[Louis' pov]
October 8th, 2005
Malam ini aku akan tidur lebih dulu, lagi. Begitulah perkiraanku hingga terdengar suara deru mobil berhenti di depan rumah. Kain gorden yang kutarik sedikit memperlihatkan di bawah sana istriku yang baru saja keluar dari taksi memberikan uang pada si sopir sebelum membuka pagar dan berjalan terburu-buru memasuki pintu utama. Tidak dapat kupungkiri, sifat tulus dan peduli teman wanita di sekolah SMAku dulu itu selalu berhasil membuat bibirku tersenyum-senyum sendiri seperti orang gila.
Sembari menyikat gigiku di kamar mandi, pikiranku mengulang kejadian tadi pagi saat kami berdua menyantap sarapan. Setelah mengungit sedikit hasil pengecekan di rumah sakit mengenai kondisiku yang tidak bisa memberikan cucu untuk Papa dan Mama. Awalnya kedua manik mata bulatnya tampak sedikit kesal karena aku memang sudah berjanji tidak akan mengungkit hal itu, tetapi sejujurnya tujuan awal aku memulai pembicaraan dengan itu karena, “Aku ingin bercin--”
“Paham! Paham!” Ia langsung menyela kalimatku yang belum selesai dengan kedua tangan terjulur ke depan, gestur memintaku untuk tidak melanjutkan perkataanku tadi. Setelah melihat ekspresi kaget di wajahku, ia menurunkan kedua tangannya dan berdeham dengan kedua pipi yang mulai bersemu semerah tomat. “Nanti aku izin sama Ezra ... pulang lebih awal....”
Jika membandingkan istriku dengan cinta pertama, yang secara tidak sengaja kuketahui sebagai kakak tiriku juga, mereka sama-sama enggan mengakui perasaan lebih dulu. Yang mana dapat kumengerti karena tidak banyak seorang ayah, kakak atau adik laki-laki, dan suami ingin merendahkan ego dan hasrat superior mereka terhadap martabat dari seorang wanita.
Di masa remaja aku pernah menyerah kan segala strata kelas keluarga, ego, dan bahkan harga diri karena akhirnya kuketahui Papa terpaksa menikahi Mama karena wanita itu terlanjut mengandungku di dalam perutnya. Bersamaan dengan Marjorie yang baru saja lahir dari cinta murni Papa dan Ibu saudara tiriku itu. Mama bahkan tidak menunjukkan raut wajah bersalah, ataupun sedikit keramahan ketika bernegosiasi dengan Ibu Marjorie yang baru saja akan memasuki ruang kepala sekolah saat aku dituduh menghajar kakak perempuanku. Melihat bagaimana sorot mata Marjorie sarat akan kebencian mendalam pada Mama, aku tidak bisa untuk tidak menerima segala tuduhan itu dan menerima hukuman skors selama sebulan di rumah.
“Lou?” Aku sedikit berjengit dari lamunan masa lalu sebelum membasuh wajahku yang masih basah dengan handuk kecil.
“Este?” panggilku balik.
Pintu kamar mandi terbuka dan istriku tersenyum lega karena aku masih dalam balutan piyama, biasanya hanya celana saja. “Kamu tidak kenal suara istri sendiri?” kekehnya dengan senyum kecil dan tampak kedua lesung pipinya yang membuat wanita itu semakin terlihat cantik walaupun kulitnya sedikit kusam karena habis bekerja seharian di toko rotinya.
Aku mengangkat kedua bahu tanpa bisa menahan ikut mengulum senyum sepertinya lalu berkata, “Aku suka saja meniru hal-hal yang baru kamu lakukan.” Este memasuki kamar mandi dan mulai menggantungkan handuk sebelum kembali berbalik ke arahku yang masih berdiri di tempat dengan tidak merubah posisi sama sekali.
“Tunggu apa? Ayo, keluar!” Este mendorongku pelan, tetapi ucapan dari mulutku yang mengatakan suaminya ini juga belum mandi membuat istriku itu menghentikan dorongannya.
Kedua pipi Este kembali bersemu merah kala kedua kontak mata kami kembali bertemu. Seolah bisa membaca pikiran Este justru menggenggam tangan dan mengajakku bergabung dengannya di balik bilik kamar mandi seraya masih menundukkan wajahnya, salah tingkah.
Selama beberapa menit berlalu, tidak ada pergerakan berarti dariku. Este yang kebingungan kembali memanggil nama suaminya ini dengan ‘Lou’, kali ini menyebutnya dua kali menjadi lou-lou
“Jangan memanggilku seperti itu!” seruku pura-pura merajuk.
Mendengar suaraku yang mengomel seperti anak kecil, Este mengangkat wajahnya dan tertawa riang sembari mengingatkanku momen Mama yang terus memanggilku dengan nama panggilan feminin itu setiap kami berkunjung ke rumah. Mana mungkin aku melupakan hal yang sering mereka lakukan itu? Aku sengaja berakting kesal karena ingin bertatapan dengan Este saat mengekspresikan rasa sayangku padanya.
Tidak ingin melepaskan kesempatan, kuraih tengkuk Este dan membungkam mulutnya dengan bibirku. Kedua matanya yang jernih dan teduh itu masih membulat syok dan menatapku tanpa berkedip, bahkan setelah aku melepaskan tautan bibir kami.
“Se-sepertinya caraku menyalurkan cinta s-sudah berubah....”
Aku tertawa kecil mendengar kegagapan Este, tetapi yang lebih membuatku kagum Este tidak lagi tegang setiap aku merengkuh pinggang dan panggulnya mendekat hingga menempel dengan tubuhku. Este memang tidak menggapai bibirku seperti yang tadi kulakukan. Ia mengalungkan kedua tangannya dari bawah lenganku, menenggelamkan tubuh kami ke dalam pelukan yang hangat. Aku bisa merasakan debar jantungnya beradu dengan dentuman di balik rongga dadaku. Tidak pernah kusangka hanya berpelukan hangat, mencium keningnya, dan ia mengusap punggungku terasa lebih nyaman dan menyenangkan dibandingkan berhubungan intim sebagai suami istri.
“Ayo berendam,” ajak Este menatapku dengan wajahnya yang masih merona hebat. Kukecup bibir ranum istriku singkat sebelum mengangguk dan melepaskan seluruh kain yang menutupi tubuhnya.
December 25th, 2001
Sejak kapan aku bisa melupakan harga diri demi seseorang? Kubuang air di dalam mulutku dan meletakkan sikat gigiku di mug keramik di sebelah botol sabun muka.
Masih jernih bayangan Marjorie, primadona di angkatanku, menolak cokelatku dengan senyum manisnya di depan semua murid-murid kelas. Namun, Marjorie masih bertanya tentang jemputanku atau tugas kelompok yang akan kukerjakan saat pulang sekolah.
Kutarik napas dalam-dalam. Rasanya masih terasa sakit sekali, tidak bisa menggapai sesuatu yang dikagumi sejak lama. Hindari. Ya! Menghindar adalah jawabannya. Rindu dan harapan yang bercampur aduk dengan keinginan untuk memiliki ... tidak akan pernah sejalan dengan takdir.
Awalnya kupikir, permasalahanku ini hanya suatu hal sepele yang seharusnya mudah kulupakan. Akan tetapi, ketika kedua kakiku melewati pintu kamar kedua orangtuaku—hatiku mencelos mendengar samar suara berat Papa dari dalam.
“Marjorie bukan tipe anak pemberontak, Lia ... dan dia tidak akan mengganggu Louis di sekolah...!”
Ini benar-benar aneh. Kedua orangtuaku tidak pernah menghadiri rapat orangtua maupun demo memasakku bersama teman-teman satu ekskul di festival sekolah. Bagaimana mereka bisa kenal Marjorie?
“Hanya karena dia anakmu bukan berarti kamu bisa membelanya terus, Jo!”
“A-Apa?!” Aku reflek membekap mulut sendiri, takut keterkejutanku itu langsung keluar begitu saja tanpa bisa kutahan. Marjorie ... anak Papa, itu tandanya kami bersaudara?
Kali ini suara Papa tidak lagi setengah berbisik, terdengar jelas pria itu sangat marah dengan sifat posesif Mama. “Aku sudah merelakan lima hari dalam seminggu untuk tinggal di rumah ini seperti orang bodoh! Kutelantarkan wanita dan putri yang sangat kucintai demi keluargamu! Tapi aku tidak berhak membela anak perempuan kandungku sendiri?! Aku tidak pernah ingin kita bersama, Lia. Kalau kau ingin menyalahkan apa yang sudah terjadi sekarang, muntahkan saja semua tantrum kepada ayahmu yang menjebakku!”
Sepersekian detik setelahnya, Papa menarik kasar pintu kamar dan melangkahkah kaki lebar-lebar menuju ruang kerjanya di lantai dasar. Sementara aku yang bersembunyi di belakang guci besar sebelah dinding kamar orangtuaku masih menahan napas kuat-kuat dan berjalan cepat tanpa suara sembari merunduk menuju lorong seberang.
Begitu berhasil memasuki kamarku sendiri tanpa kegaduhan, deru napasku mulai terdengar lebih tenang. Namun, tidak dengan debar jantungku.
Aku dan Marjorie ... bersaudara?
July 8th, 2007
“Jadi menurutmu, aku harus lebih mempercayai perkataanmu daripada penglihatanku sendiri?!”
Baru kali ini aku mendengar suara Este meninggi, sedikit bergetar, dan sorot matanya terpenuhi embun bening yang sudah tumpah ruah sejak ia duduk di hadapanku.
Aku tidak peduli bisikan atau lirikan sekilas yang ditujukan pengunjung restoran lainnya pada kami, fokus kedua netraku hanya pada istriku yang tidak lagi percaya pada suaminya sejak Marjorie datang.
“Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa supaya kamu percaya padaku, Este....”
Mendengar perkataanku Este semakin terisak hebat dengan air mata yang terus berjatuhan membasahi hampir seluruh wajahnya yang cantik. Hatiku sesak melihat pemandangan yang mengingatkanku pada setiap Sabtu dan Minggu malam dimana aku memergoki Mama menangisi kepergian Papa yang pergi ke tempat kekasihnya. Hal terakhir yang paling membuatku sangat marah. Situasi yang membuatku menjadi seseorang seperti Papa.
Este tampak menarik napas dalam, menyeka kasar sisa air mata di atas kedua pipi, dagu, dan ujung matanya. “Mungkin kamu sudah tidak lagi ingat janji kita di altar....”
Rahangku mengeras menahan geram amarah dan kata kasar yang akan menyakiti hati Este seperti saat aku memojokkan perasaannya saat hari kelulusan. Kecemburuan, rasa tidak percaya, dan menahan semua perasaan yang sepertinya sudah Este kubur sejak ia ditinggalkan di panti asuhan tiba-tiba meledak. Aku sangat ingin memahaminya, dan aku telah berusaha. Namun, aku tidak melihat usaha yang sama darinya.
Kedua netraku mengikuti gerak tangan Este yang meraih leher gelas kacanya dan menegak wine yang sudah dihidangkan sebelum istriku itu datang. Tenggorokannya terus bergerak menelan seluruh isi gelas tersebut, jantungku tidak bisa berhenti berdenyut menyakitkan. Namun, aku akan melakukan hal gila apa pun untuk membuktikkan pada Este bahwa aku tidak seperti yang ia pikirkan atau apa yang diharapkan oleh Marjorie selama ini.
“Jika aku memang mengkhianati pernikahan kita,” ucapku menarik atensi Este sepenuhnya. “Aku akan mati tua, sakit-sakitan, atau bunuh diri karena kamu tidak lagi ada bersamaku.”