Mengagumimu dalam diam adalah bentuk cinta paling dalam
Terimakasih sudah hadir meskipun dirimu tidak menjadi takdir
***
“Lo ini, buta atau gimana, sih?! Cewek modelan bidadari gitu lo anggurin!”
Leon melepas genggaman tangannya. Kupingnya sudah panas dari tadi mendengar ocehan Caca yang menurutnya unfaedah.
“Ya udah sana! Lo aja yang nikah sama dia!”
“Kalau gue jadi cowok kayak lo, udah gue lakuin sebelum lo suruh!” Caca menggosok wajahnya frustrasi. Apa jangan-jangan Leon nggak suka sama cewek? Caca segera menangkup ke dua pipi Leon, Meski Caca terbilang memiliki postur tubuh tinggi tapi tetap saja dia harus berjingkrak untuk bisa menggapai pipi Leon. Mata lentiknya kini meneliti setiap inci garis wajah cowok di hadapannya sekarang.
“Lo, masih suka sama cewek, ‘kan?”
Leon merotasikan matanya, ia segera menepis kedua tangan Caca dari pipinya.
“Lo pikir gue…! Issh ya nggak, lah!”
“Ah?! Serius! Lo nggak suka cewek?! Astaga Leon!”
Tangan Leon segera membungkam mulut Caca yang memang dari tadi seakan tidak lelah untuk mengoceh.
“Maksud gue, gue nggak seperti apa yang ada dipikiran lo! Gue masih normal!”
Kenapa otak Caca bisa berpikir sejauh itu, Cuma gara-gara ia tidak suka dengan Maudy. Berada di dekat Caca membuat leher Leon terasa ingin putus gara-gara keseringan menggeleng akibat tingkah yang dibuat Caca. Urat nadi di lehernya terasa akan putus dan meledak karena menampung darah yang terlalu banyak, Caca membuatnya hipertensi akut
“Gue nggak percaya!” Mata Caca semakin menatap tajam. Cewek ini ternyata nantangin Leon. Leon membalas tatapan itu tak kalah dalam.
“Lo mau bukti, hm?”
Caca bergerak mundur melihat tatapan dan seringai jahil dari Leon. Gugup, itulah kata yang bisa menggambarkan keadannya sekarang. seumur hidup dia tidak pernah ditatap seperti itu, mana tempat mereka sepi lagi, dan apa yang Leon katakan tadi, bukti? Maksudnya bukti apa?
“Gu-gue….” Caca gelisah, sepertinya Leon tidak bercanda. Cowok itu terus saja melangkah pelan mengikuti langkah yang dibuat oleh Caca. Jarak mereka kini benar-benar dekat, bahkan Caca mampu merasakan embusan dari napas Leon. Caca memejamkan mata takut ketika wajah Leon semakin dekat dengannya.
“Jangan lupa nanti sore, gue jemput. Dandan yang cantik.”
Caca segera membuka matanya, Leon melangkah pergi dengan senyum mengejek.
“Huh! Kurang ajar!” umpat Caca geram, jantungnya sudah dibuat maraton seperti ini, Leon malah pergi sesuka hati. Klarifikasi dulu, kek, apa yang dia ucapkan barusan. Kan, otak Caca yang memang sering long loading jadi salah paham.
Mata lentiknya menatap punggung Leon yang mulai menjauh. Dasar Leon kurang kerjaan, bisa-bisanya dia menjahili Caca sampai lutut cewek itu gemetaran. Sekarang apa yang harus dia lakukan, ini terlalu mendadak bukan, sih? Bertemu orang tua Leon untuk dikenalkan sebagai calon pendamping.
Caca melihat botol kaleng di depannya. Sebuah kesempatan untuknya melampiaskan rasa kesal dan malunya. Dengan sekuat tenaga dia menendang botol kaleng tersebut, tak menghiraukan akan ke mana botol itu melayang, yang terpenting rasa kesalnya kepada Leon sudah ia realisasikan lewat botol itu. Anggap saja botol itu adalah Leon.
“Hai! Kalau buang sampah jangan sembarangan!”
Caca urung melangkahkan kakinya ketika melihat seseorang menghampirinya dengan sebuah botol kaleng yang ia bawa. Caca menepuk jidatnya, botol kaleng itu perasaan yang tadi dia tendang. Tunggu sebentar, Caca menyipitkan mata untuk melihat dengan jelas siapa yang sekarang tengah berjalan mendekat. Sepertinya dia kenal, dan benar saja setelah orang itu cukup dekat, wajah yang tak asing itu langsung memenuhi indra pengelihatan Caca.
“Caca? Ternyata kamu.”
Nyengir kuda andalan Caca keluar ketika melihat tampang gemas dari lawan bicaranya.
“Hehe, Kak Dimas, sorry.”
Dimas Rifqi Ahda, Cowok yang Caca kagumi semenjak perkenalan pertama mereka di depan gedung Fakultas Kedokteran. Teman dari sang kakak yang sama-sama menempuh kuliah di jurusan kedokteran. Paras rupawan, sikap yang santun dan senyum yang mampu melelehkan hati, dan jangan lupakan bahwa dimas masuk ke dalam kategori laki-laki yang shaleh. Mungkin terlalu lebay, tapi itu penilaian Caca untuk seorang Dimas dari awal pertemuan sampai sekarang.
“Kenapa buang sampah sembarangan, hm?”
Tolong, hati Caca tidak kuat mendengar suara lembut itu. Lagi menegur saja sudah selembut itu bagaimana jika jadi pacar atau istrinya. Eh! Apa, sih, Ca. Caca segera menggeleng untuk menyadarkan dirinya, jika sudah bertemu dengan Dimas, maka jiwa ambyarnya akan bertebaran kemana-mana.
“I-itu tadi…apa?” Selalu saja kehilangan kata-kata ketika dihadapan Dimas. Alis cowok itu terangkat, masih menunggu penjelasan Caca yang masih mengambang.
“Itu, tadi nggak sengaja ketendang. I-iya, nggak sengaja ketendang, Kak.” Ujung bibir Dimas tertarik membentuk lengkung indah di sudut bibirnya, dia mengangkat tangannya dan tanpa sadar mengacak rambut Caca gemas.
"Ya Tuhan,, Ciptaanmu yang satu ini kenapa indah sekali. Jangan senyum dong! Hati dadek jadi dagdigdug nggak karuan lihatnya, " Batin Caca terus saja memuji manusia di depannya
“Eh, Astaghfirullah Maaf, maaf. Kakak nggak sengaja,” sesal Dimas.
“Sengaja aja nggak apa-apa, gue Ikhlas, Bang.” Timpalnya dalam hati.
Caca tersadar dan segera menormalkan ekspresinya. Caca lagi-lagi merutuki dirinya, kenapa anggota tubuhnya seakan menunjukkan rasa gembira seperti ini.
“Nggak apa-apa, Kak.”
“Lain kali kalau lihat sampah jangan ditendang, tapi dipungut terus dibuang, ya. Kebersihan adalah sebagian dari iman. Kakak pergi dulu, sampai ketemu nanti.”
Caca memegang dadanya yang terasa tak karuan. Tolong, siapa pun, jelaskan alasan kenapa jantungnya seperti ini?
Caca masih saja tersenyum, meski Dimas sudah hilang dari pandangannya. Andai Dimas yang jadi jodohnya. Eh, kenapa kemarin Caca tidak mengajak Dimas saja untuk menikah.
Caca mengerucutkan bibirnya, kenapa baru terpikirkan, kali saja kakak ketemu gedenya itu mau, betapa bahagia dirinya kalau itu yang terjadi. Tapi sekarang mau bagaimana, nasi sudah menjadi bubur. Dia sudah menerima tawaran Leon, lebih tepatnya Leon yang menerima ajakan gilanya itu. Sebagai warga Negara yang baik dan menjunjung tinggi keadilan, Caca harus menepati janji. Kali saja hanya sebagai pacar, kan, bukan istri sungguhan.
***
Untuk kesekian kalinya Caca memutar badannya di depan cermin, rasanya dia tidak biasa memaki pakaian dengan rok seperti ini. Dia biasanya kemana-mana memakai celana dan tentunya tak pernah berdandan seperti ini.
“Kenapa gue kelihatan kayak ondel-ondel, sih?” Perasaan, Caca sudah mengikuti tutorial make up dengan benar, tapi dia malah terlihat menyeramkan, dan tidak sesuai dengan apa yang dia tonton. Lagian, kenapa dia mesti capek-capek dandan, Cuma gara-gara kata-kata Leon. Dia Cuma akan pergi menemui ibunya Leon, itu saja.
“Dek, Kakak mau min…Hahahaha!” Tawa Bian lepas ketika melihat wajah sang adik yang terlihat begitu lucu. Caca menekuk wajahnya masam, jika Bian saja sudah tertawa seperti itu, menandakan hasil make up-nya memang jelek.
“Mau, ngebadut kemana, kamu?” Tuh, kan, Bian pasti akan mengejeknya, saudaranya ini memang tidak bisa melihat saudarinya bahagia.
“Kalau mau mengkritik itu, bisa pakai bahasa yang halus dan sopan nggak!”
“Kamu nggak cocok dihalusin! Lagian mau kemana pakai pakaian kek gitu, dandan pipinya dimerah-merahin kayak gini. Asli kayak badut kamu, Dek.”
Caca kembali melihat dirinya dipantulan cermin. Apa yang dibilang Bian ada benarnya, memang dia tidak akan bisa terlihat cantik dengan make up, di saat orang-orang terlihat glow up dia malah semakin terlihat menyeramkan.
Dengan rasa kesal Caca mengambil beberapa lembar tisyu di depannya, menghapus dengan kasar warna-warna yang sudah dia taburkan sebelumnya di wajah halusnya itu.
“Kamu itu lebih bagus tanpa dandan-dandan nggak jelas kayak tadi, ya walapun masih kelihatan buriknya, sih!” Definisi diterbangkan kemudian dijatuhkan, ya seperti ini. Kakanya ini memang pintar sekali dalam hal merusak moodnya.
“Keluar, nggak! Atau lo mau gue make up-in juga, ah?!”
“Garang banget, sih!”
“Keluar!”
Bian dengan tawanya segera berlari ketika Caca kini mulai mengambil peralatan tempur untuk menyerangnya.
Dering ponselnya menghentikan langkah Caca, tanpa melihat siapa yang menelpon dia langsung mengangkat.
“Halo!”
“Lo dimana, sih? Gue udah nunggu dari tadi!”
Caca menarik ponsel dari telinganya, melihat nama yang tertera di layar.
Leon
“Apa!”
“Dua menit lagi, lo nggak datang! Gue jemput ke rumah lo!”
Tut…Tut…
Caca menjauhkan ponsel dari telinganya, Leon benar-benar tipe orang yang tidak sabaran. Dengan cepat Caca menyambar tas dan sepatu sembarang, bahkan dia lupa dengan wajahnya yang hanya baru dibersihkan setengahnya saja. Dia berlari dengan menenteng sepatu di tangan kirinya dan tas di tangan kanannya, terburu-buru membuatnya tidak memikirkan apapun lagi, yang terpenting sekarang bagimana caranya supaya dalam waktu dua menit dia bisa sampai di hadapan Leon. Jika sampai Leon ke rumahnya maka sang papa tidak akan mengizinkannya keluar.
Caca hampir saja menubruk Bian ketika mereka berpapasan di ruang tengah.
“Ngalangin aja lo, Kak. Minggir!”
Bian yang masih sibuk meneliti penampilan sang adik dari atas sampai bawah, sekarang tak bisa berkata apa-apa lagi selain hanya tawa yang membahana dari mulutnya.
Ingatkan Bian untuk tidak mengakui Caca sebagai adiknya, jika nanti di jalan dia bertemu dengannya.
“Dek! Nggak ada sepatu lain apa, selain sepatu bot. Lo makin kayak badut beneran tau nggak!” percuma, Caca sudah hilang dari balik pintu, mana sempat dia mendengarkan teriakan dari Bian.