Perseteruan Geboy dan Randu bukan hal baru di Geng Senter, tapi ini kali pertama mereka adu pukul di Warung Abah. Komal lekas menyeret sahabatnya menjauh, meski lelaki itu masih terus mencoba mendorong dan menginjak tubuh Randu yang terkapar. Sebenarnya ia enggak kalah babak belur. Sobekan kecil di sudut bibir kanannya masuk ke rentetan daftar (calon) bekas luka di wajah. Tapi, Randu tentu jauh lebih memprihatinkan. Rambutnya kini bercampur pasir dan kerikil karena terlalu lama di bawah. Bahkan kaus oblongnya berubah lusuh dan terdapat jejak Geboy di mana-mana.
Salah seorang senior membantu Randu untuk berdiri. Mereka membawa keduanya ke dalam warung dan langsung didudukkan saat itu juga. Syukurlah ada mantan ketua dua tahun lalu yang singgah dan mendapati peristiwa itu. Kalau enggak, bisa-bisa Geboy memanfaatkan jabatannya untuk abai dan balik tanpa penyelesaian apa-apa.
"Kalau ada masalah, bicara baik-baik. Kita ini keluarga. Jangan malah berantem kayak gini."
Geboy mendengkus. Berbicara tentang itu memang enggak salah. Terlepas dari Geng Senter, secara biologis ia dan Randu berada di garis keturunan yang sama. Tapi, justru makna saudara itu sendiri yang sudah kabur dari pikirannya.
Apa Randu pernah menganggapnya sebagai sepupu? Kayaknya enggak, pikir Geboy. Dari kecil, mereka selalu rebutan mainan, saingan nilai, malah sampai taruhan cewek pas kelas 8 SMP--waktu itu Randu lagi yang menang. Mereka enggak pernah benar-benar akur. Jadi, dari segi mana bisa dikatakan 'saudara'? Justru orang yang benar-benar Geboy anggap keluarga adalah anggota Geng Senter. Mereka yang selama ini melihat eksistensinya, hal yang belum pernah papanya banggakan.
"Jelasin, ada masalah apa?"
Geboy masih menunduk, sedangkan Randu bersandar pada lemari mi instan milik Abah. Mereka saling tatap cukup dalam sebelum memalingkan wajah dan sama-sama mendengkus. Sang senior pun memutar bola matanya lalu mengambil kursi. Ia duduk di depan Geboy dan menepuk pundak lelaki itu.
"Oke kalau kalian nggak mau cerita. Nggak apa-apa. Itu urusan kalian. Tapi sebagai ketua, seharusnya lo merangkul seluruh anggota, Boy. Yang begini nggak seharusnya terjadi, apalagi di depan warga kayak tadi. Nama geng kita bisa rusak. Paham, kan?"
"Iya, Bang. Maaf."
"Gue harap ke depannya lo lebih bisa kontrol diri. Jangan kebiasaan pake kekerasan buat menyelesaikan masalah." Boni pun bangkit. "Lo juga, Ndu."
Randu bergeming. Entah karena pusing, mual, sakit, atau malas menanggapi senior mereka itu, Geboy enggak tahu. Jelasnya, ia lekas meminta maaf tanpa berjanji enggak akan mengulanginya lagi--karena belum tentu si Randu enggak bikin ulah. Kemudian ia mengantar Boni ke depan dan memanggil Komal untuk masuk.
"Gimana? Udah dingin kepala lo?" tanya lelaki itu to the point setelah di dalam. Sekilas ia menengok Randu yang memejamkan mata, lalu menatap Geboy lagi.
"Lumayan. Minta tolong bawa dia ke dokter. Gue mau balik."
"Oke, kalau gitu--"
"Nggak usah sok peduli," potong Randu ketus.
Geboy melirik dan kembali menghela napas. Tenaganya terkuras setelah menghajar Randu habis-habisan. Ditambah mendengar ocehan Boni yang cukup menamparnya makin bikin mood enggak karuan. Ia malas berdebat. Meladeni Randu sama saja bunuh diri karena akan memancing emosi.
Lelaki itu memilih keluar dan menghampiri Abah, juga warga yang menunggu pengerjaan motor mereka. Ia segera membungkuk dan meminta maaf berulang kali atas kegaduhan yang terjadi. Abah terus berkata 'enggak apa-apa' dan memaklumi hal itu. Darah muda, katanya. Selama bisa dilerai dan diselesaikan secara damai, penduduk sekitar sini enggak akan melapor ke mana-mana.
"Kamu nggak ikut berobat juga, Le?" tanya Abah saat melihat Randu dibopong Komal menuju puskesmas terdekat.
"Nggak, Bah. Langsung pulang aja." Geboy tersenyum tipis.
"Oo, ya udah, hati-hati."
Usai mengangguk, Geboy menepuk pundak rekannya dan mengucapkan terima kasih karena sudah menggantikan tugasnya. Ia lalu beranjak ke parkiran, menyalakan mesin, dan segera melesat ke jalan raya. Ia bahkan malu untuk menyalami anak-anak yang lain. Mereka juga diam saja, membiarkan sang ketua menenangkan pikiran dengan caranya sendiri.
Saat menyetir, fokus Geboy di ambang batas. Sekitar lima kali ia diklakson oleh pengendara di belakang karena melamun di lampu merah. Ia bahkan hampir menabrak motor di depannya karena telat mengerem. Enggak kehitung pula berapa kali orang mengumpat sebab ia tiba-tiba ke kanan atau kiri tanpa sein. Untung saja ia enggak berakhir mencium aspal, dan sampai rumah dengan selamat.
Mobil orang tua Geboy sudah terparkir di garasi. Ia pun mendengkus, berharap papanya ada di kamar atau ruang kerja, jadi enggak perlu repot-repot bertemu dengan tampang seperti ini. Sayang, keberuntungan Geboy sudah dihabiskan di jalan tadi, sehingga yang ia dapati kini baik papa dan mamanya ada di ruang tamu sedang membahas sesuatu--terdapat banyak berkas di meja.
"Astaga, kamu berantem lagi, Boy."
Tyas segera menghampiri putranya. Ia refleks meringis dan mengabsen wajah anak itu. Terdapat lebam sana sini, tapi bagian bibir paling kacau. Geboy segera menjauhkan tangan mamanya dan membuang muka.
"Aku nggak apa-apa, Ma."
"Nggak apa-apa gimana? Ini masih baru semua lukanya. Sini duduk. Mama ambilkan obat merah dulu."
"Nggak usah, Ma."
"Udah cepet, nggak usah banyak protes."
Geboy diseret ke sofa. Mau enggak mau, ia sekarang duduk berhadapan dengan papanya. Sungguh malas. Tyas bergegas ke kamar dan mengambil kotak P3K sebelum anaknya itu berubah pikiran dan mengunci kamar seperti yang sudah-sudah.
Abi masih diam saja saat Geboy diurusi mamanya tadi. Tapi kini, ia melepas kacamata dan memperhatikan putranya lekat-lekat. Ia enggak pernah marah kalau Geboy bertarung ke sana kemari. Toh, pikirnya anak cowok memang wajar begitu. Lain hal kalau ternyata itu melibatkan keponakan kesayangannya. Dilihat dari kekesalan Geboy, ia bisa memastikan arah masalahnya ada di sana.
"Berantem sama siapa kamu?" tanya Abi memastikan.
Geboy tetap bodo amat. Sedetik pun ia enggak melihat papanya.
"Jawab, Boy!"
Bentakan Abi menggelegar hingga seisi rumah. Geboy sontak mengusap wajah dan mengembuskan napas panjang. Ia pun menghadap papanya yang mengerutkan kening. Enggak heran lagi.
"Randu."
"Randu?" Abi terbelalak.
"Iya."
"Gimana bisa kamu berantem sama saudara sendiri, hah? Pasti kamu yang cari masalah. Randu anaknya pendiem dan nggak neko-neko. Jujur, ada masalah apa? Kamu tersinggung sama pertanyaan Papa kemarin? Jadi iri dan marah ke dia, gitu?"
Geboy spontan terkikik, lalu menyeringai. Ia geleng-geleng dan menghela napas, lagi. Abi makin enggak ngerti.
"Bukannya jawab malah cengengesan," sambung sang kepala keluarga.
Tyas baru sampai bawah saat Geboy berdiri. Anaknya itu menatap papanya dari atas dan enggak segan menunjuk-nunjuk saat berbicara. Meski bergetar, intonasinya makin tinggi seiring pelampiasan emosi yang keluar.
"Emang siapa yang bikin aku kayak gini? Papa yang selalu bandingin aku sama dia. Dikira enak? Nggak cuma Papa kok yang pengen anak kayak Randu. Aku juga nggak mau kali jadi anak Papa."
"Geboy!" Abi refleks berdiri dan menampar anak itu.
"Mas!"
Tyas segera menghampiri putranya yang tengah mengusap pipi. Tapi, sudah terlambat. Hawa panas di antara mereka telanjur besar untuk dipadamkan. Sulit dan sudah menyebar ke dasar hati.
Deru napas Geboy kian cepat. Jantungnya juga berdegup enggak normal. Perih di area bibir belum hilang, kini pipinya ikut berdenyut. Sontak linu di bagian pelipis--karena membentur tembok--dan nyeri di bawah perut--sempat dipukul Randu--kembali meronta dan menguasai tubuh. Lelaki itu hendak beranjak tanpa memedulikan siapa pun, tapi Abi seakan belum puas dan menahannya lagi.
"Kalau kamu bisa memenuhi ekspektasi Papa dari dulu, Papa nggak bakal bandingin kamu sama dia. Tapi apa? Bahkan kakekmu lebih percaya sama Om Pram buat handle perusahaan, biar nantinya bisa menurun ke Randu."
Geboy mencengkeram pahanya kuat-kuat, lalu berbalik. "Sekarang apa mau Papa? Aku capek, mau tidur. Buruan ngomong."
"Buktiin kalau kamu bisa lebih dari dia, tanpa harus adu jotos kayak gini. Nggak gentleman."
"Oke, aku bakal buktiin itu."
Abi sedikit tertawa. "Papa harap itu bukan bualanmu aja."
Geboy enggak menjawab lagi. Ia segera ke kamar dan membaringkan tubuh di kasur. Tyas mengikutinya dan meminta izin untuk masuk, sekadar mengobati luka lalu keluar lagi--enggak mau mengganggu. Setelah itu, Geboy mengistirahatkan tubuh, pikiran, dan hatinya dari segala huru-hara hari ini.
***