HAPPY READING!
Bulan menimang sejenak lalu menelpon Langit. Ingin mengabarkan bahwa dia kabur dari rumah untuk pwegi ke Bandung. Sebenarnya Bulan yakin bahwa neneknya tau kalau dirinya ke Bandung.
Bisa dibuktikan dengan El yang sedang berada di sampingnya menunggu para pelayan membukakan pintu rumah kediaman orang tua Bulan dulu.
"El, nenek tau kalau gue ke Bandung?" tanya Bulan hati-hati sementara El mengangguk dengan pasti.
"Di kasih ijin?" El mengangguk lalu lalu berbicara lewat matanya meminta para pelayan untuk mengambil koper milik Bulan.
"Tidak juga. Nyonya besar ingin melihat apa yang akan nona lakukan di Bandung. Kalau sekiranya anda kelewatan batas. Kami akan langsung membawa nona pulang," ucap El dengan penjelasan yang detail dan jujur.
Bulan sudah menduganya, Neneknya tidak pernah berubah. Dia selalu curigaan walaupun memang sih Bulan ingin melarikan diri dan mencari Langit.
"Gue mau nyari Langit. Bilang sama Nenek, apakah itu yang dimaksud dengan kelewatan batas?" Bulan berkacak pinggang menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut laki-laki yang sudah tidak muda lagi.
"Benar. Itu, salah satunya. Kalau Nona ingin bertemu dengan Langit. Nyonya besar meminta Bintang ikut bersama Nona." El berbicara sambil meminta Bulan untuk masuk ke dalam rumahnya.
"Kenapa harus sama Bintang?" tanya Bulan dengan cerewet sementara El menjawabnya dengan singkat.
"Karena Bintang orang yang dipercaya oleh Nyonya besar." Bulan menghela napas panjang berjalan dengan cepat untuk masuk je dalam kamarnya dan tidak lupa membanting pintu untuk menyalurkan kekesalannya.
Bulan merebahkan tubuhnya di kasur kesayangannya. Rasanya masih hangat seperti dulu membuat Bulan memeluk guling yang berada di sana dengan pelukan erat.
Telepon Bulan berdering tertera di sana nama Langit sebagai penelpon. Pasti cowok itu sudah membaca pesan yang dikirimkan Bulan.
Pesan yang berkata akan mencari Langit di setiap sudut Bandung. Mengancam Langit untuk pergi ke alamat rumahnya.
"Lo bolos sekolah?" pertanyaan pertama yang dilontarkan Langit ketika telepon itu diangkat.
"Enggak. Ini udah selesai ujian semester Langit. Memang libur tapi, gue kabur sih dari nenek gue buat ke Bandung," jawab Bulan sambil cengengesan sementara Langit mengusap wajahnya kasar.
"Pulang aja Bulan. Gue enggak mau nanti ada masalah lagi." Langit berbicara tegas di telepon walaupun tanggapan Bulan berbanding terbalik dengan ketegasan Langit.
"Lang, lo lupa? Nenek gue protektif banget sama gue. Jadi, gue yakin enggak bakal ada kejadian apapun selama lo bareng sama gue." Bulan berdiri dan melihat ke jendela kamarnya mengamati kondisi di luar.
"Ini bukan masalah bokap gue atau gimana Lan. Kalau nenek lo tau lo kabur ke sini dan lo ketemu sama gue. Gue yang dalam masalah." Ya, Bulan waktu kenaikan kelas sudah mengatakan yang sejujurnya. Dia tidak ingin merahasiakan ataupun menyembunyikan sesuatu yang dia tau.
Walaupun, waktu itu Langit marah dan tidak membalas pesan Bulan selama sepekan akhirnya cowok itu tidak membahas lebih lanjut.
"Enggak masalah. Nenek gue tau kok kalau gue ke Bandung. Lo sekarang dimana? Gue samperin aja deh." Bulan bergegas keluar kamar terdengar dari seberang sana helaan napas yang panjang.
"Di Jalan Kemangi nomor dua puluh satu. Gue tunggu," ucap Langit pasrah. Dia sudah terbiasa dengan tingkah laku temannya itu.
"Loh, enggak ngelarang lagi?" tanya Bulan terkejut, biasanya Langit akan mengomel selama setengah menit setelah akhirnya dia mengijinkan untuk Bulan datang ke tempatnya.
"Percuma juga gue ngelarang lo. kalau ujung-ujungnya lo tetep muncul di depan gue lima menit kemudian." Bulan cengegesan, Langit memang paling tau tentang dirinya.
Bulan langsung meminta supir menuju ke jalan dimana Langit berada. El tau tetapi tidak melarang juga. Dia tau bahwa cucu dari Nyonya besar sangat sulit diatur.
Alhasil, El hanya melaporkan tentang Bulan yang pergi ke tempat bermain. Berharap bahwa dia tidak menghianati keluarga Lian yang berjasa sekali di hidupnya.
Langit lelah dia habis mengangkat pot bunga yang diminta bosnya untuk diletakkan di pinggir air mancur kecil dekat sana.
Tulang Langit hampir copot ketika melihat masih ada sembilan pot tamanan yang harus dia angkat lagi. Baru hendak mengangkat pot yang kedua Bulan datang dan langsung mengangkat pot sisa yang lainnya. Tanpa banyak bicara mereka menyelesaikan sembilan pot itu.
"Halo setan malam." Langit menyapanya setelah cowok itu mengelap keringatnya karena sudah bekerja daritadi.
Bulan mencembikkan bibirnya sementara Langit masuk ke dalam tempat dia bekerja. Berpamitan untuk makan siang terlebih dahulu.
"Lo enggak kangen gue?" Bulan bertanya sementara Langit menatap cewek itu dengan tatapan mengejek.
"Gue aja enggak kenal sama lo. Siapa ya?" Bulan menendang kaki Langit hingga cowok itu hampir terjatuh. Langit meringis kekuatan cewek itu tidak ada bandingannya.
"Kangen deh kangen," ucap Langit tulus.
"Ayo, ke taman situ. Kita lihat langit yang hampir mendung." Hari ini matahari tidak menampakan sinarnya, mungkin nanti sore akan ada hujan turun.
Langit mengikuti Bulan untuk duduk di rerumputan dan mereka akhirnya berbaring. Mereka berdiam diri selama beberapa menit sebelum Bulan mengajaknya bicara.
"Gimana di Bandung? Udah sekolah?" tanya Bulan sambil menaikan tangannya ke atas menggerakan tangannya seolah menjepit awan.
Langit menggeleng. "Gue belum sekolah. Mama gue aja belum sembuh sepenuhnya. Mungkin gue bakal kejar paket aja. Terus langsung deh kuliah." Langit melihat ke arah Bulan menatap cewek yang memiliki mata cerah masih asik mencubit awan.
Bulan melihat ke arah Langit lalu berbicara. "Keren." Bulan tersenyum. "Lo tau enggak Lang, kalau langit sama bulan itu ada di tempat yang sama?"
Langit menatap Bulan mempertahankan manik mata itu berada di bayangan bola matanya. "Tau, tapi ada bintang yang ada di sana juga." Bulan mencembikan bibirnya lalu bangun dari rerumputan yang mulai membuat kulitnya gatal.
"Gue mau gombal Lang, lo malah bahas bintang." Bulan cemberut lalu menarik rumput hijau di sana menggulungnya hingga hancur.
Langit tertawa. "Jangan marah dong. Gue kan realistis. Kalau di langit memang ada bulan sama bintang." Bulan mencibir membuat raut mukanya seakan mengatakan 'ya ya ya terserah.'
"Gue masih ngambek. Ngerusakin mood gue aja lo Lang." Bulan melipat kedua tangannya di depan dada sembari memeluk lututnya.
"Maaf deh. Lo enggak ngambek kalau gue ngapain?" tanya Langit membuat Bulan antusias.
"Tahun depan gue lulus sekolah. Lo harus dateng ke pelepasan siswa sambil bawa bunga mawar warna putih. Kalau lo dateng gue bakal maafin lo." Langit mengulum bibirnya tersenyum lalu menjitak kepala Bulan dengan ganas.
"Modus lo minta dibawain bunga. Nanti deh gue lihat bisa enggak gue ke sana." Bulan tersenyum sembari mengeluarkan deretan gigi putihnya.
"Memang modus tapi, lo nurut juga, kan."