Gemerlap lampu Taman Kreasi menjadi pemandangan lumrah anak-anak Geng Senter pada Selasa malam. Mereka langganan main di sini karena sepi lalu lalang motor. Atau lebih tepatnya, banyak yang sudah hafal jadwal balapan mereka, jadi enggak mau ambil risiko bising, macet, ricuh, atau hal-hal kurang menyenangkan lainnya. Lagi pula, daerah ini merupakan pintasan yang populer saat pagi saja. Selain hari ini pun tetap jarang yang melintas. Katanya, dulu sering ada begal dan agak membentuk trauma. Tapi, kalaupun nanti warga merasa dirugikan, mereka akan dengan senang hati pindah demi kenyamanan bersama.
Seperti biasa, anggota Geng Senter berkumpul di bawah pohon beringin, samping gerbang yang selalu dikunci. Mereka tampak mengenakan jaket kebanggaan yang berlambang gir motor di bagian punggung, serta moto yang ditulis miring tepat di bawahnya. Sudah sekitar sebelas motor terparkir rapi di sebelah pedagang cilok panggilan yang dipesan sebagai teman nongkrong.
Geboy menatap sekeliling lalu mendengkus. Belum rame, keluhnya dalam hati. Ia yang sejak tadi memanasi mesin pun lekas merapatkan ritsleting. Hawa dingin bercampur debu jalanan mulai bertebaran dan bisa memperparah flu kemarin. Daripada diceramahi anggota lain, terutama Komal, lebih baik ia mengantisipasinya lebih dulu.
"Nunggu sampai kapan, Boy?" tanya lelaki bercelana pendek yang mengotak-atik mesin.
"Lima belas menit lagi."
"Oke."
Hari ini agenda mereka adalah mengenalkan lintasan balap pada anak baru. Meski Geng Senter berbasis motor klasik dan fokus kegiatannya lebih ke kreativitas, mereka tetap menjajal dunia lain, termasuk balapan. Tapi, enggak sembarang anggota bisa mengikuti kegiatan ini. Mereka harus memastikan motor yang dipakai dalam kondisi setelan pabrik. Geboy yang memberlakukan peraturan itu karena beberapa alasan. Pertama, dulu pernah ditegur warga akibat knalpot yang dipakai menimbulkan suara melengking dan berisik. Kedua, jaga-jaga adanya kesalahan modifikasi yang berakibat kecelakaan fatal. Ketiga, sayang bahan dan usaha mereka kalau motor yang diotak-atik itu rusak cuma karena main di arena seperti ini.
"Boy, anak geng sebelah ke sini lagi, tuh."
Sang empunya nama itu lekas menoleh, mengikuti arah pandang Komal. Benar saja, ada sekitar lima motor yang mendekat. Lagi dan pasti, mereka mau bernegosiasi seperti minggu sebelumnya. Geboy enggak mau ambil pusing dan memilih menunggu, beda dengan anggota lain yang mulai ketar-ketir. Pasalnya, senior mereka belum ada yang datang dan urusan bakal repot kalau huru-hara 'rebutan track' kembali terjadi.
"Kalian ngapain ke sini?" Geboy melirik sinis saat Bobi, salah satu di antara mereka, menghampirinya dengan santai.
"Chill, dong. Kita cuma mau nanya jam berapa kalian selesai pake tempat ini. Mau gantian."
"Nggak tau. Lo tunggu aja sendiri."
Lelaki yang sempat tersenyum ke arah Randu, teman sekelasnya, itu berdecak dan menyeringai. Ia makin berani dan maju dengan tangan bersedekap. Komal yang mulai panik sontak menelan ludah dan berjaga-jaga di belakang Geboy, bersiap mengunci tangan sahabatnya itu kalau-kalau nanti kelepasan mau adu jotos.
"Tinggal tentuin aja apa susahnya? Gue males kalau harus nonton bebek 90an lomba agustusan. Nggak level."
Geboy mengepal. Ia mengatur napas lalu mendengkus. Tepukan Komal pada pundaknya seakan menghipnotis untuk enggak terprovokasi. Ia pun refleks mengangguk. Memang benar, meladeni bocah kaya pencinta motor gede seperti mereka cuma buang-buang waktu.
"Mending lo balik aja. Kalau kita udah beres biar Randu yang ngasih kabar."
"Kok gue?"
"Dia temen lo."
"Gue nggak pernah nganggep dia jadi temen."
Geboy mengusap wajah kasar. "Paling enggak kan lo punya nomor dia, Ndu."
"Ya tapi gue ogah lo suruh-suruh buat chat."
Tai lo emang, batin Geboy. "Iya, gampang. Gue yang telepon entar."
Bobi cukup menikmati drama di depannya hingga tertawa receh. Ia sudah tahu desas-desus betapa enggak rukunnya ketua Geng Senter dengan salah satu anggota mereka, yang ternyata sepupu sendiri. Benar-benar gokil. Ia sampai spontan bertepuk tangan dan menarik perhatian anak-anak sekitar.
"Kenapa?" tanya Geboy heran.
"Gue speechless aja. Ternyata segini doang solidaritas di tempat lo."
"Bukan urusan lo. Udah sana cabut!"
"Buru-buru banget kenapa, sih? Biar nggak makin kelihatan boroknya? Nggak pengen jadi hot topic di Boswan? Geboy si leader nggak becus, nggak dihormati anggotanya sendiri, dan apa lagi? Gue perlu ngopi sama Randu deh kayaknya."
"Bangsat!"
Geboy yang sedari tadi menggigit bibir sampai hidungnya kembang kempis pun enggak tahan lagi. Tanpa sadar ia memukul rahang kanan Bobi hingga lelaki itu limbung dan tersungkur. Komal langsung plonga-plongo karena kecolongan. Ia pun berpindah ke depan Geboy dan mendorong kawannya untuk mundur, menjauh dari musuh.
"Pergi lo dari sini! Tai!"
"Sstt, udah. Minggir." Susah payah Komal menahan Geboy yang masih ingin menghajar Bobi. "Ndu, beresin tuh temen lo!"
"Udah gue bilang dia bukan temen gue!"
"Nggak usah banyak bacot, udah sana!"
"Iya, iya."
Mau enggak mau Randu membantu Bobi--yang sebenarnya sudah ditolong anak Geng Boswan--untuk balik ke motor dan enyah dari taman. Ia juga berpesan buat bersembunyi dulu karena mode gelap Geboy amatlah mengerikan. Meski musuhan garis keras, sebagai sepupu yang tumbuh kecil bersama, Randu tahu benar kelakuan lelaki itu kalau di puncak amarahnya.
Sementara itu, Komal masih sibuk mengipasi Geboy dengan kedua tangan. Ia sudah menawarkan dua jenis minuman dingin yang ditolak mentah-mentah. Geboy terus memukul-mukul pembatas jalan sampai jari-jarinya lecet dan berdarah. Baginya enggak masalah, selama rasa gedek di hati ada pelampiasannya.
"Tahan emosi lo. Kalau senior lihat bisa kena teguran lagi. Mau?"
"Persetan."
"Gue tau lo kesel, apalagi dia bawa-bawa Randu juga, tapi main kasar juga bukan solusi, Boy."
"Bodo amat."
Hah …, Komal memutar bola matanya. Ia enggak ngomong apa-apa lagi. Lanjut pun percuma, Geboy sedang di masa 'apa pun yang lo bilang enggak bakal gue dengerin'. Ia lantas menghampiri para anggota, melanjutkan agenda yang tertunda--menggantikan Geboy yang masih emosi--dan mengawasi jalannya ronde pertama yang segera dimulai.
"Lo kenapa?"
Geboy mendongak saat bahunya tiba-tiba ditepuk, padahal Komal sudah di tengah jalan. Rupanya orang yang ditunggu baru saja tiba dan amat semringah di sampingnya. Sontak ia berdiri. Sial, tampangnya berantakan dan ia bahkan enggak menyambut kedatangan senior satu ini. Bang Aco, ketua Geng Senter tahun lalu yang sekarang melanjutkan pendidikan di jurusan Teknik Mesin.
"Udah lama, Bang? Sori, gue nggak tahu."
"Baru, kok. Santai aja. Ada apa? Kelihatannya nggak enak banget."
Geboy mempersilakan Aco buat duduk. "Biasa. Tadi ada anak sebelah yang nyari masalah ke sini. Udah clear, kok, Bang."
"Hoo gitu, syukur deh." Aco mengeluarkan rokok lalu menyalakannya. "Lo nggak main?"
"Nggak, Bang. Anak baru aja. Niat gue malam ini cuma ngobrol sama lo."
"Oh, iya. Masalah mentor kemarin. Itu lo serius?"
Geboy manggut-manggut. "Pak Bonang jarang ngasih arahan, padahal gue perlu sosok guru yang bener. Lo tau sendiri, Bang, si Randu jagonya kayak apa. Dia ngincar posisi gue dari lama."
"Tapi kenapa gue, Boy? Kan ada Bang Sam noh, yang lebih sering mampir ke sini."
"Kurikulum dia sama gue kan udah beda jauh, Bang. Takutnya udah nggak relevan. Mendingan lo ke mana-mana, kan?"
"Iya, sih." Aco lalu mengembuskan kepulan asap yang membentuk lingkaran. "Tapi gue nggak yakin bisa bagi waktu."
"Dicoba dulu, Bang. Kalau lo mau, entar gue bilang ke bokap buat ngomongin fee, sekalian ngasih rekom track record lo. Barangkali ditarik ke bengkel atau kantor."
"Menarik juga tawaran lo."
Geboy tersenyum tipis. Ia berkedip konstan dan menelan ludah kasar. Tangannya yang gemetaran mulai berkeringat dingin. Degup jantungnya juga enggak karuan.
Ia baru bisa benar-benar bernapas lega setelah Aco mengatakan:
"Oke, deal. Kita percobaan minggu ini."
***