HAPPY READING!
Sudah sekitar seminggu Langit duduk di ruangan yang lumayan besar dengan warna cat hijau muda dan diberi lantai berwarna putih dengan corak coklat. Meja dan kursi yang banyak dan manusia yang sesuai dengan jumlah kursi. Langit sudah membuat garis di meja miliknya menggunakan kapur agar teman sebangkunya itu tidak menarik ataupun mencuri buku miliknya. Tapi, yang namanya Bulan dia tetap masuk ke garis itu hingga garisnya sendiri sudah hilang.
"Kalau ngelewatin garis. Apapun itu bakal gue potong. Terutama tangan lo." Langit mengancam sementara Bulan menatap Langit dengan cemberut.
Bulan memulai aksinya dia melemparkan potongan penghapus dan langsung dipotong menggunakan gunting yang Langit punya. Bulan mengomel tidak terima dengan penghapus yang dipotong dengan sengaja menjadi kecil itu.
"Kalau sampe barang atau apapun itu. Ngelanggar garis di ini. Bakal jadi milik gue." Bulan ikut-ikutan membuat Langit menatap Bulan dengan judes.
"Iya. Kalau barang gue enggak lo ambil juga enggak bakal ke sana." Langit kembali sibuk menulis di buku catatannya. Sangat fokus sampai dia tidak tau bahwa bolpoinnya sudah melewati garis dan berada di sebelah kotak pensil Bulan.
Langit baru sadar bahwa bolpoinnya sudah nangkring di sana saat dia hendak kembali menulis. Langit melirik ke arah Bulan yang sedang fokus.Tangan Langit perlahan melewati garis untuk mengambil bolpoinnya. Hampir sampai, tangan Langit sudah memegang bolpoinnya belum sempat untuk menyingkirkan tangannya. Bulan sudah memegang tangan yang melewati garis itu.
"Tangan lo punya gue." Bulan nyengir lalu menarik tangan Langit, menganggamnya.
"Enggak mau. Ini gue nulis pake apa kalau lo pegangin." Langit berusaha melepaskan genggaman tangan itu tetapi, Bulan malah semakin mengeratkan.
"Ketentuannya tadi kan gitu. Lo mau nulis pake mulut atau pakai kaki juga boleh." Langit memegang tangan Bulan dengan tangan kirinya berusaha melepaskan tangannya yang sekarang ditahan.
Punggung Langit merasa dingin. Dia melirik ke belakang. Bintang dan gerombolan laki-laki menatapnya dengan raut wajah tidak suka. Langit menunjukan giginya, terlihat seperti tersenyum padahal dia sekarang ketakutan.
"Gue enggak bikin garis lagi oke, bisa lepasin aja enggak?" Langit benar-benar ingin pergi saja. Melihat ke belakang sama dengan mencari mati. Bulan masih saja menganggam tangannya sambil terus berpikir.
"Oke. Beneran ya." Langit langsung mengangguk cepat. Dia berteriak dalam hati merasa lega. Semenjak Bulan selalu mengobrol dengannya banyak anak laki-laki yang biasanya tidak peduli dengan keberadaanya sekarang malah menatap terus menerus.
Tapi, untung sih mereka ga suka kalau suka Langitnya yang ketar-ketir.
Langit sendiri agak senang berteman dengan Bulan setidaknya dia bisa memanfaatkan Bulan untuk menghindari cewek-cewek yang mendatanginya mengajaknya berbicara saat dia sedang sibuk atau sedang merencanakan kegiatannya hari ini. Bulan jadi seperti anjing yang menjaga tuannya. Membayangkannya saja membuat Langit tertawa kencang.
"Lo kenapa? Gila?" Bulan menatap Langit dengan pandangan khawatir bercampur dengan mengejek. Langit menjawabnya dengan gelengan kepala lalu menatap papan tulisnya.
***
Entah ini hari apa, Langit sudah pusing Bu Putri tidak bisa menjaga untuk beberapa saat karena ada keluarganya yang sakit. Langit juga tidak bisa menahan Bu Putri untuk tetap menjaga Ibunya di sini.
Langit lelah, bahkan kalau dia tidak dihubungi oleh Dil. Dia lupa kalau hari ini hari sabtu. Langit bimbang dia bingung untuk memilih menemani ibunya atau mencari uang.
"Langit kok gelisah?" Mamanya menutup buku bacaannya dan melepas kacamatanya. Langit yang sedang menuang air menjawab tanpa berbalik.
"Enggak kok Ma. Ini, temen Langit ngajak ketemuan. Tapi, Langit lupa hari ini kan jagain Mama." Langit berbohong. Dia tidak pernah bercerita bahwa dia bekerja. Cowok dengan tinggi seratus delapan puluh itu tidak ingin ibunya khawatir dan memaksa untuk keluar dari rumah sakit.
"Ya ampun. Mama bikin Langit enggak bisa jalan-jalan sama temennya. Langit tinggalin Mama sendiri aja ya. Nih, mama sehat banget." Langit ragu tapi, melihat senyum Mamanya. Langit jadi ingin pergi untuk bekerja saja.
"Bener nih Ma." Mamanya mengangguk antusias. Dia ingin anaknya juga punya pergaulan yang luas. Tidak hanya mengurusi dirinya yang tidak bisa apa-apa.
"Kalau gitu Langit pergi dulu ya, Langit cepet kok pulangnya." Langit mengambil tasnya dan berpamitan ke Mamanya. Melambaikan tangan sambil menutup pintu.
Dengan jarak yang lumayan jauh, Langit sudah sampai ke parkiran cafe. Dia memarkirkan sepedanya lalu menghampiri teman-temannya yang sudah menata peralatan.
"Maaf Kak. Telat." Semua mengacungkan jempolnya paham. Langit langsung ikut membantu. Dia menyetel gitarnya dan mengangkat mic menuju ke tengah area.
"Langit!" Langit mengenali suara itu. Dia langsung mendongakan kepalanya lalu langsung mengalihkan pandangannya. Cewek itu mencembikkan bibirnya. Dia langsung menjewer telinga Langit dengan kesal.
"Pura-pura enggak kenal. Gue hantam juga lo." Bulan, cewek yang tadi diabaikan Langit mencubit pinggang Langit sambil menarik telinganya.
"Sakit, Sakit Lan." Bulan tidak peduli sementara teman-teman satu grupnya tertawa. Mereka tidak pernah melihat Langit dianiaya fans nya seperti ini.
"Gue mau ketawa. Tapi, udah lo wakilin Dil." Jhosua menepuk pundak Dil yang tertawa terbahak melihat telinga Langit yang memerah.
"Ganas lo." Langit mengusap telinga setelah Bulan melepas jewerannya.
"Mampus. Lo gue chat tadi. Ngakunya enggak ke cafe. Bohong terus." Bulan berkacak pinggang sementara Langit meminta maaf. Dia mengatakan bahwa dia lupa mengabari Bulan lagi.
"Terserah. Gue mau duduk." Bulan berbalik dan menatap segerombolan perempuan yang menatapnya kesal. Bukannya takut Bulan menatap mereka kesal bersiap untuk mengeluarkan lahar panas dari mulutnya.
"Apa lo?" Bulan melotot. Dia tidak peduli dan duduk di kursi area depan. Langit sendiri sedang mengusap telinganya dan sambil. kembali menyetel gitar miliknya.
Di sisi lain wanita berambut panjang itu mengetuk meja resepsionis. Berbicara sepatah dua patah kata dan berjalan masuk ke dalam ruangan yang dituju.
"Langit?" Mendengar suara dan ucapan itu. Wanita itu bertambah yakin orang yang dituju benar.
"Iya. Saya Langit." Mama Langit memudarkan senyumnya tangannya bergetar kakinya lemas. Dia tidak bisa bergerak sampai orang itu berada di depan kasurnya. Dia tidak bisa berbicara lidahnya kelu.
"Hallo. Rosa lama tidak berjumpa." Napas Rosa, Mama Langit tidak beraturan dedak jantungnya berpacu kencang dan tangannya bergetar hebat tidak berhenti. Semakin Rosa kesakitan orang di depannya semakin mendekatkan wajahnya dan menatapnya dengan pandangan mata yang menyala. Seolah menyimpan dendam yang sangat dalam.
"Hidupmu enak ya di ruangan yang dingin dan kasur yang empuk. Sementara saya hanya bisa tidur di jalanan dan mengemis untuk mendapatkan makanan." Orang itu mengambil buah yang masih segar. Dia menggigitnya dan mengunyahnya dengan kasar membuat Rosa semakin ketakutan.
"Buahnya masih segar Rosa. Ini enak."