HAPPY READING!
Kegiatan Langit sekarang adalah mengelus dadanya meminta untuk dirinya sabar. Bulan sudah memancing emosinya sejak duduk bersama. Langit terus menenangkan dirinya dengan kata-kata besok hari Minggu. Hari dimana dia tidak akan melihat Bulan jadi, Langit harus bersabar hari ini.
"Gue bayar lima ratus ribu sehari gimana?" Langit menatap Bulan dengan raut bingung, pasalnya dari tadi Langit bahkan tidak mendengarkan ucapan Bulan sama sekali.
"Apanya?" Bulan mencebikan bibirnya menatap cowok yang sedari tadi dia ajak bicara ternyata tidak mendengarkannya sama sekali.
Bulan diam tidak mau berbicara lagi bahkan dia sudah menatap papan tulis yang sedari tadi dia abaikan. Langit jadi merasa bersalah banget. Langit menyentuh pundak Bulan meminta perhatian tapi, Bulan terlanjur malas.
"Lima ratus ribu buat apa? Bayaran gue kalau ngerjain tugas lo?" Langit menepuk lagi pundak Bulan. Dia penasaran banget.
"Gue juga bisa kali kalau cuma ngerjain tugas." Bulan akhirnya berbicara dan menatap Langit dengan bibir yang dimaju-majukan karena kesal.
"Ya udah, terus apa?" Bulan kesal. Dia mencubit lengan Langit membuat laki-laki itu berteriak tanpa suara. Bisa-bisa kalau teriak. Dia akan dilihati satu kelas dengan tanda tanya besar.
"Sakit woi." Langit menggerutu lalu mengambil bolpoin nya seolah menulis sesuatu di sana. Tiba-tiba dia merasakan ada hawa dingin yang menatapnya. Benar saja, wali kelas sekaligus guru mata pelajaran ekonomi sudah mendekati meja mereka.
"Langit, saya lihat dari tadi kamu tidak fokus. Ayo, jelaskan tentang materi ini." Langit mendongak padahal yang membuat ulah teman sebelahnya. Langit menatap Bulan sebentar, terlihat wajah Bulan mengejek dan tertawa membuat hati Langit dongkol.
Akhirnya Langit berhasil melalui tatapan maut dari guru ekonomi tercinta. Bulan tidak berhenti tertawa tanpa suara.
"Udah? Puas?" Langit tidak bisa marah ketika melihat wajah Bulan yang tertawa senang. Tawanya mengingatkan dia tentang ibunya.
"Puas. Tapi, sayangnya lo bisa jawab," ucap Bulan memprotes lalu menatap papan tulis kembali. Takut kalau nanti dia juga kena tatapan maut guru ekonomi.
"Jadi, tadi lima ratus ribu itu apa?" Langit masih ingin tau tentang yang tadi. Perasaan Bulan yang membaik membuat akhirnya cewek itu berbicara.
"Lo nyanyiin gue lagu setiap hari. Masih inget kan?" Langit mengangguk.
"Nah, gue bakal bayar lo lima ratus ribu." Uang instan yang Langit dambakan. Hanya mengirim suaranya Langit akan mendapat lima ratus ribu. Langit terlarut dalam pikirannya sendiri. Dia mulai menghitung kalau dia mendapat uang lima ratus ribu setiap hari dalam jangka satu bulan saja. Dia bisa mendapat lima belas juta instan.
"Sebentar." Langit bermonolog sendiri setelah tersadar dari pikirannya. Bulan hanya seorang anak SMA sama seperti dirinya mana mungkin dia memiliki uang yang melimpah. Tidak masuk akal.
"Lo emang ngapain sampe punya yang sebanyak itu." Langit menatapnya waspada sementara Bulan menatap Langit dengan wajah tidak terima seolah pertanyaan Langit menjurus ke hal yang tidak benar.
"Bokap nyokap gue orang kaya. Lo mikir aneh-aneh gue potong juga otak lo." Bulan memukul punggung Langit dengan kesal. Kemungkinan seminggu duduk bersama Bulan. Dia akan mati dengan memar yang besar.
"Enak ya jadi orang kaya. Tapi, lima ratus ribu bukannya banyak banget ya?" Bulan menggeleng menjawab keduanya. Apa enaknya menjadi orang kaya kalau orang tuanya saja sudah tiada kehangatan keluarga yang harusnya masih dirasakan sudah tidak terasa lagi. Untuk lima ratus ribu menurut Bulan tidak banyak, karena mendengar Langit menyanyi saja. Dia bisa tidur tanpa mimpi buruk.Itu sangat cukup untuk menukar uang menjadi tidur yang nyenyak.
"Beneran kan ya ini? Berarti lo perlu ngirim gue uang lima ratus ribu ke gue sekarang." Bulan mencebikan bibirnya. Dia baru sadar kalau cowok di sampingnya ini mata duitan.
Sebenarnya Bulan sangat ingin tahu mengapa cowok itu selalu terlihat dimana-mana bahkan saat Bulan ingin makan ayam ternyata cowok itu berada di sana melayani pelanggan.
"Nanti gue transfer. Lo punya rekening bank?" Langit mengangguk. Dia jelas punya semua gajinya di transfer di sana.
"Oke. Nanti gue transfer lo kirimin aja nomor rekening lo." Bulan mengacungkan jempolnya sementara Langit bersorak dalam hati.
Pulang sekolah Langit bergegas keluar tanpa mempedulikan Bulan. Dia berpamitan dengan teman-temannya yang lain. Sampai di parkiran baru hendak menarik sepedanya. Dia dikejutkan dengan tangan yang menepuk bahunya.
"Nebeng dong." Langit menekan pelipisnya. Cewek ini lagi, Bulan menunjukkan deretan gigi putihnya. Dengan tidak tahu aturan ia langsung menarik keluar sepeda Langit.
"Ayo."
"Rumah lo dimana? Emang searah?" Langit lelah, kenapa ada makhluk yang lebih parah daripada yang setiap hari menghadang dirinya untuk foto ataupun mengobrol.
"Enggak sih. Tapi, gue nggak mau pulang." Langit menatap Bulan dengan malas. Akhirnya tetap Bulan yang menang. Langit mengayuh sepedanya dengan susah payah kalau boleh jujur Bulan itu berat.
"Lo makan apa sih?" Langit mengayuh dengan sekuat tenaga.
"Gue cuma makan roti tadi," ucap Bulan menjawab dengan jujur.
"Kok berat banget." Langit berseru dengan nada tertahan. Bulan yang mendengar jawaban Langit tidak terima. Dia langsung memukul cowok itu sekuat tenaga membuat sepeda Langit menjadi oleng sana-sini. Langit meminta Bulan untuk tidak memukul tapi, cewek itu tidak peduli. Dia terlanjur kesal.
Untungnya Langit sampai di rumahnya hingga selamat. Bulan turun dari sepeda dan melihat sekelilingnya. Perumahan ini terlihat kecil dibanding dengan rumahnya.
"Lo tinggal di sini?" Bulan mendongak melihat rumah Langit yang jauh lebih kecil daripada rumahnya. Bahkan mungkin seukuran kamar tidur miliknya.
"Iya, Lo ngira ini gudang atau gimana?" Langit membuka pintunya baru saja Bulan hendak masuk. Langit langsung menutup pintu pagarnya.
"Tunggu di luar. Kalo lo sampe masuk rumah gue. Ntar gue malah diarak warga buat nikahin lo." Langit mengancam dan pergi meninggalkan Bulan di luar sendirian. Laki-laki ini menyebalkan, sangat menyebalkan.
Bulan sih yakin Langit tidak akan meninggalkannya tidur atau melakukan suatu hal yang lama. Bahkan sepedanya masih berada di luar.
"Lo mau pergi kemana? Mumpung gue nggak ada kerjaan," tanya Langit setelah dia keluar dari rumahnya. Dia sudah berganti pakaian dengan kaos berwarna putih dan celana panjang.
Sebenarnya, bisa saja Langit meminta Bulan untuk pulang naik taksi atau alat transportasi apapun. Tapi, dirinya tidak setega itu. Langit berpikir kalau Bulan ada sesuatu yang tidak nyaman sehingga perempuan itu tidak ingin pulang sekarang. Jalan satu-satunya adalah mengajaknya ke tempat yang dia mau.
"Gue mau ke Bandung." Baik, Langit tarik kembali perasaan iba dan kasihan. Cewek di depannya ini benar-benar meminta untuk dipukul. Naik sepeda dari Jakarta ke Bandung? Mau bunuh diri bersama atau bagaimana?
"Ayo." Langit menuntun sepedanya, menunggu Bulan mendekat.
"Kemana? Ke Bandung?" tanya Bulan penuh semangat.
"Enggak. Tapi, mungkin tempat itu bisa bikin lo ngerasa kayak di Bandung."