“Pak, kalau suatu saat Aksa gak bisa mencintai seseorang, seperti bapak mencintai mama, gimana? Apa orang itu nanti akan bertahan sama Aksa? Kayak mama sama bapak sampai puluhan tahun.” tanya Aksa suatu sore.
Kalimat itu sepintas muncul di kepala Aksa, tanpa diduga, tanpa ia rencanakan. Mengalir saja seperti air yang turun ke bumi.
Kala itu ia duduk bersantai bersama bapak di gajebo halaman belakang. Dengan secangkir teh hangat yang sengaja Aksa buat untuk dirinya dan bapak. Ditemani pula oleh gorengan yang Aksa ambil saat mama baru saja meniriskan gorengan panas dari wajan.
“Aksa, setiap orang punya cara sendiri untuk mencintai pasangannya. Kamu hanya perlu menjadi diri sendiri yang tentunya harus bisa memahami perempuan itu, lebih bagus sampai perempuan itu jadi istrimu.” Tutur bapak, menjawab kalimat tanya putranya dengan santai. Sambil sesekali menyesapi teh yang terasa sangat nikmat. Apalagi ditemani gorengan lezat hasil jeri payah istrinya.
“Tapi kalau cinta Aksa gak setulus bapak ke mama, gimana?”
“Makanya cari pacar.” Bapak terkekeh. Sekilas ia menyeruput teh-nya. “Kamu gimana mau tahu setulus apa perasaan kamu sendiri, kalau nyatanya kamu gak pernah punya pacar.”
Aksa tertunduk merasa bingung harus menjawab apa. Aksa memang tidak pernah pacaran sejak lahir. Pemuda itu hanya bercengkrama mesra dengan buku, taekwondo dan gitarnya.
Banyak perempuan yang jatuh hati padanya dan terang-terangan mengajak Aksa berkencan. Namun Aksa selalu menolak dengan alasan ia sedang tidak ingin memulai hubungan lebih dari teman dengan siapapun.
Tapi ia selalu penasaran bagaimana rasanya mencintai dan dicintai. Terlebih ia selalu menyaksikan keharmonisan dan cara bapak memperlakukan mama. Secara otomatis menjadi mimpinya, yang kelak ingin memperlakukan perempuannya seperti bapak kepada mama.
“Mencintai seorang perempuan itu mudah Aksa. Yang rumit adalah diri kita sendiri sebagai lelaki yang belum memahami perempuannya. Mungkin akan ada masa dimana kamu dan perempuanmu berselisih paham. Tapi kalau kamu bisa sabar, dan kalian sama-sama mencari jalan keluarnya, kalian akan terus bersama sampai kapanpun. Seperti bapak dan mamamu, apa kamu pernah lihat kami bertengkar hebat?”
Aksa menggeleng.
Bapak menepuk pundak Aksa, anak yang begitu bapak sayangi. Setelah penantian 10 tahun menikah, akhirnya lahirlah Aksa. Seorang anak lelaki yang menjadi hadiah paling indah yang Allah berikan untuk keluarga Adinata.
Hal yang paling mereka syukuri setelah mengadopsi seorang gadis kecil sebelum Aksa lahir ke dunia. Kehadiran Aksa menambah warna di keluarga kecil mereka.
“Bapak yakin, suatu saat nanti, kamu bisa mencintai perempuanmu seperti bapak mencintai mamamu. Kamu harus jadi lelaki sejati, Aksa. Jangan menjadi lelaki pengecut yang berbuat seenaknya kepada perempuan. Ingat, ketika kamu menyakiti perempuanmu, sama saja kamu menyakiti mamamu sendiri.” Jelas bapak dengan tegas. Seakan memberi perintah kepada anaknya itu.
Meski Aksa belum bisa menemukan perempuan yang bisa meluluhkan hatinya, Aksa menerapkan apa yang dikatakan bapak. Apalagi kalimat terakhir sebelum topik berganti, bahwa menyakiti perempuan sama dengan menyakiti ibunya sendiri.
Lantas Aksa berjanji, sebisa mungkin, ia tak ingin menyakiti perempuan manapun.
Terkenal dengan kecerdasannya di kampus, Aksa juga adalah seorang mahasiswa yang aktif berorganisasi. Sudah 7 bulan ini ia menjadi pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa Taekwondo di kampusnya sekaligus menjadi anggota Taekwondo.
Sebenarnya Aksa sudah mengikuti Taekwondo sejak SMP. Sudah banyak medali dan piala ia raih dalam kejuaraan mewakili nama sekolah dan kampusnya. Tak hanya itu, berbagai kejuaraan non akademik pernah ia raih. Beberapa hal itu yang membuatnya dikenal oleh banyak orang, meski sebagian Aksa tidak mengenali mereka.
Namun Aksa tetap rendah hati dan menganggap bahwa apa yang ia raih adalah keberkahan dari Allah.
Setelah 1 semester penuh Aksa mengikuti pertukaran mahasiswa di Universitas Indonesia, Aksa kembali lagi ke kampusnya.
1 semester yang penuh pengalaman luar biasa bagi Aksa. Mendapat teman baru, ilmu baru, bisa merasakan berkuliah secara langsung di sana, dan masih banyak lagi pengalaman-pengalaman yang tak akan pernah Aksa lupakan.
Disambut hangat oleh teman-temannya, Aksa seperti seorang tentara yang baru berpulang dari peperangan. Sampai-sampai teman-temannya merencanakan untuk makan bersama di salah satu indekos temannya. Tentu saja dengan senang hati Aksa menyetujui hal itu. Di sisi lain, Aksa bersyukur memiliki teman seperti mereka.
“Mau ke mana, Sa?” tanya Ryan, salah satu teman kelas Aksa. Melihat Aksa yang beranjak dari duduknya sembari menenteng tas.
“Sekretariat, mau tidur dulu. Lagian mata kuliah sastra Indonesia dimulainya sejam lagi, gue cabut ya.”
Ryan mengangguk, mempersilahkan Aksa untuk berlalu.
Melewati satu gedung menuju gedung khusus kesekretariatan organisasi mahasiswa, Aksa kini tengah menaiki tangga demi tangga menuju lantai 2. Namun sebelum ke tempat yang hendak ia tuju, Aksa ingin menyegarkan diri untuk singgah di tempatnya dulu, yakni rooftop. Lantas kakinya menaiki kembali tangga demi tangga menuju lantai 4.
Biasanya di tempat itulah Aksa mencari inspirasi untuk membuat lagu atau sekedar merenungkan hal-hal yang memberatkan pikirannya. Semenjak mengikuti pertukaran pelajar, Aksa jadi jarang kemari, mungkin nyaris tak pernah selama 1 semester. Ia ke kampusnya hanya untuk menghadiri rapat pengurus dan mengikuti latihan taekwondo, itupun jarang. Sebab jarak kampusnya ke UI lumayan jauh.
Aksa mengerutkan keningnya pada pintu akses menuju rooftop yang terbuka. Biasanya ketika kemari, pintu selalu tertutup dengan gembok pin yang hanya ia dan penjaga kampus ini tahu. Namun sekarang, kenapa terbuka? Apa ada penjaga kampus yang sedang berada di rooftop?
Daripada menghabiskan waktu untuk bertanya tanpa mendapat jawaban, Aksa memutuskan untuk melanjutkan langkah, mencari jawaban dari pertanyaan yang menggerayami kepalanya. Dan ternyata, benar dugaannya, ia melihat seseorang yang tengah berdiri di sana. Di pinggir pembatas rooftop sembari melamun.
Namun itu justru membuat kerutan di keningnya makin terlihat. Darimana gadis itu mengetahui kode pin di gembok? Apakah penjaga kampus memberitahukannya?
........
Pagi ini Aksa harus kejar waktu untuk mengerjakan tugasnya yang akan dikumpulkan pukul 9. Ia menggerutu pada dirinya sendiri, sebab semalam terlalu larut membuat note lagu sampai lupa bahwa tugas mata kuliah Linguistik belum sempat Aksa selesaikan. Mengakibatkan dirinya menjadi orang pertama yang singgah di perpustakaan.
Dengan teliti Aksa membaca setiap buku Linguistik dari berbagai peneliti berbeda yang ia kumpulkan. Mencari jawaban yang pas untuk segala pertanyaan yang tertera dalam tugasnya.
Beberapa saat kemudian, seseorang menarik kursi tepat di samping Aksa. Refleks Aksa menoleh untuk mengetahui siapa orang yang duduk di sampingnya untuk membaca itu. Dan kembali, Aksa harus bertemu Lengkara.
Namun gadis itu seakan tak peduli akan keberadaan Aksa. Lengkara malah fokus pada bukunya yang baru saja ia buka. Tak ada niat untuk berkomunikasi dengan Lengkara, Aksa kembali fokus pada tugasnya. 20 menit lagi perkuliahan dimulai dan tugasnya dikumpulkan. Aksa harus segera menyelesaikannya daripada berakhir kena hukuman.
Saat tengah membaca, berbagai imajinasi muncul di kepalanya. Memaksa sang gadis untuk segera menumpahkan segalanya dalam bentuk tulisan. Awalnya Lengkara—atau biasa dipanggil Kara, enggan menuliskannya. Namun isi kepalanya tak bisa diajak kompromi.
Hingga Lengkara terpaksa untuk mengambil buku dalam tas untuk mengobrak-abrik semua yang berputar dan bergerumul dalam kepala setelah membaca halaman pertama buku novel itu. Bukan menjiplak, namun kalimat pertama dalam novel memnacing imajinasi Kara untuk bermain.
Lengan Lengkara menari-nari di atas kertas. Menodai dengan sempurna kertas putih polos itu dengan pulpen hitam satu-satunya yang ia miliki. Seluruh pemikiran, gundah gulana dan segala macam beban ia tumpahkan dalam satu tulisan utuh.
Tak terencana, Lengkara tuliskan apa adanya. Ia hanya ingin membuat isi kepalanya reda dan tak berisik lagi. Kemudian memberikan kesempatan untuk Lengkara membaca setiap bait cerita dalam novel yang ia baca.
Dirasa puas dan akhirnya menghasilkan beberapa paragraf, Lengkara melanjutkan membaca bukunya. Namun sekarang bukan lagi isi kepala yang mengganggu, melainkan sebuah pesan dari teman kelasnya.
Azhara : Ada dosen! Sini cepet masuk. Lo duduk di samping gue.
Lengkara menghela nafas kesal. Novel yang hendak ia jelajahi isinya habis-habisan, harus tertunda sebab faktor lain. Lantas ia segera beranjak menuju kelasnya yang lumayan jauh dari gedung perpustakaan.
15 menit berlalu, akhirnya Aksa dapat bernafas lega dengan senyum sumringahnya. Ia telah menyelesaikan banyak soal yang begitu sulit dengan mudah. Pemuda itu menoleh ke samping, terkejut tak mendapati Kara di sana. Padahal sedari tadi mereka bersama duduk bersampingan tanpa berbincang.
Namun tiba-tiba gadis itu menghilang atau mungkin Aksa saja yang terlalu fokus pada tugasnya sehingga tak menyadari bahwa Lengkara sudah beranjak pergi.
Pandangan Aksa berhenti pada dua buah buku yang tergeletak di bagian meja tempat tadi Lengkara duduk. 1 buku novel dan 1 buku catatan bersampul hitam. Sepertinya Lengkara tak sengaja meninggalkan dua buku itu.
Dengan lancang, saking penasarannya, Aksa membuka buku bersampul hitam yang ia yakini adalah buku harian Kara.
Setiap saat aku merelakan takdir membawaku ke manapun. Aku tak peduli akan seberapa sakit dan seberapa sulit hari-hari yang penuh dengan kemungkinan yang senantiasa aku hadapi. Aku selalu memulai hari dengan tersenyum, nyaris tak pernah semenyedihkan ini.
Hingga suatu ketika sebuah catatan dalam kertas menghancurkan kedamaian yang aku rasakan. Semua berubah menjadi hitam. Hidupku yang penuh dengan warna seakan terhapus secepat kilat olehnya.
Temaramnya malam menjadi tempat bernaungku. Hujan pun menjadi sahabatku. Aku tak tahu lagi aku harus melakukan apa. Dirasa percuma, sebab aku tak lagi memiliki kesempatan. Semua harapanku hilang. Tak ada yang bisa aku gapai dengan penuh semangat. Aku kehabisan tenaga untuk melakukan semuanya. Sehingga yang kulakukan hanyalah diam dan meratapi takdir yang untuk pertama kali aku tentang.
Sungguh, aku membenci takdirku di bagian ini.
Lengkara.
Aksa terkesima dengan tulisan bermakna indah hasil tangan Lengkara. Ia lantas membuka lembar selanjutnya untuk membaca tulisan lain.
Dulu, menulis adalah bagian yang tak ada artinya dalam hidupku. Namun seiring berjalannya waktu, menulis menjadi bagian dari hidupku. Saat dunia tengah hancur, aku menulis. Saat rumah tak bisa kujadikan tempat pulang, aku menulis. Hanya itu yang bisa membuatku bangkit. Meski dengan cara sederhana, melalui pena dan secarik kertas yang rela kunodai sucinya, membuatku tenang walau tak kunjung lama.
Aku memang tak sepandai sastrawan yang dengan lihai menumpahkan ide dan pemikirannya membentuk sebuah tulisan yang utuh. Dibaca oleh semua orang dan memberikan banyak manfaat.
Aku hanya seorang gadis yang membutuhkan tempat bernaung, tempat mengadu dan tempat yang menenangkan. Sebab, dunia dan isinya kini tak berpihak padaku. Aku di sini, seorang diri, terseok meminta pengasihan dan berakhir sendirian.
Lengkara.
“Dia suka nulis ternyata. Tulisannya bagus-bagus.” Komen Aksa setelah membaca beberapa lembar catatan. Hingga tak sadar kelas akan dimulai 2 menit lagi.
“Ya ampun, gue harus buru-buru.” Ujarnya, sembari membawa tas dan buku Lengkara.
.........
Malam pekat menguasai. Setelah senja singkat memberikan keindahan sesaat kepada para penikmat, malam lantas merebut segala indah itu. Sebagian manusia berkeluh, sebab hanya memiliki waktu kilat untuk menikmati keelokan ufuk timur.
Sebagian lagi bersyukur sebab bisa beristirahat setelah bekerja seharian. Salah satu manusia yang bersyukur adalah Aksa. Pemuda itu teramat menyukai malam. Sejak SMA di waktu senggang, Aksa selalu mendaki gunung, menikmati suasana malam dan mengabadikannya melalui ingatan.
Namun sekarang, tatkala ia disibukkan dengan berbagai macam kegiatan di dalam dan di luar kuliah, Aksa jadi jarang sekali mendaki bersama teman-teman pendakiannya. Sebagai pelampiasan, Aksa selalu berdiam diri di balkon lantai dua kamarnya sembari membaca buku ataupun bermain gitar.
Malam ini, Aksa tengah menjadi lelaki kurang ajar. Membaca tiap lembar suara yang Lengkara tuliskan dalam buku catatan yang isi tulisannya lumayan banyak tanpa meminta persetujuan pada sang pemilik.
Aksa tadinya tak ingin lancang, namun makna tulisan dalam buku sang gadis memancingnya untuk menggali lebih jauh. Aksa bisa merasakan kehadiran Lengkara dalam tulisan yang gadis itu rangkai. Setengahnya menampilkan tekanan pulpen pada kertas yang sepertinya pernah terkena air.
Apa itu air mata?
Sebelumnya Aksa tidak pernah se-penasaran ini terhadap perempuan manapun. Namun saat mencoba mengenal Lengkara melalui tulisan gadis itu, Aksa menjadi ingin tahu lebih dalam mengenai sosok Lengkara Mahreen Khansa.
Aksa ingin tahu, apa yang membuat gadis itu membuat tiap bait yang begitu indah dan memiliki makna yang begitu dalam. Membuatnya candu untuk terus membacanya tanpa henti.
Lengkara,
Apa yang membuat dirimu tergerak untuk menuliskan tiap bait yang begitu memabukkan?
Tiap kalimat yang kau tulis seakan menyihirku untuk tetap membacanya
Adakah maksud yang kau sembunyikan dalam tulisanmu?
Jika ia, tolong katakanlah
Jiwa ini menuntut jawaban atas apa yang kau gelorankan dalam tulisan
Dan untuk pertama kalinya dalam hidup Aksa, di buku tempatnya menuangkan segalanya, ada tulisan tentang seorang gadis bernama Lengkara.