HAPPY READING!
Setelah perjanjian yang diminta oleh Bulan untuk membawakan bunga mawar putih. Mereka tidak bertemu lagi, Bulan yang mulai persiapan ujian dan dipastikan sangat sibuk. Sementara Langit yang terus mencari pekerjaan hingga terkadang tidak bisa tidur karena mengerjakan pekerjaan sambilannya sambil terus memantau ibunya yang sudah perlahan sehat.
"Woi Lang. Sini, gue ada hadiah buat lo." Pak Andreas, bosnya yang bekerja sebagai pemilik ekspedisi yang Langit sekarang bekerja memanggilnya. Langit yang sedang menginput data dari nomor resi paket ke komputer mendongak.
Langit menyimpan data yang baru saja dia ketik lalu beranjak dari mejanya. Langit diminta untuk mengeluarkan telapak tangannya lalu diletakan sebuah kunci yang membuat Langit terdiam beberapa saat.
"Ini gimana Pak maksudnya?" Langit masih memegang kunci itu dalam posisi yang sama terlalu terkejut memegang kunci yang bahkan hanya bisa dia pegang di mimpinya.
"Buat kamu. Hadiah sebagai pegawai teladan dan rajin." Andreas menepuk pundak Langit lalu berjalan pergi.
"Pak, tapi saya cuma input data aja kan, itu kerjaan saya." Langit menyusul ke arah Andreas pergi. Pria paruh baya yang kemungkinan umurnya dua kali lipat umur Langit itu menengok ke arah Langit yang menghampirinya.
"Saya tau loh, kamu sering bantu anak-anak sini masukin paket ke mobil ekspedisi dan bantuin anak-anak ngeprint dokumen pengiriman juga." Langit tergagap agak terkejut bahwa Andreas tau tingkah lakunya selama ini. Dia hanya tidak ingin ada keributan dan ingin semua tugas cepet selesai.
"Udah ya, hadiahnya dipake. Buat kamu beneran itu, enggak mimpi." Andreas terkekeh diakhir kalimatnya lalu pergi darisana. Langit menatap kunci dan Andreas bergantian hingga pria paruh baya itu menghilang dari pandangannya.
Ini definisi mimpi jadi kenyataan. Langit mencari motornya melirik ke sana kemari. Setelah akhirnya dia menemukan motor baru yang masih mengkilap bercat merah tua.
Langit memegang motor itu perlahan. Perasaannya membuncah motor yang mahal dimatanya kini bisa dia miliki.
"Selamat ulang tahun kami ucapkan. Selamat panjang umur kita 'kan doakan. Bentar, lanjutannya apa ya gue lupa," Elang menepuk jidatnya padahal kue sudah ada di tangan dengan lilin yang menyala menunjukan angka tujuh belas.
Langit tertawa ketika melihat Elang kebingungan dan teman-teman satu kerjaan mereka mengomel. Menyalahkan Elang atas kegagalan kejutan ulang tahun untuk Langit.
"Terima kasih kakak-kakak sekalian. Kok tau saya hari ini ulang tahun?" Langit mengulum senyumnya. Merasa senang karena ada yang tau ulang tahunnya dan merayakannya.
"Lo kan ngajuin lembar data diri Lang waktu masuk sini. Kita satu tim juga mau bilang makasih atas kerja sama lo. Lo mau bantuin kita yang kesusahan. Padahal umur gue jauh diatas lo. Malah lo yang kelihatan dewasa kita kayak masih anak kecil." Langit tertawa, padahal mereka yang terlihat dewasa Langit hanya ingin menyeimbanginya saja.
"Ayo, dimakan rotinya. Enak ini gue nyoba tester kemarin satu loyang. Eh, dipelotin mbaknya." Elang berujar memprotes.
"Padahal yang namanya tester kan bisa dicoba sepuasnya dan gratis. Eh, bukannya bilang makasih gitu gue bantu habisin. Malah dimarahin." Elang curhat tidak berdosa. Membuat semua orang di sana menepuk jidatnya. Lelah dengan tingkah laku temannya.
"Terserah Elang. Terserah."
***
[ Langit. Awas kalau lo enggak dateng. Jangan lupa janjinya. Acara mulainya jam enam. Bawa barangnya ]
Langit tersenyum membaca pesan dari perempuan yang kini sudah lulus sekolah menengah atas. Kehidupannya kini lumayan baik, dengan adanya motor Langit bisa menabung untuk dia mengejar pendidikannya. Ibunya juga sudah sembuh jadi, akhirnya mereka memutuskan untuk dalam waktu dekat pulang ke Jakarta.
Langit memasukan baju yang sekiranya membuat dia terlihat tampan dan tidak lupa bebragai macam pernak-pernik seperti sisir dan parfum. Tidak lupa sebuah kotak kecil yang akan dia berikan ke Bulan sebagai hadiah. Untuk Bunga mawar putih dia sudah memesannya khusus di toko bunga di Jakarta.
"Ma, Langit berangkat dulu ya." Langit menyalimi tangan Mamanya lalu pergi darisana. Mamanya sudah mulai membuat sebuah kerajinan tangan yang sekiranya akan laku untuk dijual.
Mamanya mengangguk lalu tersenyum mengantarkan Langit hingga keluar dari halaman. Langit menaiki motornya melaju dengan kencang agar sampai Jakarta tidak terlambat.
Setelah melakukan perjalanan tiga jam. Tubuh Langit pegal. Dia langsung pulang ke rumah lamanya yang semakin berdebu. Tidak sempat untuk membersihkan Langit hanya mengelap kursi yang dia butuhkan untuk duduk dan kaca milik Mamanya dulu.
Mandi, mengenakan pakaian, merapihkan rambut dan menyemprotkan banyak parfum. Memasukan semua barang-barangnya seperti ponsel dan hadiah untuk Bulan.
Langit berjalan kaki menuju ke toko bunga mengambil bunga yang sudah dia pesan untungnya dekat. Setelah semua siap, Langit langsung bergegas menaiki motornya kembali.
Melaju ke sekolah dulu menggunakan bantuan maps di ponselnya. Dia sudah lama tidak ke sana. Takut kalau ternyata kesasar jadi Langit berinisiatif menggunakan bantuan maps saja.
Sekitar jam lima Langit berangkat. Sialnya, jalanan macet membuat Langit memilih untuk memasuki jalanan sempit yang diarahkan lleh google maps. Sekitar setengah enam Langit akhirnya menemukan jalanan lenggang.
Dia langsung menaikan kecepatannya agar bisa sampai di sana tepat waktu. Tiba-tiba sebuah sinar yang menyorot terang datang dari samping. Membuat Langit menatap ke arah kanan dengan memincingkan matanya. Dia tidak bisa melihat apapun. Nyala lampu yang terang mulai menyakiti matanya.
Tiba-tiba saja tubuhnya terpental. Motor Langit sudah terpenjal jauh dan Langit tersungkur di sana. Badannya terguling dan sepertinya tangannya patah. Langit mengerang bahkan dia merasakan helm yang dipakainya terbelah menjadi dua. Bunga mawar putih yang tadi dia bawa jatuh tepat di samping Langit. Kepala dan tangan Langit yang berdarah membuat Bunga mawar itu terkena cairan merah kental.
Membuat warna putih yang bersih itu menjadi warna merah. Perlahan matanya tertutup secara perlahan. Langit yang meminta tolong dengan nada lirih dan kecil. Bahkan tidak ada yang bisa mendengar.
Perlahan dia mendengar suara, suara yang selama ini dia hindari. Langit tidak bisa menghindar sekarang bahkan tangannya kini diinjak berharap Langit benar-benar harus mati.
"Gue udah daftarin lo asuransi. Semoga lo cepet mati ya, gara-gara lo gue kelilit utang tau enggak?" Setelah mengucapkan itu, pria paruh baya meneguk botol mirasnya tertawa senang sambil menginjak kedua tangan Langit bergantian.
Di sisi lain Bulan menggerutu. Apakah Langit sengaja tidak datang lagi. Apa memang Langit tidak mau berteman dengannya lagi?
Padahal Bulan sudah membuat kesepakatan dengan neneknya. Agar membiarkan Langit menemaninya wisuda. Tapi, sampai setengah acara berlangsung laki-laki itu belum menampakkan batang hidungnya. Bulan mendengus di kursinya. Langit lagi-lagi membuatnya kecewa. Sangat kecewa.
Karena, satu-satunya kesempatan dia mendapatkan izin agar dia bisa bertemu Langit adalah saat ini.