Jika berani menanam maka harus berani menuai hasilnya
Begitulah hidup
***
Caca belum bisa berhenti menggerutu, akibat tarikan paksa dari Leon dia tidak bisa menikmati semua makanan yang tadi Akbar beli untuk dirinya. Sayang sekali, Semua makanan itu harus masuk ke dalam perut Akbar, padahal perutnya sendiri masih sanggup untuk menampungnya.
“Kenapa, tuh, muka?”
Caca berdecak sebal, sembari menatap jengah laki-laki dengan raut wajah tanpa dosa yang ada di depannya sekarang.
“Ck, masih nanya lagi! Gara-gara lo, gue nggak bisa ngehabisin semua makanan itu, jadi mubazir, tau!”
“Temen lo, kan, ada. kelihatannya dia bisa habisin semuanya.” Leon masih menjawab santai, tapi tidak dengan Caca.
“Justru karena Akbar mampu habisin itu semua, makanya jadi mubazir!”
Leon menatap bingung ke arah Caca yang kini masih terlihat tidak rela karena makanannya dihabiskan oleh temannya sendiri. Bukannya justru bagus, dong, jadi tidak mubazir. Namun kenapa Caca malah bekata sebaliknya?
Leon yakin sekali, IQ yang dia miliki berada di atas rata-rata. Namun, tetap saja ucapan Caca masih belum bisa dicerna oleh saraf otaknya. Caca yang terlalu cerdas merangkai kata-kata atau memang dia yang tidak mengerti sama sekali maksud dari perkataan cewek itu.
Caca mendengus kesal, mungkin hanya Akbar yang langsung bisa merespon tiap apa yang dia ucapkan. Buktinya sekarang, makhluk yang berjenis kelamin laki-laki di depannya ini masih melongo kebingungan. Padahal makna dari ucapan Caca itu hanya satu kalau makanan itu tidak akan mubazir kalau Caca yang makan semua, tapi kalau dimakan oleh orang lain akan tetap mubazir karena bukan Caca yang makan. Sebenarnya yang ribet di sini siapa, sih?
Tak ingin pusing berkepanjangan Caca menghentikan saraf otaknya untuk memikirkan hal itu. Terserah, Leon mau paham atau tidak yang terpenting dia sudah paham dengan apa yang dia ucapkan.
“Mau apa?” Kini mereka berdua tengah duduk di meja kantin, entah sebuah keberuntungan bagi Caca karena memang dirinya masih lapar. Pijar matanya berbinar ketika melihat deretan makanan yang tersaji tidak jauh dari tempat mereka duduk. Anggap saja Leon terlalu peka perihal ini.
“Mau pesan apa? Gue traktir.”
“Ah? Serius!” pekik Caca kegirangan. Leon mengangguk.
“Anggap saja ini sebagai permintaan maaf gue, gara-gara lo makan sedikit tadi.”
Caca nyengir kuda, andai Leon tahu di dalam lambung Caca sudah tertampung 2 porsi ketoprak, 2 bungkus batagor, satu kotak martabak, semangkok bakso, dan yang terakhir tadi seporsi seblak.
Apakah Leon masih bersedia mentraktirnya? Meski makan banyak, Caca patut bersyukur karena berat badannya tak pernah naik selama ini. Jadi dia tidak takut untuk gendut walaupun semua makanan dia makan. Seandainya nanti dia gendut juga tidak masalah, itu tandanya dia bahagia.
Caca berlari menghampiri deretan makanan yang tidak jauh dari tempat duduk mereka. Sudut bibir Leon tertarik membentuk lengkung manis di wajahnya. Hanya karena makanan, mood cewek di sampingnya ini berubah drastis secepat ini.
“Lo, mau traktir gue apa?” Caca melirik ke samping, menunggu komentar dari Leon yang ikut membuntutinya.
“Terserah, ambil aja apa yang lo mau.”
Caca melirik memastikan dan hanya dijawab anggukan oleh Leon.
“Yakin? Nggak nyesel?”
Leon mengangguk mantap. Kalau dilihat dari postur tubuhnya, Caca tidak mungkin makan banyak, itu yang dipikirkan Leon. Namun dua menit setelah ia menganggukkan kepala, sepertinya apa yang dia pikirkan berbanding terbalik dengan kenyataan. Di meja tempat mereka sekarang, sudah hampir penuh dengan berbagai jenis makanan yang ada di dalam kantin, mulai dari makanan ringan sampai dua porsi besar mie goreng.
“Serius, lo mau makan ini semua?” Leon masih tidak percaya. Selama ini dia hanya melihat lewat sosial media orang-orang yang makannya di luar kebiasaan manusia.
“Kenapa? Lo nggak ikhlas bayarin gue semua ini?”
Dengn cepat Leon menggeleng. Bukan itu yang dia permasalahkan, tapi apakah semua makanan ini muat di lambungnya Caca?
“Makan, makan.” perintah Leon. Caca menyodorkan satu porsi mie goreng kepada Leon.
“Ambil cepat, tangan gue pegel!”
Leon lagi-lagi menggeleng, walau sebenarnya dia lapar. Lebih baik dia makan siang nanti sesudah urusannya dengan cewek ini selesai.
“Udah, ambil! Gue tahu lo lapar. Tenang, gue nggak akan kelaparan, kok. Cuma gara-gara bagiin jatah gue ke lo. Soalnya tadi gue juga udah makan Seblak, Martabak, Batagor, Ketoprak, Bak….”
“Ah?” Kepala Leon benar-benar terasa pusing mendengar Caca menyebutkan makanan yang sudah ia makan, jenis makanan apa lagi yang akan cewek itu sebutkan jika dirinya tidak menghentikan ucapannya. Caca malah tertawa melihat ekspresi kaget dari Leon, kenapa cowok ini terlihat sangat menggemaskan ketika begini.
“Biasa aja kali! Nih, makan makanya.”
Leon tidak menolak, dia mengambil mie goreng yang dari tadi Caca sodorkan. Cewek di depannya ini apa tidak takut obesitas, karena kebanyakan makan.
Hanya butuh waktu sepuluh menit dan semua makanan yang ada di depan mereka hampir habis, hanya tinggal berapa biji makanan ringan yang belum terbuka. Nyatanya makanan itu bukan semua yang Caca makan, tapi Leon juga ikut andil untuk menghabiskannya. Caca masih tertawa geli dalam hati, bagaimana gengsinya tadi cowok itu untuk memakan makanan yang Caca tawarkan, tapi pada akhirnya dia juga akan ikut memakannya.
“Seumur hidup, gue baru pertama kali makan sebanyak ini.” curhat Leon, dia memang tidak mengada-ada.
“Makan sudah, terus apa tujuan lo nyeret gue tadi?”
Leon menepuk keningnya, hampir saja dia lupa tujuan utamanya menyeret cewek di depannya ini.
“Gue udah bilang lewat telpon kemarin, kalau gue terima tawaran lo. Dan sore ini lo ikut gue ke rumah.”
“Ah?!”
“Gue mau kenalin lo ke nyokap gue.”
“Ah?! Semudah itu?”
Leon mengerenyitka keningnya.
“Lo kenapa, sih?”
Caca menggaruk tengkuknya, kenapa jadi dia yang bingung sendiri.
“Lo serius, mau nikah sama gue?”
“Kan, Lo yang nawarin kemarin, Bambang!”
Sabar Leon, sabar.
“Kemarin sebenarnya, gue Cuma bercanda,” cicit Caca pelan membuat Leon mengerjapkan mata. Leon mengacak rabutnya prustrasi. Kesal, tentu saja, hal itu jangan ditanyakan lagi. Bisa-bisanya dia menganggap ucapan Caca kemarin itu benar dan sekarang dia sudah memutuskan untuk menerima tawarannya tapi ternyata Gadis itu cuma bercanda. Leon rasa dia butuh karung sekarang untuk membungkus manusia seperti Caca.
Caca menatap prihatin, dia jugga tidak menyangka kalau Leon akan menerima tawaran gilanya. Jahat bukan? Kalau dia yang malah menolaknya.
“Kenapa, lo mau?” Akhirnya Caca kembali angkat suara meski masih terdengar lirih. Leon menghembuskan napas panjangnya, manik mata tajamnya kini membalas tatapan dari Caca.
“Gue juga nggak mau dijodohin, jadi….”
“Ok, Deal!”
“Ah?!” Kini gantian Leon yang mangap-mangap tidak jelas. Caca benar-benar membuatnya hipertensi.
“Tapi lo harus siap ngasih gue makan yang banyak!”
Itu hal yang gampang bagi Leon, tapi semudah itukah, pikiran Caca berubah-ubah? Tadi mengatakan dia hanya bercanda dan sekarang mengatakan deal, itu artinya dia menerima bukan?
“Lo ini! Yang benar mana? Menolak atau menerima? Astaga, kenapa gue kesannya lagi nembak cewek!”
Caca semakin terbahak. Kenapa tampang Leon bisa selucu ini kalau lagi kesal.
“Iya, gue mau!” sahut Caca disela tawanya.
Leon menyungging seuntai senyum sembari mengeluarkan selembar kertas dari ranselnya lalu menyodorkannya ke arah Caca.
“Ok, kalau lo setuju, gue sudah buat surat perjanjian hitam di atas putih. Lo baca dulu, kalau lo mau rubah….”
Tanpa menunggu ucapan Leon selesai, Caca segera menandatangani perjanjian tersebut. Leon tertegun sejenak, tapi ia segera tersadar.
“Lo yakin, nggak mau baca dulu apa isinya?”
“Males!” jawab Caca enteng. Leon hanya mengangguk menanggapi ucapan Caca.
“Leon! Gue cari dari tadi ternyata lo di sini! Iiih capek tau! Wet, wet, siapa cewek yang lo ajak makan ini?! Padahal gue, kan, udah nunggu lo dari tadi! Pasti cewek ini yang keganjena, ya?”
Caca menatap Leon bingung, meminta kejelasan dengan cara menaik-turunkan alisnya. Leon hanya diam namun dari mimik mukanya dia seolah berkata “sudahlah, dia nggak penting”
“Kalem, Mbak. Jangan ngegas.” Akhirnya Caca yang bersuara, karena memang Leon dari tadi hanya diam dan terlihat ogah untk meladeni.
“Lo, siapa? Berani-beraninya deketin Leon!”
Caca melirik sekitar. Untung saja suasana kantin sekarang lagi sepi, jadi tidak banyak orang yang melihat dan mendengar keributan yang diciptakan oleh cewek di dekat Leon sekarang. Kalau ramai, bisa-bisa orang akan salah paham dengan dirinya, bisa jadi nanti dia akan dicap sebagai pelakor. Oh, tidak, Caca tidak mau hal itu terjadi.
“Gue? Manusia.”
Leon merapatkan kedua bibirnya, memang Caca ini manusia purba, dan harus dilestarikan. Kenapa dia bisa setenang ini menghadapi Maudy yang menurut Leon sudah seperti singa betina yang kelaparan. Mengaung-ngaung tak jelas.
“Gue nggak bilang lo jin, ya! Maksud gue, lo siapanya leon?”
Caca kembali melirik Leon, sekarang dia harus jawab apa? Dia sendiri bingung.
“Dia pacar gue.”
Kedua cewek itu sama-sama terkejut. Namun Caca segera menormalkan kembali ekspresinya.
“Seharusnya gue yang nanya sama mbak, kenapa deketin pacar gue?”
Baiklah, Caca kini mulai mengikuti permainan. Maudy menggeleng, dia menatap sayu ke arah Leon, berharap omongan cowok itu salah.
“Leon, ta-tapi kita sebentar lagi mau tunangan.”
Caca membelalakkan matanya, tunangan? Ya ampun kenapa sekarang dia merasa bersalah. Tunangan bukan hal yang main-main, tunangan berarti jalan menuju jenjang yang lebih serius.
Caca tidak habis pikir, kenapa Leon nggak mau dijodohin, Caca yakin cewek ini pasti yang akan dijodohin sama Leon. Kalau dia jadi Leon, dia nggak akan menolak untuk dijodohin apa lagi tunangan dengan cewek ini. Caca yang seorang perempuan pun merasa iri akan kecantikan yang cewek itu miliki. Wajah ayu yang terbalut jilbab kalem semakin membuat Caca merasa insecure.
“Gue, udah bilang dari awal, Dy. Gue nggak setuju dengan rencana orang tua kita. Dan itu juga sudah gue kasih tahu sama lo. Jadi sekarang, jangan salahkan gue, kalau gue mau menentang perjodohan ini. Apa lo mau hidup satu rumah sama gue tanpa adanya cinta?”
“Tapi, gue cinta sama lo, Leon!”
Tunggu, apakah sekarang Caca lagi mendengar seorang perempuan menyatakan cintanya?
“Tapi, gue yang nggak. Dan gue nggak mau sakitin hati lo dengan sikap gue yang nggak bisa gue tutupi. Lo tau sendiri, kalau gue sudah nggak suka sama seseorang maka sikap gue pun akan begitu.”
Caca seperti lagi menonton drama secara langsung. Bahkan ia tidak sadar kalau Leon sekarang sudah menariknya meninggalkan Maudy yang mulai terisak.
Caca jadi kepikiran dengan ucapan Leon barusan. Cinta? Lantas bagaimana Leon meng-iya-kan ajakan menikah yang ia tawarkan kemarin? Sedangkan diantara mereka tidak ada cinta secuilpun.