SENJA sudah lama berlalu. Hanya derik jangkrik dan hembusan angin malam yang menemani dua insan yang masih berdiri saing berhadapan. Tanpa berkata beberapa detik lamanya. Saling mencuri pandang. Hingga sebuah cahaya lampu di sudut sekolah bersinar. Membuat mereka segera sadar jika waktu tak akan membiarkan mereka begitu saja untuk waktu yang lama.
“Ikuti aku!” Pinta Eri berjalan menjauh. Meninggalkan Naru yang masih belum percaya. Walaupun akhirnya dia tak bisa hanya mematung saja. Tanpa sadar dia pun mengikutinya.
Langkah kakinya yang kecil-kecil namun cepat membuat Naru tak bisa berhenti memandanginya. Tubuh yang terbalut baju serba tertutup itu membuatnya tak sadar jika sosoknya berlomba dengan bayangan malam.
Naru melihatnya yang kini telah berada di depan sebuah ruangan. Beberapa kali dia terlihat waspada melihat ke segala penjuru. Memastikan tidak ada orang lain yang melihat.
Ketika di buka, ruangan itu langsung tercium bau karbon dan obat-obatan. Sebuah ranjang dan kotak obat yang terpasang di sudut terlihat memenuhi ruangan serba putih itu. Di sudut lainnya sebuah wastafle terpasang di bawah cermin besar yang menggantung. Dengan cekatan Eri membuka dan memilah setiap kotak obat dan membawanya di atas meja.
“Waktu kita tak banyak. Sekolah akan benar-benar terkunci jika kita tidak segera pergi dari sini.” Seru Eri membasuh kedua tangannya di wastafle. Airnya terlihat segar di mata Naru. Dia masih mematung di depan pintu UKS yang masih terbuka. Merasa enggan untuk masuk ke dalam. Sebelum akhirnya Eri dengan tatapan tajamnya menyuruhnya segera duduk di tepi ranjang. Membiarkan pintu tetap terbuka.
“Maaf telah membuatmu jadi begini...” Kata Eri membuka percakapan. Tangannya yang terlihat mungil lihai membasahi kain basah. Membersihkan luka-luka di wajah Naru. Dia sama sekali tak memandangnya. Sesekali Naru mengeryit menahan rasa sakit.
“Lukamu begitu banyak. Bahkan darah tak habis keluar dari pelipismu. Apakah ini tidak apa-apa?” Tanya Eri lagi. Naru menggeleng cepat.
“Kenapa kau yang harus meminta maaf?” Kini Naru yang memberi pertanyaan.
“Tentu saja karena ini juga salahku.” Semua luka di wajah Naru telah bersih, hanya menyisakan luka yang masih berdarah. Wajah Naru kini terlihat kembali tampan walaupun masih terdapat bekas luka dan lebam di sana-sini. Eri tak menghiraukannya dan sibuk menutup luka itu dengan cepat.
“Apakah hanya itu yang bisa aku dengar?” Tanya Naru lagi setelah menunggu tak ada jawaban. Eri berhenti bergerak. Dia terlihat diam. Hanya punggungnya saja yang terlihat membelakanginya. Naru tak mengerti.
“Aku sungguh minta maaf. Jika saja aku memperingatkanmu dari awal. Pertarungan itu pasti tidak akan terjadi. Kau tidak akan terluka seperti ini. Lihat! Bahkan jari-jemarimu saja penuh darah!” Suaranya terdengar bergetar. Eri berusaha menahan tangis.
“Apakah kau menangis?” Tanya Naru tak mengerti. Eri hanya diam dan kembali sibuk dengan membawa kain dan air bersih yang baru. Membuka kain kotor yang membebat jari-jemari tangan Naru.
“Berhenti. Aku yang tak mengerti dengan ucapanmu. Apakah kau akan tetap diam membiarkan aku tak mengerti dengan ucapan dan tingkahmu ini?” Naru menghentakkan tangannya. Menolak Eri yang hendak membersihkan luka di tangannya. Memandangnya dengan tatapan penuh tanya. Sambil masih menunduk dalam Eri berusaha kembali mengeluarkan suara.
“Aku mendengar Tori dan kawan-kawannya telah merencanakan kejadian sore tadi padamu. Aku mengira jika dia hanya sedang kesal saja. Tidak mungkin seorang Tori akan melakukannya. Tapi aku salah. Aku tak tahu kenapa Tori berubah menjadi sangat menyeramkan dengan me-”
“Ini bukan salahmu. Akulah yang sejak awal sudah memancing amarahnya. Siapa yang menyangka jika Tori dan kawan-kawannya akan berbuat hal gila seperti itu. Sepertinya dia sudah tidak peduli dengan statusnya di sekolah ini. Atau mungkin dia memang sudah membenciku sejak awal.” potong Naru santai.
Naru mengambil peralatan medis yang sejak tadi Eri pegang. Berusaha membersihkan dan menutup lukanya sendiri.
“Jadi kau sudah mengiranya? Tapi kenapa kau diam saja? Bukankah seharusnya kau memberitahu pihak sekolah setelah kejadian tadi? Membuat Tori dan kawan-kawannya jera dan-”
“Aku mendengar gosip jika Tori adalah pelindungmu. Tidak ada yang akan berani mendekatimu di sekolah ini.
Jadi, ketika aku datang dan berusaha mendekatimu dengan menjahilimu. Tori telah mengambil langkah terlebih dahulu. Jadi jangan salahkan dirimu lagi. Karena ini urusan para cowok.” Seru Naru masih sibuk dengan kain kasa yang kesulitan dia buka.
“Aku tak pernah mau menerima gosip itu.” Jawab Eri menarik kain kasa, membukanya dan membalut luka-luka di jari jemari Naru.
“Jadi, apakah benar yang aku dengar dari semua orang bahwa Tori adalah pelindung bagimu?” Tanya Naru tergagap. Berkali-kali ia mengalihkan pandangan darinya. Eri hanya terdiam.
“Berarti benar apa kata me-“
“Tidak!” potong Eri cepat.
“Mereka bilang begitu. Tapi aku tak suka ketika mendengarnya. Dan jika kau mengikuti kata mereka. Jangan lagi kau coba mendekatiku walaupun itu hanya kejahilanmu, kalau tak mau terjadi seperti hal ini untuk yang kedua kalinya.” Jawab Eri datar. Ia juga masih tak memandang ke arah Naru.
“Oh, begitu. Tak masalah bagiku. Justru itu semakin menarik. Baiklah. Terimakasih sudah mengobatiku, Eri.” Kata Naru membuat Eri memandang sejenak ke arah Naru dengan tatapan tak mengerti.
“Apalagi? Kalian adalah pasangan terkenal di sekolah favorit ini bukan? Jadi wajar jika-“
“Tolong mengertilah. Kami hanyalah teman. Gosip atau apapun itu sama sekali tak benar. Jadi jika kau ingin terluka serperti ini lagi. Terserah.. Aku sudah memberi peringatan padamu.” potong Eri cepat seraya mengembalikan kotak obat ke tempat semula. Kembali sibuk membersihkan tangan di wastafel.
“Ahhh! Enak sekali tiduran di sini. Kenapa kau tak mempersilahkanku duduk di ranjang dari tadi? Aku lelah berdiri terus tahu!” Seru Naru merebahkan diri di atas ranjang dengan bertingkah seperti kucing. Eri yang melihat gelagatnya langsung terlihat khawatir.
“Apa yang kau lakukan? Pergi dari sini! Atau-“
“Kau mengusirku setelah mengobatiku? Jadi beginikah cara kerja anggota PMR di sekolah favorit ini? Memperlakukan pasien dengan kasar.”
“Bukan begitu! Tolong jangan salah paham. Sekarang kita sedang berada di tempat yang sepi dan berdua saja. Ini tidaklah baik. Maka dari itu aku tak mempersilahkanmu untuk masuk ke ruangan ini.” Jawab Eri terlihat kesal. Dia mendekat ke arah pintu. Naru justru membalasnya dengan tersenyum jahil.
“Apakah ini dilarang oleh agamamu?” Tanya Naru kini duduk di tepi ranjang. Wajahnya terlihat penuh tanya.
“Ya? Tentu saja! Apakah kau baru tahu?”
“Ya. Sepertinya aku memang baru tahu. Maaf.” Naru langsung beranjak dari ranjang dan menghampiri Eri yang berdiri di pintu. Dengan cepat dia menghindarinya. Memberi tempat bagi Naru untuk keluar dari ruangan berbau karbon.
“Aku memang tak tahu apa hubunganmu dengan Tori. Namun yang jelas aku tahu kau pasti sudah tahu bagaimana sikapnya. Jadi aku tak perlu lagi memperingatkanmu tentang dirinya bukan?
Terima kasih sudah memberi penjelasan padaku. Juga mengobati luka-luka ini. Kau tahu? Luka ini tidaklah seberapa. Jadi jangan terlalu khawatir. Oke?” Seru Naru penuh percaya diri.
Eri hanya mengeryitkan dahi heran. Melihat sosok Naru yang kini berjalan menjauhi ruangan itu. Melangkah di bawah sinar lampu.
“Dasar aneh.” Lirih Eri seraya mengunci pintu ruangan. Tidak ada yang tahu jika setelah itu terlihat siluet garis tipis di bibirnya. Sebuah senyum.
π₯π§