HAPPY READING!
Langit mulai memainkan gitarnya saat satu kelompok mereka menganggukan kepalanya pertanda siap untuk memulai. Suasana cafe yang ramai dan suara Langit yang menenangkan membuat Bulan menikmati roti dan minuman yang dipesannya.
Ponsel Langit berdering meminta untuk diperhatikan hingga ponsel itu kelelahan dan mematikan dirinya sendiri. Hingga Langit selesai manggung ponsel itu tetap tidak diperhatikan.
"Heh Lan. Ngapain masih di sini. Gue udah selesai ini." Langit menepuk pundak Bulan yang masih asik dengan ponselnya. Cewek itu berbalik dan menatap Langit tersenyum senang.
"Gue sih nungguin lo. Ayo, pulang bareng." Langit mengangguk sudah tidak marah-marah atau menolak lagi. Dia sudah biasa dengan Bulan yang mengikutinya ke mana saja.
Baru berjalan beberapa langkah ponsel Langit berdering lagi. Langit berhenti dan menatap nama yang tertera di sana. Jantungnya hampir berhenti dengan cepat cowok itu mengangkat panggilan itu. Tanpa basa-basi dan berbicara lagi Langit meninggalkan Bulan sendirian. Fokus utamanya ke parkiran dan langsung pergi ke rumah sakit.
"Heh, Lang." Bulan terkejut melihat Langit yang seperti kesetanan. Bulan akhirnya mengejar Langit keluar dari cafe itu tapi, Langit udah jauh banget ngayuh sepedanya.
Bulan manggil taksi dan cewek dengan rambut sebahu itu mengikuti Langit dari belakang. Langit masuk ke dalam rumah sakit. Bahkan cowok itu memarkirkan sepedanya tidak beraturan. Dia langsung berlari masuk ke dalam dan Bulan mengikutinya dengan berlari.
"Kami sudah memberikan obat penenang. Langit, kenapa Mama kamu meninggalkannya tanpa pengawasan?" perawat laki-laki itu memegang kepalanya pusing. Dia ingin menagih biaya kerusakan yang ditimbulkan tetapi, tidak yakin ini adalah kondisi yang tepat.
"Tadi Mama enggak kenapa-kenapa Mas. Saya juga tadi berencana langsung pulang malah sudah mendapat telepon telebih dahulu." Kaki Langit lemas Dia menangis tersedu-sedu tidak ingin lagi meninggalkan Mamanya seorang diri.
"Lain kali. Jangan tinggalkan Mama kamu sendiri tanpa pengawasan, ya? Oh iya, tadi ada saudara kamu datang mengunjungi Mama kamu. Coba tanya dia siapa tau wanita itu tau apa penyebab Mama kamu seperti itu lagi." Langit merasa tidak punya saudara. Dia tidak paham dengan ucapan perawat itu, ingin bertanya lagi tapi perawat itu sudah pergi menjauh.
"Gue bakal jagain Mama lo." Langit mendongakkan kepalanya menatap Bulan yang berada di depannya dengan berkacak pinggang.
"Lo kenapa di sini?" Langit berdiri tidak suka melihat Bulan yang mengetahui semuanya.
"Lo ninggalin gue tadi terus sekarang lo bilang gue ngapain disini? Ah, udah intinya gue bakal jagain Mama lo." Bulan masuk ke dalam ruangan itu sementara Langit mengikutinya.
Langit menarik lengan Bulan tidak suka. Dia mencegah Bulan untuk masuk ke dalam ruangan dimana Mamanya berada.
"Enggak usah. Gue bisa sendiri kok." Langit menarik Bulan untuk keluar dari ruangan lalu menutup pintunya perlahan.
"Hari ini aja lo lalai buat jagain Mama lo. Sekarang gue nawarin bantuan cuma-cuma Lang. Lo enggak mau? Gengsi ? Sekarang lo pilih lo mau pertahanin gengsi lo atau kejadian kayak gini enggak bakal terjadi?" Bulan marah, marah karena dia sudah dekat dengan Langit tetapi cowok itu sama sekali tidak menganggapnya.
Berbagi cerita saja tidak pernah. Bulan kira sebuah pertemanan itu dilandasi dengan saling percaya dan menguatkan. Tetapi, Bulan sendiri lupa bahwa dia juga tidak pernah menceritakan tentang kedua orangnya atau kondisinya sekarang.
"Fine. Makasih Lan, gue minta tolong sama lo buat jagain Mama gue." Langit akhirnya mengalah sementara Bulan tersenyum lalu meletakan tangannya di leher Langit seolah merangkulnya. Ingin bertindak seperti itu tapi tinggi Bulan yang tidak memenuhi membuat seolah Bulan malah bergelantung di baju Langit.
"Nunduk." Bulan menggertak dan Langit menekuk kakinya dan Bulan melakukan hal itu lagi.
***
Sekarang kalau dilihat Langit dan Bulan terlihat tidak saling berdekatan karena setiap pulang sekolah Bulan langsung menuju ke rumah sakit dan Langit menambah jumlah kerja sampingannya. Langit masih tetap mengirimi Bulan suara nyanyiannya dan Bulan juga tetap membayar sesuai perjanjiannya.
"Bulan, bisa minta tolong ambilkan air?" Bulan yang sedang mengerjakan tugasnya langsung beranjak dan menuangkan air ke dalam gelas. Mengambil sedotan dan memberikannya.
"Langit sedang apa ya Bulan? Dia kalau berkunjung ke sini sekarang tambah malam. Bahkan saya sudah tidur Langit baru datang melihat saya." Bulan tidak bisa memberikan alasan apapun. Dia ingin menjawab jujur kalau Langit sedang bekerja tapi, lelaki itu sudah berkata padanya untuk tidak membahas tentang pekerjaan yang dilakukan Langit.
"Itu Tante. Langit ada kerja kelompok sama ada tugas yang belum dia kerjain." Bulan memberikan alasan yang tidak logis membuat Rosa, Mama Langit menatapnya heran.
"Kamu juga satu kelas kan sama Langit? Kamu juga harusnya sibuk dong?" Bulan meringis. Dia seolah menggali lubang kebohongannya sendiri.
"Itu Tan, Langit itu pinter gitar jadi dia diminta sama guru musik kita buat bikin lagu sendiri gitu Tan. Buat lomba. Iya." Bulan menganggukan kepalanya menyakinkan omongannya sendiri.
"Oh iya? Langit pinter ya ternyata di sekolah." Bulan mengangguk antusias merasa kebohongannya berhasil.
"Iya Tan. Tenar juga loh Tan. Cewek-cewek banyak yang suka." Bulan mengacungkan jempolnya dan tampak antusias membuat Rosa menahan senyumnya.
"Kalau Bulan gimana?" Bulan melihat ke arah Rosa dengan tatapan bingung.
"Suka apanya Tan?"
"Langit. Suka?" Bulan langsung menggeleng dengan panik kenapa setiap dia berbicara semakin disudutkan begini.
"Loh anak tante kurang ganteng ya?" Ya kan serba salah. Bulan juga menjawab dengan gelengan kepala kecil.
"Langit ganteng kok Tan. Tapi Bulan cuma temenan aja gitu," ujar Bulan tampak salah tingkah. Bahkan AC yang sedari tadi hidup masih kurang dingin pipinya masih terasa panas.
Bulan langsung menghentikan pembicaraan itu dengan ijin untuk keluar. Bulan memegang pipinya merasa malu ponselnya berdering menunjukan nama neneknya di sana.
"Halo?" Bulan mengangkat dan langsung ndi serang dengan suara neneknya yang terdengar khawatir.
"Nenek bakal kirim seseorang buat jaga di sana. Kamu pulang aja sekarang," ucap telepon dari seberang sana terdengar tegas.
"Nek, Bulan cuma pulang lebih malem dikit. Bulan cuma pengen punya temen. Bulan juga pengen jaga seseorang yang Bulan sayang. Gitu aja Nek. Bulan enggak bakal kenapa-kenapa Nek." Bulan kesal, Neneknya tidak pernah membiarkan dia punya teman ataupun kenalan.
"Bulan. Kamu itu cucu nenek satu-satunya. Cuma kamu yang bakal mewarisi perusahaan papa mama kamu. Kalau kamu sampai kenapa-kenapa nan–" Bulan kesal setiap kali Bulan memberontak neneknya selalu membawa nama almarhum ayah ibunya dan perusahaannya itu.
"Bulan janji enggak bakal kenapa-kenapa. Jadi, ijinin aja Nek kali ini Bulan punya temen." Neneknya menghela napas mendengar itu Bulan langsung tersenyum. Dia tau neneknya akan mengalah.
"Oke. Pegang janjimu ya? Nenek mau istirahat dulu." Telepon dimatikan secara sepihak dan Bulan berjongkok di depan kamar berpintu hijau itu.
Suara sepatu melangkah terdengar dan memenuhi ruang hampa ini. Cowok itu ikut berjongkok di depan Bulan. "Lo ngapain di sini?"