Loading...
Logo TinLit
Read Story - A CHANCE
MENU
About Us  

Memang pada dasarnya tidak ada persahabatan yang benar-benar ada antara laki-laki dan perempuan

***

Caca melirik jam di pergelangan tangannya dengan cemas, telat dua menit lagi dia tidak bisa mengikuti perkuliahan di jam pertama ini. Ponselnya dari tadi berdering, membuat Caca semakin panik. Dia yakin yang menelponnya sekarang adalah  Akbar-teman satu kelas yang sefrekuensi dengan dirinya, sehingga entah bagaimana mereka bisa menjadi sepasang sahabat yang kegilaannya hampir diketahui satu Fakultas.

Jika Akbar sudah menelpon berkali-kali itu menandakan level gawat darurat dan Caca lebih memilih untuk tidak menerima panggilan itu dari pada telinganya harus panas karena omelan dari laki-laki yang memiliki mulut lebih lentur daripada dirinnya.

Sebentar lagi. Iya, sebentar lagi Caca akan tiba di ruang kelasnya, tadi sebelum turun dari mobil dia sudah melihat di ruangan mana sekarang dia melakukan kegiatan perkuliahan.

“Ca!” 

Indra pendengaran Caca menangkap suara orang memanggil namanya. Namun, Caca tidak berniat menggubris, yang paling penting kali ini adalah dia bisa masuk mengikuti perkuliahan dengan sisa waktu diperbolehkan terlambat tinggal hitungan detik.

Meskipun terbilang mahasiswa yang tingkat penyerapan ilmunya di bawah rata-rata, pantang untuk dirinya tidak mengikuti perkuliahan. Seperti kata pepatah, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. 

Dengan langkah cepat Caca memasuki ruangan yang kini sudah penuh diisi oleh mahasiswa yang lain.

“Permisi, Pak. Maaf saya terlambat.” Tanpa menunggu instruksi dari dosen yang kini sudah berada di depan, Caca langsung menuju kursi kosong yang ada di pojokan.

Bukankah semua dosennya sudah hapal dengan tabiatnya yang sering terlambat? Jadi mereka tak akan banyak bertanya lagi, selama Caca masih bisa datang dan masuk kelas sebelum waktu toleransi keterlambatan habis. 

Caca menghempaskan tubuhnya dengan semangat, buliran keringat yang berjatuhan dari pelipisnya tidak ia hiraukan. Caca segera membuka ranselnya, mengambil binder dan polpen untuk alat tempurnya kali ini. Tidak lupa, Caca segera mengikat rambut panjangnya, karena Caca berpikir menggerai rambut membuat otaknya semakin sulit untuk mencerna ilmu yang ia dapatkan. 

 Sekarang dia sudah siap untuk mengikuti mata kuliah Pak Mamat, dosen matematikanya. Terdengar lucu bukan? Memangnya ada di jurusan sastra mata kuliah matematika? Jawabannya tentu ada, walaupun matematika yang dimaksud di sini adalah mata kuliah statistika dan Caca lebih suka memanggil dosennya itu dengan julukan dosen matematika, karena memang isi dalam pelajaran statistika itu tidak jauh dari hitung-hitungan. Serta yang lebih membuat hal tersebut mendukung, Pak Mamat termasuk tujuh keajaiban dunia versi Caca karena telah masuk sebagai dosen ter-kiler dalam sejarah hidupnya.

Senyum Caca memudar ketika dia mendongak dan menatap lurus ke arah sang dosen, karena bukan wajah garang Pak Mamat yang ia lihat sekarang. Namun, wajah asing yang sekarang tengah menatap bingung ke arahnya.

Caca tersadar bahwa ada yang tidak beres, dia segera memalingkan muka melihat seisi kelas yang sekarang tengah memandangnya juga. Tunggu sebentar, kemana teman-temannya? Kenapa orang yang duduk bersamanya sekarang terlihat asing semua? 

Leon? Mata Caca tidak salah melihat, ‘kan? Cowok itu kenapa berada di dalam kelasnya? Dan sekarang tengah menatapnya heran. Atau mungkin? Caca segera menunduk dengan sebelah tangan yang kini menutup sebagian wajahnya, jangan bilang dia sekarang tengah salah masuk kelas. 

“Permisi, Pak!” Suara dari ambang pintu tersebut mengalihkan fokus semua mata yang ada di dalam kelas itu.

“Maaf, Pak. Saya mau menjemput teman saya, sepertinya dia salah masuk kelas.”

 Sontak Caca mendongak, dan feeling-nya ternyata benar, orang yang tengah meminta izin itu adalah Akbar. Dia segera bangkit lalu ngacir tanpa melihat kesekelilingnya lagi.

Akbar yang melihat tingkah sahabatnya itu, tersenyum canggung ke arah dosen yang masih menatap mereka bingung.

“Sekali lagi, atas nama teman saya, saya minta maaf, Pak. Karena sudah mengganggu proses pembelajaran.” Dengan hormat Akbar pamit lalu segera mengejar Caca yang kabur entah kemana.

*** 

Akbar tak bisa menghentikan tawanya, apalagi ketika melihat wajah Caca masih merah padam karena malu. Akbar tidak menyangka akan mendapatkan hiburan sepagi ini.

“Kurang ajar, lo, ya! Udah bikin gue salah masuk kelas! Dan sekarang, malah ketawa bahagia di atas penderitaan gue!” 

Akbar terpaksa menghentikan tawanya, meski kenyataannya dia masih ingin mentertawakan kecerobohan Caca.

“Jangan salahin, gue, dong! Yang nggak angkat-angkat telpon gue dari tadi itu siapa, monyong!” 

Tebakan Caca tadi itu memang benar, yang menelponnya sampai puluhan kali itu adalah Akbar, tapi siapa sangka manusia itu menelponnya untuk memberi tahu bahwa hari ini kelas Pak Mamat diliburkan, karena ada suatu hal yang tidak bisa ditunda.

“Namanya orang lagi buru-buru! Mana sempat angkat telpon!” 

Akbar kembali menyambung tawanya, bayangan heran dari seisi kelas ketika melihat Caca masuk tiba-tiba, masih terngiang-ngiang di kepalanya, apa lagi ketika melihat wajah Caca yang langsung merah padam saat gadis itu tahu kalau dia salah masuk kelas.

Bagi Akbar pemandangan tadi adalah hiburan yang paling menyenangkan selama hidupnya. Katakan saja Akbar jahat karena telah bahagia di atas kesengsaraan Caca.

“Gue pites lo lama-lama!” 

Bukannya menenangkan, Akbar malah semakin menikmati kesialan yang dirasakan Caca. Ini, nih, definisi sahabat durhaka yang sesungguhnya.

“Baiklah, gue minta maaf, lagian lo main nerobos masuk aja.” 

“Sebelum lo traktir gue bakso, mi ayam, seblak, cilok merecon sama jus avokad. Gue nggak akan maafin lo!” 

Mulut Akbar mangap-mangap tak jelas sebelum dia kembali berbicara.

“Kaya doang! Tapi sukanya yang gratisan!” 

“Bodo! Intinya lo harus beliin gue semuanya!” 

“Ini, nih! Definisi dikasih hati tapi malah minta jantung, pankreas, usus, ginjal, empedu! Masih untung tadi gue ngeluarin lo dari suasana memalukan itu!” 

Caca tak menggubris ocehan Akbar yang dirasanya menghibur itu. Meskipun mulutnya tidak berhenti menggerutu, namun Caca tahu Akbar akan menuruti semua apa yang dia minta. Jika dipikir-pikir Tuhan masih adil sama hidupnya, meskipun sering mendengar cacian dari sang Papa, tapi Caca masih punya banyak orang yang bisa menghargainya termasuk menghargai jerih payahnya. 

Akbar menggeleng melihat sahabatnya ini makan dengan lahap. Benar dugaan Caca, meski sering mengoceh Akbar akan menuruti apa yang dimintanya, dan sekarang mereka berakhir duduk di taman depan gedung mereka dengan berbagai macam makanan yang Caca inginkan tadi. Bukan itu saja, masih ada ketoprak, martabak, batagor, bahkan gorengan dengan berbagai variasi.

Sampai saat ini Akbar belum bisa menyimpulkan, terbuat dari apa lambung dan usus seorang Caca sampai makanan sebanyak itu mampu dia tampung, bahkan dengan tanpa dosa meminta Akbar untuk mentraktirnya lagi.

“Lo kayaknya nggak pernah makan hampir satu tahun, ya?” 

Caca tidak menggubris, dia masih sibuk dengan seblak yang kini sudah hampir tandas semua.

“Woe, Maimunah! Bagi, dong!” protes akbar ketika Caca malah mengacuhkannya. Kenapa Akbar yang jadinya kelaparan sekarang, padahal semua makanan yang ada di depan mereka ini, dia yang beli.

“Ganggu aja lo, Tong!” Tapi bagaimanapun Caca tetap membagi makanan itu ke Akbar. 

“Gue heran, deh! Tuh perut terbuat dari apaan, sih?! Perasaan dari tadi lo nggak kenyang-kenyang!” 

Caca segera meminum jus avokadnya, membiarkan rasa dingin menyejukkan tenggorokannya.

“Emang nggak sia-sia, gue temenan sama lo, Bar. Rezeki gue makin melimpah.”

Bukannya menjawab pertanyaan Akbar, Caca malah semakin membuat Akbar mengomel tidak jelas dengan ucapannya.

“Lo yang melimpah. Lah, gue? Tekor, Bambang!” sungut Akbar yang membuat tawa Caca membahana.

“Fungsi lo apa kalau nggak traktir gue, ah?” Tawa Caca semakin kencang ketika melihat air muka Akbar berubah masam. Rasain, kali ini Caca yang puas menertawakan laki-laki itu. Lagian, siapa suruh tadi Akbar menertawakannya sejahat itu.

“Gue mau bicara sama lo.” 

Tawa Caca terhenti ketika mendengar suara yang tidak asing di telinganya. 

“Siapa, Lo?”  

Caca segera menoleh ke belakang, ketika melihat tampang Akbar yang tidak bersahabat.

“Leon?” Caca menatap tak percaya, dia tiba-tiba teringat kejadian memalukan tadi ketika dia salah masuk kelas, terlebih lagi laki-laki yang tengah berdiri di belakangnya sekarang tadi malam menelponnya dan mengiyakan keinginan Caca yang mau menikah dengannya.

“Lo, kenal, Ca?” Tatapan Akbar seperti memergoki anak gadisnya berduaan dengan cowok. Caca hanya mengangguk dia juga tidak tahu harus menganggap apakah dia mengenal Leon atau tidak, tapi seenggaknya dia tahu nama dan rupa orangnya. Jadi, Caca asumsikan kalau dia mengenal Leon.

“Ikut gue!” Leon segera menarik Caca untuk bangkit. 

“Ta-ta-pi….” terlambat, Leon sudah terlebih dahulu menyeretnya menjauh dari Akbar dan juga tumpukan makanan yang belum sempat masuk ke dalam perutnya.

"Yah, makanan gue!"

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Cinta Semi
2457      1011     2     
Romance
Ketika sahabat baik Deon menyarankannya berpacaran, Deon menolak mentah-mentah. Ada hal yang lebih penting daripada pacaran. Karena itulah dia belajar terus-menerus tanpa kenal lelah mengejar impiannya untuk menjadi seorang dokter. Sebuah ambisi yang tidak banyak orang tahu. Namun takdir berkata lain. Seorang gadis yang selalu tidur di perpustakaan menarik perhatiannya. Gadis misterius serta peny...
Si 'Pemain' Basket
4981      1318     1     
Romance
Sejak pertama bertemu, Marvin sudah menyukai Dira yang ternyata adalah adik kelasnya. Perempuan mungil itu kemudian terus didekati oleh Marvin yang dia kenal sebagai 'playboy' di sekolahnya. Karena alasan itu, Dira mencoba untuk menjauhi Marvin. Namun sayang, kedua adik kembarnya malah membuat perempuan itu semakin dekat dengan Marvin. Apakah Marvin dapat memiliki Dira walau perempuan itu tau ...
Old day
577      424     3     
Short Story
Ini adalah hari ketika Keenan merindukan seorang Rindu. Dan Rindu tak mampu membalasnya. Rindu hanya terdiam, sementara Keenan tak henti memanggil nama Rindu. Rindu membungkam, sementara Keenan terus memaksa Rindu menjawabnya. Ini bukan kemarin, ini hari baru. Dan ini bukan,Dulu.
RISA (Adik Abang Tersayang)
969      558     5     
Short Story
Abang hidup dalam bayang Risa.
Mendadak Pacar
9297      1877     1     
Romance
Rio adalah seorang pelajar yang jatuh cinta pada teman sekelasnya, Rena. Suatu hari, suatu peristiwa mengubah jalannya hari-hari Rio di tahun terakhirnya sebagai siswa SMA
Mentari dan Purnama
512      340     1     
Short Story
Mentari adalah gadis yang dikenal ceria di kalangan teman-temannya. Tanpa semua orang ketahui, ia menyimpan rahasia yang teramat besar. Mentari berteman dengan seorang hantu Belanda yang berkeliaran di sekolah! Rahasia Mentari terancam ketika seorang murid baru blasteran Belanda bernama Purnama datang ke sekolah. Apakah kedatangan Purnama ada hubungannya dengen rahasia Mentari?
Secangkir Kopi dan Seteguk Kepahitan
584      329     4     
Romance
Tugas, satu kata yang membuatku dekat dengan kopi. Mau tak mau aku harus bergadang semalaman demi menyelesaikan tugas yang bejibun itu. Demi hasil yang maksimal tak tanggung-tanggung Pak Suharjo memberikan ratusan soal dengan puluhan point yang membuatku keriting. Tapi tugas ini tak selamanya buatku bosan, karenanya aku bisa bertemu si dia di perpustakaan. Namanya Raihan, yang membuatku selalu...
Mistress
2579      1301     1     
Romance
Pernahkah kau terpikir untuk menjadi seorang istri diusiamu yang baru menginjak 18 tahun? Terkadang memang sulit untuk dicerna, dua orang remaja yang sama-sama masih berseragam abu-abu harus terikat dalam hubungan tak semestinya, karena perjodohan yang tak masuk akal. Inilah kisah perjalanan Keyra Egy Pillanatra dan Mohamed Atlas AlFateh yang terpaksa harus hidup satu rumah sebagai sepasang su...
Life
319      223     1     
Short Story
Kutemukan arti kehidupan melalui kalam-kalam cinta-Mu
Ikhlas Berbuah Cinta
1075      765     0     
Inspirational
Nadhira As-Syifah, dengan segala kekurangan membuatnya diberlakukan berbeda di keluarganya sendiri, ayah dan ibunya yang tidak pernah ada di pihaknya, sering 'dipaksa' mengalah demi adiknya Mawar Rainy dalam hal apa saja, hal itu membuat Mawar seolah punya jalan pintas untuk merebut semuanya dari Nadhira. Nadhira sudah senantiasa bersabar, positif thinking dan selalu yakin akan ada hikmah dibal...