[ Punya gue itu ]
[ Iya, gue nemu di perpus ]
[ balikin lah, emang mau lo simpen?]
[ besok bisa ketemu? ]
[ ga ]
Langit ingin membakar jaket ini kalau bisa, harusnya tadi dia tinggalkan saja di perpustakaan supaya hilang saja sekalian. Langit mengayuh sepedanya untuk mengunjungi Ibunya sebentar sudah tidak mempedulikan pesan yang dikirim oleh cewek yang menurut dia menyebalkan.
Sembari mengayuh, Langit memikirkan perempuan itu. Dia sepertinya pernah melihat cewek itu entah dimana. Entah angin apa yang membuat Langit langsung mengingatnya.
"Bulan yang tadi enggak masuk itu kan ya? Kok bisa jaketnya nangkring di perpus." Langit bermonolog sendiri lalu berbelok ke kanan dengan kecepatan sedang, untungnya jalanan lumayan lenggang jadi Langit bisa sampai di rumah sakit sekitar lima belas menitan.
Walaupun jalanan lenggang tetapi sinar matahari dengan berani bersinar dengan terang. Panas yang disorotkan membuat peluh keringat bercucuran.
"Mati gue nanti ke panggang." Langit mengeluh setelah sampai di parkiran rumah sakit dan berjalan masuk ke dalam ruangan. Dia mengambil ponselnya dan melihat chat yang tadi dia tinggal.
[ sabtu aja, gue ke cafe Rembulan biar lo ga repot ]
Langit menaikan alisnya dan berhenti melangkah untuk mengetik balasan. Sambil dia menghapus keringat di dahinya.
[ jumat, gue di sana hari jumat. Jadwal gue dimanjuin]
Sesudah itu Langit langsung mengetuk pintu dan berjalan diam-diam takut kalau Mamanya sedang beristirahat.
"Udah pulang sekolah Langit? Mama kamu habis makan siang tadi sekarang udah tidur aja." Bu Putri yang sedang membaca buku sambil menunggu Ibu Langit mendongak dan memberikan senyuman.
"Iya Bu, tadi langsung ke sini. Langit cuma mau ngecek Mama aja kok Bu. Habis ini mau pulang. Mau ngerjain tugas." Langit tersenyum lalu memalingkan wajahnya ke arah Mamanya yang sedang tertidur pulas.
Ruangan yang dingin itu membuat seragam Langit yang awalnya basah lama kelamaan menjadi kering. Langit duduk di sofa ingin beristirahat sebentar.
"Puji Tuhan Lang, Mama kamu enggak ngelakuin apa-apa lagi. Semoga kedepannya begitu ya?" Bu Putri ikut duduk di sebelah Langit lalu menatap seragam Langit yang sudah tidak beraturan.
"Langit enggak mau istirahat aja?" Langit menggelengkan kepalanya.
"Emang Langit enggak capek?" tanya Bu Putri lagi merasa prihatin dengan anak yang harusnya masih bisa bermain ataupun nongkrong bersama teman-temannya.
"Enggak. Asalkan Mama sembuh Langit sih seneng terus Bu. Enggak bakal ngerasa capek." Langit menunjukkan deretan giginya yang rapi. Bu Putri sudah tidak bisa berbicara lagi. Langit sendiri langsung pamit untuk pulang karena katanya dia masih mempunyai tugas.
"Mel, kamu beruntung punya Langit." Bu Putri menatap pasien yang dia jaga lalu tersenyum.
Bu Putri hanya seorang yang mencari sebuah kegiatan karena dirinya sudah dalam masa pensiun dan dia masih sehat. Anaknya sendiri sudah bekerja dan mempunyai keluarga sendiri. Bu Putri tidak ingin bergantung di rumah tangga orang lain. Alhasil, dia mengajukan diri untuk menjadi pengurus Ibunya Langit.
***
Di sisi lain, langit terlihat mendung dengan rintikan air yang turun membasahi tanah. Perempuan itu selalu menangis saat mengunjunginya. Tapi, hanya di hari ini dia bisa tidur dengan nyenyak bermimpi bahagia bersama dengan ayah dan ibunya ke kebun binatang.
"Bulan pulang, yuk?" Neneknya menepuk lengan Bulan perlahan. Tepukan itu membuat perlahan Bulan membuka matanya. Wajahnya kusut walaupun dia tidak ingin meninggalkan rumah itu tapi akhirnya dia beranjak dari sana.
"Iya, Nek. Bentar ya Bulan mau beresin dulu ini kasurnya," kata Bulan beralasan, dia ingin agak lama berada di sini. Dia akan kecewa karena kemarin dia meninggalkan jaket birunya di perpustakaan membuat dia tidak bisa memeluknya di sini.
Baru membersihkan kasurnya, ponselnya berbunyi. Ada notif dari Sheren. Bulan membukanya dan menemukan bahwa jaketnya ditemukan oleh Langit, cowok yang terlihat sok ceria dan sok sibuk.
[ Lan, lo coba lihat. Ini punya lo kan?]
[ Bener, Sher ]
Lalu, Bulan mengirimkan pesan pribadi ke Langit. Respon Langit yang terlihat ramah tidak ingin dia tanggapi dengan baik. Dia butuh hiburan sekarang tetapi, cowok itu bahkan masih meresponnya dengan ketikan yang terlihat sopan dan ceria. Menyebalkan.
Setelah berhasil membereskan kasur itu dengan rapi Bulan beranjak keluar dengan langkah kecil, ingin lebih lama lagi tinggal di sini.
"Bulan, ayo. Waktu liburan kita ke sini, oke?" Bujukan Neneknya yang keseratus kalinya, walaupun kenyataannya saat liburan tidak ada yang namanya pergi ke rumah ini.
Neneknya akan beralasan sibuk ataupun tiba-tiba dia ke perusahaan yang dikelola orang tuanya dulu. Bulan sudah terbiasa dengan basa-basi ataupun bujukan manis yang berujung pahit itu.
"Iya, Nek. Bulan ini juga mau turun." Bulan turun dengan cepat lalu berjalan di sini neneknya yang masih dalam kategori sehat.
Dari Jakarta ke Bandung itu sebenarnya tergolong dekat karena perjalanannya hanya sekitar dua sampai tiga jam. Yang membuat lama adalah kemacetan Jakarta yang tidak ada habisnya. Bulan bergeming. Dia tidak tau harus melakukan apa.
Akhirnya Bulan mengeklik lagu yang biasanya dia putar untuk dia dengarkan sebagai pendamping untuk tidur. Lagu yang kata Mama dinyanyikan oleh Papanya saat meminta dia untuk menjadi pacar. Dulu Bulan akan bilang bahwa lagu ini terlalu norak dan alay karena arti lagu itu terlalu kasmaran.
Tapi, Sekarang Bulan malah tidak bisa tidur tanpa mendengar lagu itu. Dia tidak akan bermimpi buruk juga kalau lagu itu diputar. Suara dan petikan gitar yang khas menurut telinga Bulan. Suara teman sekelasnya, Langit.
Setelah tau tadi bahwa Langit yang membawa jaketnya, Bulan jadi punya ide dia akan memanfaatkan Langit agar tidurnya nyaman tanpa ada mimpi buruk lagi. Ya, Bulan akan menghantui Langit sampai dia akan terbiasa tidur tanpa suaranya lagi.
***
"Lan, lo akhirnya masuk. Ketinggalan banyak banget lo pelajarannya. Nih, gue pinjemin catetan gue." Cowok jangkung itu menyodorkan semua buku catatan selama beberapa hari kemarin. Bulan mendongak. Dia kesal karena belum ada semenit dia duduk di bangkunya cowok di depannya itu sudah bertingkah.
Bulan menyukai bintang yang ada di Langit tapi, dia malas dengan Bintang yang di depannya saat ini.
"Makasih Bin. Gue juga bisa pinjem catetannya Sheren kok." Bulan menolak dengan halus walaupun ujung-ujungnya Bintang tetap meminjaminya catatan yang bahkan Bulan tidak mau.
Bintang cowok yang memiliki postur tubuh tinggi dan terlihat baik. Laki-laki itu pernah bilang menyukainya tahun kemarin. Bulan sendiri sudah menolaknya. Cowok itu hanya bersikeras untuk tetap menyukainya dengan mengatasnamakan ini perasaannya.
***
Tas yang di bawa Bulan menjadi lebih berat dari biasanya, supir neneknya bahkan belum sampai membuat Bulan kesal setengah mati. Neneknya memang tergolong orang yang protektif. Dia tidak memperbolehkan cucunya itu untuk pergi sendiri.
"Lama banget Pak sampainya?" Bulan bertanya setelah Bulan masuk ke dalam mobil, Dia langsung menekan tombol untuk menghidupkan AC agar tubuhnya tidak kepanasan lagi.
"Maaf, Non. Tadi ada kecelakaan jadi macet." Bulan hanya mengangguk tanda mengerti.
Sesampainya di rumah. Bulan akhirnya membuka semua catatan Bintang yang tadi dipinjamkan. Menyalinnya dan mempelajarinya sambil menunggu waktu untuk bertemu dengan Langit.
Omong-omong soal Langit, Bulan ingin tertawa. Langit yang melihat Bulan langsung menghampirinya mengatakan bahwa jaketnya tidak dia bawa karena katanya akan bertemu di cafe Rembulan saja. Langit mengira bahwa hari ini Bulan tidak masuk sekolah. Wajahnya yang terlihat panik dan tidak enak hati itu membuat Bulan sekarang tertawa sendiri di dalam kamarnya. Dia jadi tidak sabar untuk melihat dan mendengarkan suara cowok itu.
***
Bulan sudah sampai di cafe itu menggunakan selana panjang jeans dan kaos berwarna hitam. Dia sudah biasa datang ke sini jadi, dia langsung duduk di tempat yang biasanya diduduki dan melihat Langit yang sedang menyiapkan alat musik mereka.
"Eh, bentar ya." Langit berbicara dengan salah satu rekannya. Dia menyambar jaket Bulan dan berlari kecil untuk menghampiri cewek yang duduk di sana dengan tenang.
"Ini jaket lo." Bintang menyodorkan jaket itu dan ikut duduk di depan Bulan.
"Makasih."
"Em, lo ke sini naik apa? Kalau perlu gue bisa pesenin lo taksi." Langit berbicara perlahan, sementara Bulan menatapnya kesal.
"Lo ngusir gue?" Langit langsung menggeleng, tidak menyetujui ucapan Bulan.
"Gue kira lo ngusir gue. Oh, iya, karena lo nyolong jaket gue ini. Lo harus penuhin satu permintaan gue. Gimana?" Bulan tersenyum membuat Langit serba salah.
"Tapi, gue enggak nyolong jaket lo." Bulan memukul lengan Langit membuat cowok itu kesakitan.
"Intinya, lo nyolong. Udah, sini nomor lo mana?" Setelah insiden tarik menarik ponsel akhirnya Langit kalah. Dia memberikan nomor ponselnya dan Bulan tertawa puas.