Sesuai mata kuliah terakhir, Lengkara memasukkan buku-bukunya kembali sebelum pulang. Saat ia membuka tas, meraba isinya, Lengkara melotot. Ia menyadari bahwa ada sesuatu yang hilang. Kembali memastikan sembari melihatnya, buku itu tetap tidak ada. Lantas dengan secepat kilat, Lengkara berlari menuju perpustakaan, tempat terakhir kali ia berkutat dengan buku hariannya.
Lengkara mengeluh dan menenggelamkan kepalanya di atas meja. Ia tak menemukan buku itu sama sekali, bahkan saat ia tanyai penjaga perpustakaan, mereka menjawab tidak tahu. Lengkara resah, baginya buku itu adalah nyawa. Segala hal tentang dirinya dan isi hatinya telah ditumpahruahkan dalam buku itu. Kini, buku itu hilang entah ke mana dan entah pada siapa buku itu mendarat. Bisa saja Lengkara membeli buku baru dan menuliskan sesuatu yang baru. Namun tetap saja Lengkara ingin bukunya itu kembali.
Berpasrah diri dan berharap esok hari ada seseorang memberikan bukunya, Lengkara memilih pulang ke rumah untuk istirahat. Menaiki motornya, Lengkara menelusuri jalan dengan melamun. Memikirkan kemungkinan di mana bukunya berada. Apa benar tertinggal di perpustakaan? Atau di tempat yang lain? Tapi, seingat lengkara ia menulis di buku itu tepat saat dirinya berada di perpustakaan.
Lengkara mendengus. Pertanyaan yang terus berputar di kepalanya tak mampu untuk ia jawab. Hingga tak terasa, 20 menit berlalu, ia sampai di depan rumahnya.
“Gimana kuliah kamu?” tanya bunda setelah Lengkara menyalami.
“Baik.” Jawab Lengkara, tanpa gairah seperti biasa.
Bunda menghela nafasnya, menyayangkan perubahan anak gadisnya ini. “Udah makan?” bunda melangkah masuk mengikuti Lengkara.
“Udah.” Jawab Lengkara bohong. Ia terus melangkah menuju lantai dua, tempat di mana kamarnya berada. Lalu masuk ke dalam kamar tidurnya tanpa mengindahkan bunda.
Bunda tak bisa mengatakan apa-apa lagi. Semenjak hari itu, Lengkara berubah. Ingin rasanya ia mengatakan bahwa ia begitu merindukan Lengkara yang dulu. Namun ia tak bisa apapun selain mendoakan Lengkara yang terbaik.
Dengan malas, Lengkara meloncat ke atas kasurnya bersama isi kepala yang masih memikirkan di mana bukunya berada. Lalu dengan gelisah Lengkara membalikan badan menjadi terlentang. Menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong, membayangkan hidupnya akhir-akhir ini begitu monoton. Kemudian ia menarik nafas begitu dalam sampai embusannya terdengar jelas. Ingin rasanya ia kembali seperti dulu. Namun rasanya mustahil. Apalagi ia sudah tak bersemangat lagi menjalani hari. Jika bukan karena bujukan ayah dan bunda, Lengkara akan memilih mengurung diri di kamar daripada harus melanjutkan kuliahnya.
........
Sekali lagi, memastikan keberadaan bukunya, Lengkara mendatangi perpustakaan di pukul 8 pagi. Dengan gelisah, ia mengelilingi seluruh sudut lemari berharap ada bukunya terselip. Kemudian ia berjalan menuju ruang baca. Lengkara terus berjongkok melihat ke kolong meja, tetapi tak kunjung menemukan apa yang dicari. Untuk kesekian kali di pagi ini Lengkara menghela nafas dalam. Entah harus ke mana lagi ia mencari bukunya itu.
“Nyari ini?”
Sebuah suara menginterupsinya. Membuat Lengkara refleks menoleh ke belakang, di mana Aksa tengah bersandar di lemari rak buku. Sedari tadi Aksa memerhatikan Lengkara. Tadinya ia berniat kembali menyimpan buku Lengkara di tempat yang sama saat terakhir buku itu tergeletak. Namun ia malah asik menonton keresahan Lengkara di belakang gadis itu.
“Buku gue!” Lengkara secepat kilat merebut bukunya.
“Kemarin lo tinggalin di sini, jadi gue ambil.” Kata Aksa.
“Makasih.”
Aksa mengangguk. “Lain kali jangan teledor. Walaupun itu sekedar buku, gue tahu kok itu berharga buat lo. Buktinya lo nyari-nyari terus.”
Lengkara menatap Aksa. “Tahu dari mana?”
“Penjaga perpustakaan bilang.” Kemudian Aksa berbalik, hendak pergi ke kelasnya karena akan dimulai sebentar lagi. Tetapi Lengkara memanggil, membuat Aksa kembali menghadap gadis itu. “Kenapa?”
“Lo... gak baca buku gue kan?” tanya Lengkara ragu-ragu.
Aksa tersenyum tipis, nyaris tak terlihat oleh Lengkara. “Baca.” Singkatnya Aksa tak ingin berbohong.
Lengkara melotot, sudah ia duga akan dibaca pemuda yang tak ia kenali itu. “Kok lo lancang banget sih?!” suara Lengkara yang tinggi membuat beberapa mahasiswa terusik, menatap ke arah Lengkara dengan sinis, juga penjaga perpustakaan yang mendesis.
“Ini perpustakaan, bukan lapang bola.” Kata Aksa. “Gue gak sengaja baca. Lagian gak semua kok, santai aja.” Berbalik lagi, namun Lengkara memanggil. “Apa lagi?”
“Baca sampe mana?”
Aksa menghela nafas. “Emang kenapa sih?”
“Baca sampe mana!” Lengkara mempertegas.
“Sampe bagian puisi berjudul ‘Kehilangan’.” Dan sekarang, Aksa benar-benar pergi dari perpustakaan.
Lengkara memeluk bukunya, seakan tak ingin kehilangan lagi buku yang amat berharga untuknya. Dan apa yang dilakukan Aksa seakan menelanjangi dirinya tanpa izin. “Berarti dia udah baca sampe halaman pertengahan.” Gumamnya.
........
“Gue males ah, mau pulang aja dah!” Novan memeluk tihang saat Sagara berusaha menariknya untuk terus melangkah menuju ruang kesekretariatan.
Sore ini ada rapat dadakan yang dikabarkan oleh divisi PSDO kepada grup kepengurusan. Katanya ada beberapa hal yang ingin ketua umum UKM taekwondo sampaikan kepada semua pengurus. Galen dan Aksa yang berada di depan mereka menatap keheranan Sagara dan Novan.
“Bentar aja, Nov, gak lama.” kata Galen.
“Ayok! Lo jarang banget kumpul rapat! Gue sebagai ketua divisi gak mau terus ditumbalin sama lo. Sekali-kali gue yang numbalin lo!” Sagara terus berusaha menarik Novan yang semakin kewalahan.
“Gue pengen boker, Gar!”
“Kagak ada! Gue gak mau terima alasan lagi! Kita harus menghormati dan menghargai Asep sebagai ketua umum, walaupun di luar organisasi dia sama gesreknya kayak lo! Cepat!” Sagara semakin mengerahkan tenaganya untuk menarik Novan. Begitu juga dengan Novan yang semakin mengerahkan tenaganya untuk memeluk tihang.
“Namanya Agam, goblok! Bukan Asep!” seru Novan.
Aksa yang sudah muak melihat pemandangan itu dan menghabiskan waktunya, mengatakan, “Gue kasih nomor cewek cantik buat lo kalau lo mau ikut rapat.” Kepada Novan yang langsung melepaskan pelukan pada tihang dan secara otomatis Sagara yang sedang menariknya terjatuh ke lantai dengan ringisan yang kencang.
“Novan sialan!” pekiknya. Novan malah tertawa sembari berlari menaiki tangga kemudian Sagara berdiri tertatih untuk mengejar Novan sambil memegang pantatnya yang kesakitan.
“Janji ya, Sa!” teriak Novan pada Aksa.
“Temen lo gini amat, Len.” Komen Aksa.
“Temen lo juga, Sa.” Balas Galen.
Sampai di sekretariat, tanpa sengaja pandangan Aksa dan Lengkara bertemu. Namun mereka tak saling melemparkan senyum. Sebab Lengkara buru-buru merunduk, memalingkan pandangan dari Aksa. Aksa sendiri pun langsung duduk di kursi kosong bagian depan. Sementara ketiga temannya duduk di kursi kosong bagian belakang.
1 jam berlalu, akhirnya rapat selesai. Semua berkemas untuk segera pulang karena hari sudah mulai gelap. Saat Aksa dan Lengkara lagi-lagi tak sengaja bersitatap, mereka tak juga bertukar senyum. Meski sebenarnya Aksa hendak sekali melengkungkan sudut bibirnya ke atas dan meminta maaf atas kelancangan dirinya yang membaca catatan Lengkara. Namun Lengkara keburu keluar ruangan seperti berusaha menghindarinya. Saat Aksa hendak keluar ruangan, Agam—ketua umum taekwondo memanggilnya.
“Bisa ngobrol sebentar gak, Sa?” tanyanya.
“Bisa, kenapa?” tanya Aksa.
Agam menarik kursi, begitupun dengan Aksa. Mereka duduk berhadapan. “Gini, gue minta tolong ke lo, tolong bujukin Lengkara.” Ia memasang wajah serius, membuat Aksa penasaran.
“Emangnya kenapa?”
“Lengkara udah 3 kali ngajuin ngundurin diri dari UKM. Gue pengen lo ngebujuk dia untuk bertahan minimal sampe akhir kepengurusan. Soalnya gue punya alasan kenapa mertahanin dia, Sa. Dia rajin banget di organisasi walaupun jarang latihan taekwondo-nya. Dia selalu back up gue di saat BPH lain lagi gak bisa back up. Makanya gue mau mertahanin dia banget, Sa. Bantu gue ya? Kalau dengan cara lo dia tetep pengen ngundurin diri, gue bakal setujuin keputusannya.” Jelas Agam dengan raut keputusasaannya.
Aksa dapat merasakan apa yang Agam rasakan sekarang. Sebab, bagaimanapun Aksa pernah menjadi ketua organisasi di SMA. Dia paham betul perasaan seorang ketua. Ketua mana yang ingin anggotanya keluar begitu saja dan staff kepengurusan berkurang? Tentu semua ketua ingin seluruh anggotanya bertahan minimal sampai akhir jabatannya. Maka daripada itu, Aksa menyanggupi permintaan Agam. Ia akan berusaha sebisa mungkin untuk membujuk Lengkara agar bertahan di UKM taekwondo.
“Yaudah gue cabut dulu ya.” Aksa menyalami Agam.
“Thanks, bro, lo emang selalu bisa diandelin.” Agam menepuk pundak Aksa bersahabat.
Aksa mengangguk. “Santai.”
Kondisi kampus menjelang malam mulai sepi. Parkiran yang tadinya penuh, kini hanya menyisakan beberapa kendaraan saja, menandakan masih ada kegiatan di sini. Aksa yang telah siap memakai helmnya, memundurkan motor secara perlahan. Namun saat ia menyalakan mesin, hujan perlahan turun dari hanya rintikan kecil lama kelamaan semakin deras. Buru-buru Aksa turun dan mencari tempat untuk berteduh. Beruntung setiap hari ia selalu membawa jas hujan dalam tasnya. Jadi Aksa tak perlu khawatir karena tak tubuhnya akan basah kuyup karena hujan. Apalagi malam-malam begini.
Setelah siap dengan jas hujan yang telah melindungi tubuhnya, Aksa kembali menaiki motor. Ia melaju secara perlahan keluar dari kampusnya. Tak ingin menggunakan kecepatan penuh, menghindari kecelakaan, Aksa melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Menikmati malam yang ditangisi hujan deras, Aksa tak sengaja mendapati seseorang yang tengah berjalan di bawah hujan. Ia memeluk tubuhnya sambil terus berjalan tak peduli jika hujan telah membasahi tubuhnya dan dingin menusuk-nusuk dadanya. Otomatis Aksa memberhentikan motornya, membuka kaca helm full-facenya memastikan bahwa itu adalah orang yang Aksa kenal.
“Lengkara?” gumamnya. “Itu Lengkara kan?” tanpa menunggu lama, Aksa menyusul Lengkara dengan motornya. “Kara! Kara!”
Lengkara merasa ada yang memanggil, menoleh ke empu suara.
“Lo ngapain hujan-hujanan malem-malem gini?” suara Aksa meninggi karena menandingi suara hujan.
“Bukan urusan lo!” Lengkara melanjutkan langkahnya.
“Kar, nanti lo sakit!”
Lengkara tak menjawab lagi, ia terus berjalan. Sementara Aksa tak menyerah. Bukan apa-apa, ia tak ingin terjadi sesuatu terhadap Lengkara yang adalah adik tingkatnya di kampus dan juniornya di organisasi.
“Kar, pulang sama gue aja. Gue anter lo ke rumah.”
“Gue bisa sendiri.”
Aksa jengah, ia kesal kepada Lengkara yang keras kepala. Lantas, Aksa turun dari motornya dan mengejar Lengkara. Menghadang gadis itu yang tingginya hanya sampai ke bawah telinga Aksa. “Kalau lo diapa-apain sama orang iseng malem-malem gini pas hujan gimana, Kar? Lo gak takut apa?”
“Awas.” Lengkara malah mencoba menjauh dari Aksa. Tentu Aksa menahan dengan memegang kedua bahu Lengkara.
“Pulang sama gue. Gue janji bakal anter lo ke rumah dengan selamat.”
“Gue gak mau.” Tolaknya mentah-mentah. Padahal jelas-jelas wajahnya sudah memucat dan tubuhnya menggigil.
“Kara!” bentak Aksa. Ia sebenarnya tak ingin melakukan ini. Tapi Lengkara terlalu keras kepala.
Lengkara semakin menundukkan kepala. Pundaknya gemetar seperti menangis. Aksa yang merasa bahwa penyebab Lengkara menangis adalah bentakkannya tadi meminta maaf. “Kar, gue.. gue minta maaf, gue gak maksud apa-apa, Kar. Gue cuman khawatir sama lo.”
Di balik hujan yang mengguyur mereka, Lengkara mengusap air matanya dan menggelengkan kepalanya. “Bukan karena lo kok.”
“Terus kenapa?”
“Oke gue bakal balik sama lo.” Ujarnya, tanpa menjawab pertanyaan Aksa.
Aksa menghela nafas lega. Ia lantas menuntun Lengkara menuju motornya. Lengkara dan Aksa sendiri sempat tertegun dengan hal ini. Namun Aksa memegang tangan Lengkara karena refleks saja, tidak ada maksud lain. Sedikit melaju, Aksa memberhentikan motornya di depan supermarket. Ia menyuruh Lengkara untuk menunggu di dekat motornya dan mengatakan jangan ke mana-mana. Setelahnya, Aksa masuk ke dalam supermarket, membeli jas hujan dan kopi untuk menghangatkan tubuh Lengkara.
“Minum dan pake.” Aksa menyerahkan keduanya ke Lengkara. “Walaupun lo udah basah kuyup, seenggaknya perjalanan pulang lo gak kena air hujan lagi.” Dengan ragu, Lengkara menerima keduanya. Ia memakai jas hujannya dan memegang kopi tanpa meminumnya.
“Kenapa gak diminum? Gak suka?” tanya Aksa.
Lengkara menggeleng. “Suka.” Kemudian ia menyeruputnya secara perlahan.
“Diminum sampe habis. Biar tubuh lo hangat. Lain kali jangan hujan-hujanan, apalagi malem. Rawan kejahatan, Kar.” Ceracau Aksa.
“Kok lo—tahu nama gue?” tanya Lengkara ragu-ragu setelah satu menit mereka saling diam.
“Kita seorganisasi, Kar. Gue pasti tahu lah nama lo. Dan gue juga yakin lo tahu nama gue. Kita gak perlu kenalan lagi.” kata Aksa.
Lengkara tak mengatakan apapun lagi. Saat Lengkara menghabiskan setengah kopinya dan mengatakan bahwa ia tak semenggigil tadi, Aksa dan Lengkara pergi menuju rumah Lengkara. Malam itu diselimuti oleh keheningan. Sepanjang jalan hujan terus turun dengan derasnya. Tak ada perbincangan sama sekali di antara mereka. Lengkara pun terpaksa memeluk Aksa, sebab Aksa takut jatuh jika dibonceng dengan motor ninja Aksa. Aksa sendiri tidak keberatan akan hal itu.
........
“Makasih ya.” Lengkara hendak membuka jas hujan dan memberikannya kepada Aksa, namun Aksa menolak.
“Simpen aja. Lain kali jangan hujan-hujanan.”
Lengkara mengangguk patuh, menarik kembali tangannya. “Gue masuk dulu.”
Aksa mengangguk. Memperhatikan gadis yang akhirnya menghilang di balik pagar yang tertutup. Kemudian pemuda itu pulang ke rumahnya dengan berbagai pertanyaan yang mulai menyerang kepalanya. Tentang Lengkara.
Temaramnya malam menjadi tempat bernaungku. Hujan pun menjadi sahabatku.
Kata-kata dalam buku Lengkara terus terngiang-ngiang di benak Aksa. Apakah itu alasan kenapa Lengkara lebih memilih hujan-hujanan meski malam daripada berteduh? Lantas apa alasan yang mendorong Lengkara hujan-hujanan selain itu? Aksa yakin ada suatu hal lain yang membuat gadis itu mengguyur tubuhnya dengan air hujan. Membiarkan dirinya ditusuk-tusuk secara ganas oleh dinginnya malam. Dan menangis saat Aksa membentaknya, lalu mengatakan bahwa tangisnya bukan disebabkan oleh Aksa. Lalu kenapa dia menangis? Semua tak masuk akal, Aksa belum bisa menemukan jawaban yang pasti.
Diam-diam Aksa berharap, semoga bukan karena bukunya yang sempat Aksa baca.