Loading...
Logo TinLit
Read Story - Photobox
MENU
About Us  

HAPPY READING!

Langit yang tadi sudah menyelesaikan kerjanya bergegas untuk merapikan peralatan musik dan memasukkannya ke gudang. Bulan sendiri setelah dia selesai bekerja langsung menghilang entah kemana. Langit sih lega setidaknya dia tidak harus berbicara dengan cewek galak itu lagi.

"Lang, pulang. Kalau perlu bungkus tuh cewek - cewek yang ada di luar nungguin lo." Gelak tawa menggema di ruangan membuat Langit ingin pergi saja dari sana. Pembicaraannya terlalu dalam membuat Langit tidak nyaman. Langit tau apa maksudnya hanya saja dia merasa aneh saat membahas yang seperti itu.

"Heh, mulut kalian gue cabein juga lama-lama. Kasihan Langit lo gituin mulu." Dil, pianis yang terlihat tenang dan selalu terlihat memiliki pemikiran yang positif.

"Yaelah Bang, galak bener. Pulang dulu deh ya." Mereka berdua berpamitan lalu beranjak darisana.

"Makasih Bang Dil. Saya juga pulang dulu ya." Langit berpamitan lalu tersenyum tipis.

"Iya. Pulang sono. Enggak usah di dengerin tadi itu dua bocah." Dil memasukan sambungan kabel ke dalam tas untuk yang terakhir kalinya.

Langit pergi dari sana lewat pintu belakang. Kalau dari depan bisa-bisa dia tidak pulang karena diserbu untuk diminta swafoto. Sebenarnya Langit tidak apa-apa tapi dia lelah sekarang. Ingin tidur di kasurnya.

Untungnya orang di sana tidak akan menyangka Langit memarkirkan sepedanya di minimarket dekat sana. Jadi, dia bisa leluasa pergi. Langit masuk ke dalam minimarket itu dan mendekati seseorang yang berada di kasir.

"Lang, kenapa lo lagi sih? Gue kira pelanggan." Protesan terdengar saat orang itu melihat bahwa Langit yang masuk ke dalam minimarketnya.

"Hehe. Semoga habis ini pelanggan ya Bang. Ada sisa enggak Bang?" Langit menunjukan deretan giginya yang rapi.

Tanpa banyak bicara kotak yang berisi banyak makanan dikeluarkan. "Gue masih enggak percaya ya, lo bukan mau jual lagi kan makanannya?" Langit menggeleng untuk dia makan saja syukur untuk apa dia jual lagi.

"Gue mau bilang nanti lo sakit tapi, lo setiap hari ke sini dan makan masih sehat terus." pegawai minimarket itu memegang kepalanya tidak paham.

"Imun saya sehat Bang. Makasih ya Bang." Langit memasukan semua makanan itu ke dalam tasnya lalu keluar dari sana. Kalau ditanya makanan apa yang diberikan pegawai minimarket itu untuk Langit jawabannya adalah makanan yang sudah atau kurang hari mendekati expired. Demi mengumpulkan uang untuk Ibunya Langit hanya bisa menghemat uang makannya. Setiap hari minimal dia akan mendapatkan satu bungkus onigiri yang dijual disana.

Langit mengayuh sepedanya hingga ke rumah dan menghembuskan napasnya perlahan. Rumahnya yang selalu kosong tidak ada sambutan hangat saat Langit membuka pintu. Langit melepaskan sepatunya dan segera beranjak mencuci kakinya.

Kamarnya satu-satunya yang selalu terlihat berpenghuni. Langit menghidupkan lampu dan membuka buku pelajarannya. Setidaknya besok hari Minggu. Hari dimana dia hanya akan melihat Ibunya tanpa ada kerja apapun.

Ponselnya berdenting dengan enggan Langit membuka dan mencabut daya ponselnya. Tidak ingin meledakan ponsel satu-satunya hanya untuk mengecek pesan.

[ Gue Bulan. Gue enggak bisa tidur ]

[ hah? ]

[ nyanyiin gue lagu deh. Apapun itu ]

[ Lah, ngapain ]

[ Heh tukang nyolong. Nyanyiin aja ribet ]

[ Lahhh, udah gue bilang gue enggak nyolong.]

[ Whatever. Tadi lo mau ngabulin satu permintaan gue ]

[ ok habis itu jangan ganggu gue.]

[ Ga janji. ]

Langit mendengus, di ruangan minimalis ini dia mengambil gitar di pojok dekat kasurnya. Gitar peninggalan Ayahnya. Mencari nada yang pas lalu merecordnya. Lagu dengan judul Lantas milik Juicy luicy dinyanyikan hingga selesai. Setelah itu Langit langsung mengirimkannya ke nomor yang bahkan belum dia save.

[ Yes, lo diwajibkan buat ngirim record kayak gini lagi setiap hari. Buat lagu nanti gue yang request ! ]

Langit meletakan gitarnya dan menaikan sudut bibirnya sebelah, mencibir. Cewek ini aneh bin gila. Langit tidak menjawab lagi. Dia memilih membuka buku agendanya menuliskan segala macam pengeluaran sambil membuka bungkus makanan yang tadi dia minta di minimarket tadi.

"Bisa kuliah enggak ya?" Langit bermonolog sambil menggigit sosis siap makan menatap pengeluarannya hari ini.

"Biaya bulanan harus dihemat lagi. Kerja part timenya ditambah kali ya." Langit terus berbicara sembari menghabiskan satu bungkus makanan itu.

Langit menuliskan agenda dan mencari lowongan pekerjaan di media sosial. Langit melirik ke langit-langit rumahnya. Lelah dengan semuanya. Dia ingin mempunyai satu hari dimana bisa menghilang dari dunia. Hingga dia bisa tidur sepuasnya.

"Lang, bangun woi." Langit mengerjapkan matanya. Karena kemarin begadang akhirnya dia tertidur di kelas. Untung saja Angga menepuk pundaknya berkali-kali.

"Makasih. Gue cuci muka dulu deh." Langit mengacungkan tangannya meminta ijin untuk mencuci mukanya. Guru yang bertugas hanya mengangguk mempersilahkan.

Langit berjalan dari lorong kelas dan berbelok ke kanan menghidupkan wastafel dan menangkup air di kedua telapak tangannya. Langit menenggelamkan kepalanya di telapak tangannya yang sudah penuh dengan air sebanyak dua kali. Ingin mengulang yang ketiga kalinya Langit terkejut dengan bayangan orang di belakangnya.

"Lo sekarang ngantuk tapi kemarin enggak bales chat gue?" Langit yang masih ingin membasahi mukanya tidak ingin menjawab pertanyaan dari seseorang yang sedang berkacak pinggang disana.

"Heh, diem doang."

"Lo cewek atau cowok sih?" Langit mematikan keran wastafel dan mengambil tisu yang berada si sana.

"Cewek lah."

"Terus ngapain ke toilet cowok?" Langit menempelkan tisu itu ke wajahnya hingga kering.

"Gue 'kan mau tanya itu ke lo. Kenapa chat gue nggak lo bales kemarin," Bulan, perempuan yang sedari tadi berkacak pinggang.

"Males."

Langit pergi dari toilet diikuti dengan Bulan yang terus mengoceh sambil memukul Langit sesekali, meminta direspon.

"Iya, iya. Nanti gue jawab chat lo." Bulan menunjukan deretan gigi rapinya dan langsung mendahului Langit untuk masuk ke dalam kelas.

Langit juga ikut masuk setelahnya, bertepatan dengan Langit duduk bel untuk pelajaran selanjutnya berbunyi. Cowok itu menghembuskan napas panjang. Sebelum guru berikutnya datang Langit mengambil ponselnya mengetikan jawaban untuk Bulan.

[ Emang lo bayar gue? Gue di cafe aja dibayar. Masa sama lo gratis ]

Setelah pesan itu di kirimkan Langit melihat Bulan yang posisinya lumayan jauh dari dirinya. Belum sempat memalingkan muka. Bulan sudah melihat ke arah Langit terlebih dahulu. Tangan Bulan mengepal di udara, seolah mengancam akan memukul Langit.

Guru jam berikutnya adalah wali kelas mereka. Tapi, bahkan sudah lima menit tidak ada batang hidung yang terlihat membuat kelas menjadi ricuh. Langit sendiri ikut tertawa dan ngobrol hingga suara gebrakan meja membuat satu kelas langsung kincep.

"Kalian ini ditinggal sebentar. Bukannya belajar. Kita rombak tempat duduknya saja." Satu kelas langsung mengeluh saling menyalahkan karena ribut.

Dengan berat hati mereka semua berdiri dan berkemas. Satu persatu dari mereka diminta untuk duduk ada yang memprotes ada yang malah senang.

"Langit, kamu duduk dengan Bulan di pojok tengah situ." Bulan tersenyum senang saat melihat Langit yang memasang wajah cemberut.

"Kesialan apa lagi yang harus Langit dapatkan hari ini Ya Tuhan. Capek." batin Langit melihat Bulan yang cengegesan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dira dan Aga
554      381     3     
Short Story
cerita ini mengisahkan tentang perjalanan cinta Dira
Isi Hati
502      356     4     
Short Story
Berawal dari sebuah mimpi, hingga proses berubahnya dua orang yang ingin menjadi lebih baik. Akankah mereka bertemu?
Ketika Cinta Bertahta
913      550     1     
Short Story
Ketika cinta telah tumbuh dalam jiwa, mau kita bawa kemana ?
Orange Haze
552      383     0     
Mystery
Raksa begitu membenci Senja. Namun, sebuah perjanjian tak tertulis menghubungkan keduanya. Semua bermula di hutan pinus saat menjelang petang. Saat itu hujan. Terdengar gelakan tawa saat riak air berhasil membasahi jas hujan keduanya. Raksa menutup mata, berharap bahwa itu hanyalah sebuah mimpi. "Mata itu, bukan milik kamu."
Damn, You!!
2977      1134     13     
Romance
(17/21+) Apa yang tidak dimilikinya? Uang, mobil, apartemen, perusahaan, emas batangan? Hampir semuanya dia miliki kecuali satu, wanita. Apa yang membuatku jatuh cinta kepadanya? Arogansinya, sikap dinginnya, atau pesonanya dalam memikat wanita? Semuanya hampir membuatku jatuh cinta, tetapi alasan yang sebenarnya adalah, karena kelemahannya. Damn, you!! I see you see me ... everytime...
Love Dribble
10828      2101     7     
Romance
"Ketika cinta bersemi di kala ketidakmungkinan". by. @Mella3710 "Jangan tinggalin gue lagi... gue capek ditinggalin terus. Ah, tapi, sama aja ya? Lo juga ninggalin gue ternyata..." -Clairetta. "Maaf, gue gak bisa jaga janji gue. Tapi, lo jangan tinggalin gue ya? Gue butuh lo..." -Gio. Ini kisah tentang cinta yang bertumbuh di tengah kemustahilan untuk mewuj...
Mr. Kutub Utara
354      273     2     
Romance
Hanya sebuah kisah yang terdengar cukup klasik dan umum dirasakan oleh semua orang. Sebut saja dia Fenna, gadis buruk rupa yang berharap sebuah cinta datang dari pangeran berwajah tampan namun sangat dingin seperti es yang membeku di Kutub utara.
Infatuated
900      586     0     
Romance
Bagi Ritsuka, cinta pertamanya adalah Hajime Shirokami. Bagi Hajime, jatuh cinta adalah fase yang mati-matian dia hindari. Karena cinta adalah pintu pertama menuju kedewasaan. "Salah ya, kalau aku mau semuanya tetap sama?"
Dear Groom
520      371     5     
Short Story
\"Kadang aku berpikir ingin seperti dulu. Saat kecil, melambaikan tangan adalah hal yang aku sukai. Sambil tertawa aku melambaikan tangan pada pesawat yang lewat. Tapi sekarang, bukan seperti ini yang aku sukai. Melambaikan tangan dengan senyuman terpaksa padanya bersama orang lain.\"
Sepi Tak Ingin Pergi
665      402     3     
Short Story
Dunia hanya satu. Namun, aku hidup di dua dunia. Katanya surga dan neraka ada di alam baka. Namun, aku merasakan keduanya. Orang bilang tak ada yang lebih menyakitkan daripada kehilangan. Namun, bagiku sakit adalah tentang merelakan.