Ada dua hal yang dihadapi Geboy pagi ini:
1. Pak Bonang absen karena istrinya mau melahirkan
2. Uji praktiknya dalam memeriksa dan mengganti baterai Beat milik Komal lebih dari lima menit
Lelaki berseragam putih abu-abu itu mendengkus, lalu berbaring tanpa tikar sambil menatap langit-langit kelas. Pikirnya, hamparan luas penuh debu laba-laba itu bisa memberi solusi, atau minimal jawaban kenapa tiba-tiba ia bisa selelet ini. Tapi sayang, pening yang sesekali datang kini makin menjadi-jadi karena terus berpikir.
Suhu tubuh Geboy abnormal sejak pagi, padahal ia enggak hujan-hujanan, apalagi ketularan flu seseorang--anak Geng Senter sehat wal afiat. Ia sudah meminum parasetamol yang diambil dari laci rias mamanya. Ia juga memastikan obat itu enggak bakal bikin mengantuk. Tapi, belum ada efek mujarab dari sana. Ia masih pecah fokus, mudah lemas, dan bawaannya mau tiduran saja.
Andai rekornya tadi bagus, paling enggak Geboy bisa bersantai. Masalahnya, kerapian dan detail yang Pak Bonang minta justru menurunkan kecepatan kerjanya. Padahal, permainan waktu dalam Praktik Meja sangatlah krusial. Dari sekitar dua belas praktik--pemeriksaan baterai, pemasangan cam chain, perangkaian sistem electric starter, sampai penggantian pad set--hanya diberi waktu 90 menit. Kalau ini saja Geboy belum bisa move on, entah bagaimana ia bisa menghadapi soal Trouble Shooting.
"Nih, minum dulu."
Geboy sontak mendongak dan sedikit menoleh. Ia tersenyum dan lekas duduk saat Komal membawa dua botol teh sosro yang dipastikan belum dibayar--biasanya begitu. Lelaki itu menerima dengan senang hati dan sejenak bisa mendinginkan pikiran. Sahabatnya itu memang paling tahu apa yang ia perlukan.
"Bentar lagi jam masuk, tapi lo diminta ke BK dulu buat ngisi berkas."
"Siapa yang bilang?"
"Si ketua kelas. Siapa itu namanya? Lupa lagi gue."
"Ck, makanya tuh otak isinya jangan Sawako doang! Temenan udah setahun masih aja nggak hafal."
Komal melirik sinis. "Udah dikasih tahu tinggal bilang makasih, apa susahnya?"
"Iya, iya, sori. Makasih, Mal. Gue cabut dulu kalau gitu. Tehnya lo yang bayarin."
"Gampang. Gue utang."
Geboy merapikan alat-alatnya lalu beranjak. "Jangan dibiasain, Mal."
"Becanda, anjir. Gue punya duit, kok."
Meski masih bisa tertawa, cenat-cenut di pelipis Geboy sungguh enggak main-main. Bahkan, warna pandangannya mulai berubah hitam kehijauan. Tarikan napas juga makin susah dan rasanya panas sekali. Setiap ingin menelan ludah pun seperti ada yang mengganjal dan ia jadi kerepotan sendiri.
Baru beberapa langkah, kaki Geboy tiba-tiba menekuk lemas dan ia oleng ke kiri. Kepalanya hampir membentur pintu kalau saja si Komal enggak gerak cepat menariknya menjauh. Sontak lelaki itu enggak sadarkan diri setelah dientak cukup keras.
"Shit! Lo panas banget!" umpat Komal saat menyadari badan Geboy enggak ada bedanya dengan rebusan baso aci.
Ia lekas berteriak meminta bantuan. Syukurlah, bel yang baru saja berbunyi membuat banyak lalu lalang siswa di depan lab. Mereka pun membantu mengangkat Geboy dan segera ke UKS.
Salah satu petugas PMR diminta untuk memberi pertolongan. Tapi, ya, mereka bisa apa? Cuma meringankan demam Geboy dengan kain bersih yang dibasahi air hangat dari kantin. Bagi Komal, itu sudah lebih baik karena ia enggak tahu harus bagaimana. Mungkin, kalau nanti sahabatnya belum mendingan juga, ia baru membawanya ke puskesmas.
"Siapa nama lo? Makasih, ya. Sekalian bilang ke Pak Aji kalau gue jagain Geboy di sini."
Gadis berkacamata bulat yang mengunci kotak P3K itu mengangguk. "Gue Aya. Tapi nggak jamin dibolehin, ya. Lo tahu sendiri orangnya gimana."
"Iya. Gue bodo amat juga, yang penting udah bilang. Makasih sekali lagi."
Aya memberi jempolnya lalu keluar UKS. Enggak berselang lama, Geboy bangun dan langsung menghela napas panjang. Komal pun sadar dan langsung mendekat.
"Mau minum?" Kali ini Komal menawari segelas air putih yang ada di nakas, tapi ditolak oleh Geboy.
"Makasih. Lo nggak ke kelas?"
"Males ketemu Pak Aji. Mending di sini bolos sama lo."
"Tai!" Geboy sedikit tertawa. "Makasih."
Komal tersenyum paksa. "Kelar berantem kemarin lo nggak berobat, ya?"
Geboy hanya menunduk dan menggeleng. Ia enggak berani menatap kawan sejatinya itu.
"Lo nyuruh gue bawa sepupu lo itu ke puskesmas, tapi lo sendiri bonyok sampai demam begini? Gue nggak ngerti logika lo gimana, Boy."
"Kalau dia kenapa-kenapa, gue juga yang kena."
"Terus kalau lo yang kenapa-kenapa, bukan lo yang kena gitu?"
"Ya enggak, sih. Tapi kan--"
"Papa lo lebih ngoceh kalau si Randu yang sakit, terlebih gara-gara lo?"
Geboy memutar bola matanya. "Itu ngerti."
"Emang dia pernah bilang?"
"Belum, tapi--"
"Pikiran lo aja itu, Boy."
"Maybe."
Geboy kembali hening. Ia berbaring lagi tanpa menutup mata. Komal pun bersedekap dan mengentak-entak lantai. Keduanya diam cukup lama sampai notifikasi ponsel dari operator seluler memecah perhatian.
"Gue baru inget," ucap Komal kemudian, "coba buka seragam lo."
"Hah? Ngapain? Jangan mesum lo, anjir."
"Kata si Aya tadi, bisa jadi luka lo ada yang radang. Sebelumnya gue bilang lo sempet berantem, makanya dia nyaranin buat ngecek. Nih, dia udah ngasih salep."
Geboy menatap benda bulat yang beralih di genggaman Komal. Seketika ia menarik selimut hingga menutupi dada dan mundur sampai mepet tembok.
"Menyingkir lo dari gue!"
"Lo mau sembuh nggak, hah? Kagak bisa belajar lo kalau sakit-sakitan gini."
"Gue nggak apa-apa, Mal. Sumpah. Ini demam unyu biasa. Risiko cowok imut. Udah sana! Balik ke kelas!"
"Dikit doang, Boy. Gue mau lihat perut lo yang ditonjok kemarin. Sama kepala lo juga sini. Kemarin kebentur, kan?"
"Shit, ogah. Gue bisa sendiri. Lo, lo, pergi aja udah. Sono!"
Komal makin terpancing. Ia tahu Geboy paling mudah geli dan enggak suka ketika orang lain melihat tubuhnya. Enggak heran kalau setiap ganti pakaian olahraga selalu melipir ke kamar mandi begitu.
Ia pun sontak menyingkirkan selimut dan menarik kaki Geboy sampai lelaki itu terduduk. Sayang, kawannya sudah cukup kuat buat menendang dan berusaha kabur.
"Lo sentuh gue sekali lagi, gue minta balik knalpot racing yang gue kasih kemarin."
"Minta aja kalau bisa."
"Anjir, Komal!"
Sang pemilik nama hanya tertawa puas. Sampai akhirnya aksi itu dihentikan dengan dering telepon yang berkali-kali muncul. Komal terus-terusan bilang 'paling cuma spam mama minta pulsa' dan alasan konyol lain. Tapi, Geboy berfirasat itu panggilan penting karena amat getol menghubunginya.
"Siapa, sih? Ganggu orang lagi seru aja."
"Lo seru, gue kagak."
Geboy segera mengambil ponselnya dan membaca nama penelepon pada layar. Sontak ia terbelalak dan menganga karena itu. Komal pun penasaran dan turut mengecek. Persis. Ekspresinya juga demikian, semacam di-copy paste.
"Bang Aco, Boy. Buruan diangkat!"
Teriakan itu menyadarkan Geboy buat buru-buru menekan screen hijau. Ia lantas mengucap kata 'halo' dan salam, lalu menunggu senior yang ia cari-cari dari kemarin itu untuk berbicara. Dengan sabar ia dan Komal mendengarnya.
"Sori, Boy, kemarin gue lagi sibuk-sibuknya. Ada apa? Kayaknya penting."
Geboy menelan ludah. "Anu, Bang. Besok ikut nge-track, nggak?"
"Jam berapa?"
"Kayak biasa."
"Gue usahain. Kenapa emang?"
Ragu, Geboy memandangi Komal, seakan meminta saran haruskah ia mengutarakan niatnya. Setelah mendapat anggukan dan pundaknya terus-menerus ditepuk, lelaki yang berkeringat dingin--sebab pusing dan gugup sekaligus--itu mulai serius.
"Gue mau minta tolong buat jadi mentor di persiapan LKS nanti."
***