. Ia tersenyum, lalu dua matanya menatap inci satu figura yang digantung dekat meja belajar, berjalan mendekat, lalu meraih figura dengan bingkai khusus itu, kembali Dhala tersenyum sambil menatap beberapa wajah yang ada disana.
Ada Firhat, Ayahnya Nayya, dan Haurra Ibunya Nayya, lalu dirinya juga Nayya yang saling merangkul. Ini seperti sebuah keluarga dengan ikatan darah, ketimbang Dhala dekat dengan orang tuanya sendiri, ia lebih dekat lagi dengan keluarga Nayya yang notabenenya Ayah Nayya adalah adik dari Ayahnya.
Melihat keakraban dan kedekatan antara Nayya dan dirinya tentu saja tidak perlu dipertanyakan, mereka sudah sering bersama-sama sejak kecil.
"Ah gua lapar, lo kemari bawa makanan 'kan? Wahai sepupuku."
Dhala menoleh, melempar tatapannya kepada Nayya yang kini tengah mengeringkan rambut oleh handuk. Dhala berjalan ke arah Nayya, merebut handuk itu dan menggantungnya ditempat.
"Enggak boleh digosok-gosok pake handuk, nanti rambut lo gampang rontok, pake hair dryer 'kan ada Nay, itu lagi malam ini kayaknya cuaca lumayan bagus, gua mau ajak lo keluar, jadi pakaian lo harus tertutup," katanya sambil memperhatikan penampilan Nayya yang hanya menggunakan celana pendek, juga baju kaos biasa.
"Mau kemana emang? Malam ini Mamah sama Papah gua pulang," balas Nayya lalu duduk didepan cermin.
"Em ... lo maunya kemana Nay?" tanya Dhala balik.
Nayya mendengus, sambil mengeringkan rambut asal-asalan, ia tetap menjawab pertanyaan konyol sepupunya. "Ke Rahmatullah! Tapi jangan ngajak-ngajak gua! Lagian ya, udah tahu gua ini malas gerak Dhal! Yaelah, lo malah ajak gua keluar, jangan salahin gua kalo ditengah jalan gua minta gendong."
Lelaki itu justru terkekeh, baginya disaat Nayya mengomel itu lucu sekali, ekspresinya dapat. Bolehlah, Nayya debut menjadi aktris, dan disutradarai olehnya.
"Yaudah berarti gua gendong. Lagian ya, lo tuh harus banyak gerak, biar hidup lo ada gunanya dikit. Jangan dikit-dikit tiduran, dikit-dikit drakoran, dikit-dikit haluin itu, siapa, si bihun bihun itu, dih."
Nayya melotot mendengar nama suami sejuta umat itu disebut-sebut oleh Dhala. Ia melempar kotak tissue yang dekat dengan jangkauan, hampir mengenai kening Dhala jika saja lelaki itu tidak memiliki refleks yang bagus.
"Sehun Dhala! Se-hun! Bukan bihun, enak aja suami gua dibilang bihun!"
Menghiraukan ucapan Nayya. Dhala memilih bangkit dan menghampiri Nayya yang masih asik bercermin. Pantulan wajahnya didepan cermin, beradu dengan dua netra madu milik Nayya, gadis itu terdiam, sesaat terpaku ketika matanya memandang wajah Dhala yang memantul pada cermin sedang yang terletak didepannya itu.
"Apaan si lo lihat-lihat gua, naksir lo?!"
Dhala begeridik ngeri mendengarnya, segera ia memalingkan wajah seraya mengucap sumpah serapah. "Amit-amit naksir sama cewek modelan lo, udah pemalas, enggak bisa masak, doyan halu lagi, ih bukan tipe gua!"
"Dih gua juga kali, tipe gua itu yang kaya oppa Sehun, tajir, ganteng, tinggi, ter-"
"Iya tinggi kaya haluan lo, emang nya si Sehun Sehun itu tahu lo hidup hah? Hadeuh cape lah gua hadapin anak KPop garis keras kek lo, udahlah buruan beresin tempat pembuangan akhir ini, bentar lagi adzan magrib," ucap Dhala dibalas delikan tak terima oleh Nayya.
Menghabiskan waktu kurang lebih lima belas menit didepan cermin, Nayya sudah rapi dan terlihat lebih segar setelah mandi dan menyisir rambut, Dhala yang tengah duduk menunggu, menatap lamat Nayya yang tengah membereskan tempat tidur.
Cantik.
Katanya gitu, Dhala membatin, jika saja Nayya cenayang, mungkin rahasia hati tidak akan pernah aman kembali.
"Ck, lipat sprai nya bukan gitu Nay, sini gua ajarin." Dhala menghampiri Nayya yang tengah otak atik sprai baru, gadis itu mengangguk seraya menggeser posisinya sedikit memberikan ruang untuk Dhala.
"Gini, sisi kanan sama sisi kiri, nih yang ini harus sejajar, habis itu lo angkat sedikit kasur lo, dan lipat membentuk segitiga diujung biar rapi keliatannya, dulu, gua pernah jadi ketua PMR, pernah belajar PK, dan kurang lebih kaya gini, lipat lipat sprai."
Nayya memandang wajah Dhala yang terlihat serius saat tengah menerangkan, sedangkan kakinya tidak bisa diam, ia sedikit mundur, saat tubuh Dhala mulai beralih ke tempat lain, bersaman dengan itu, ia menginjak kaleng soda yang sudah kosong, membuatnya refleks terjatuh dan spontan menarik baju Dhala, karena yang dekat dengannya hanyalah sepupunya itu.
Ia terjatuh, pun dengan Dhala yang langsung membalikan badan saat Nayya menariknya, Dhala menahan kepala Nayya yang hampir membentur lantai, sedangkan satu tangannya lagi menahan agar tubuhnya tidak bertubrukan dengan Nayya.
Seperti sebuah sinetron, mereka bertatapan lama sekali, disadarkan saat suara adzan berkumandang. Nayya berteriak, mendorong tubuh Dhala kuat-kuat.
"Najis najis najis, Dhala lo mau ngapain hi!" Nayya berdiri sambil menepuk-nepuk seluruh badan seperti sudah terjatuh diatas pasir saja.
"L-lo yang ngapain pake acara jatuh narik baju gua lagi," balas Dhala sambil membalikan tubuh membelakangi Nayya.
"Ya, ya gua refleks. Ah udahlah terus itu gimana kasur gua belum lo pasangin semua sprai nya buruan!"
Dhala berdehem, lalu kembali melanjutkan aktivitasnya, tidak lupa sambil kembali menceramahi Nayya dengan segala kalimat panjangnya.
"Makanya kamar itu buat tidur, bukan dijadiin ruang makan! Tuh sampah berserakan, lain kali kalo makan sekalian sama bungkusannya!"
Nayya mendengus, kesal dengan Dhala yang terlihat banyak omong. Ia mencubit pinggang laki-laki itu, membuat gema suara Dhala memecahkan hening yang tercipta didalam ruangan yang berserakan dengan sampah ini.
Semangat ❤️❤️❤️
Comment on chapter Bab 3