"Jadi, siapa seseorang lain yang kamu sayangi?"
Sangat jelas dengan jawabannya.
"Kalau kamu tanya, yang jelas seseorang yang lain yang aku sayangi itu adalah tanteku," jawabnya mantap.
Vitto tersenyum.
"Aku tahu, kamu bakal ngomong kayak begitu. Tapi, gimana dengan nasib anak-anaknya?"
"Yah, seperti yang kamu tahu sekarang. Aku bukannya pernah cerita ke kalian bertiga sebelum mereka datang," kata Bee, kembali terpekur ke arah bukunya.
"Iya, kamu pernah cerita."
Sebelum ketiga anak tantenya—ketiga adik sepupunya yang masih berstatus sekolah berkunjung ke pulau Jawa, ia pernah menceritakan perihal itu kepada ketiga teman imajinasinya. Keke sempat penasaran dengan muka—muka adik sepupunya apalagi adik sepupunya yang bungsu—yang terkenal tomboi seperti karakternya namun jika dibilang sama, setidaknya dengan Keke yang terkenal penurut dan tidak manja sangat berbanding jauh. Dari dulu sampai sekarang, ketiga adik sepupunya terkenal dimanja dan ketiganya dimanja oleh pamannya sendiri—suami dari tantenya. Jika ditanya, ia dan ketiganya jauh. Ketiga adik sepupunya sehari-harinya hanya bermain handpone di rumah di Kota Balikpapan. Ia tahu, karena ia sempat menginap di rumah mereka yang rumahnya bertingkat dua dan mewah. Masing-masing kamar memiliki AC, dan tanpa AC, mereka tidak bisa tidur. Bila libur tiba, ketiga bangun sampai jam 9 siang! Alias mbangkong, orang-orang Jawa menyebutnya. Ia paling lambat bangun jam 6 atau paling lambat jam 7. Bangun dan mulai membersihkan rumah seperti biasa. Ia sebenarnya di sana memang dikatakan betah. Tidur waktu hari libur diperbolehkan sampai siang. Di rumahnya sendiri? Di rumahnya sendiri mungkin tidak masuk daftar dalam kamus. Bila bangun kesiangan, ia dan adik kembarnya kena marah ibu. Di sana ia tak kuat dengan hawa AC karena tak terbiasa walau ada kipas angin dan yang paling lucu, ia sering buang air kecil bolak-balik menuruni tangga. Padahal di rumahnya hanya ada kipas angin yang sudah lama. Karena hawa di Kota Balikpapan berbeda dengan Kota Malang. Setelah diceritakan seperti itu, ketiga teman imajinasinya paham. VITTO sampai berceletuk,"Beda ya sama kamu. Memang orang kota rata-rata begitu. Beda sama orang desa. Bukannya aku menghina."
"Itu karena faktor kebiasaannya," cetus Vitto.
"Aku saja enggak semalas itu bangun. Paling cepat bangun pukul 6," sahut Keke."Sudah biasa, Bee, mereka itu. Kebiasaannya yang terbawa dari tempat kelahirannya."
Bee mengingat-ngingat perkataan ketiga temannya tersebut. Ada benarnya juga. Karena itu hanya faktor kebiasaan. Mereka pernah berkata seperti itu kepada sudah beberapa waktu yang lalu. Kembali kepada Vitto."Nasib mereka lebih beruntung ketimbang aku atau karakter yang lainnya," tambahnya lagi."Sudah sepantasnya mereka bersyukur masih ada yang mau menerima, merawat mereka."
"Aku pernah menjemput adik sepupu yang bungsu itu ke sekolahnya. Waktu itu yang menyarankan ayahku."
"Oh, ya?"
"Dua kali aku menjemputnya. Pertama karena saran ayahku. Yang kedua karena ibu enggak bisa menjemput karena ada tamu dari tamu, saudara dari ayahnya yang datang dari Kota Malang."
"Pasti tantemu yang ada di sana bangga padamu," kata Vitto."Tapi Bee," dia mengernyitkan kedua alisnya.
Bee selesai dengan halaman berikutnya, membalikkan halaman selanjutnya."Apa?"
"Jangan tersinggung, kalau aku membicarakan ini. Semisal kalau ketiga adik sepupumu sudah pada lulus sekolahnya hingga akhir, terus mereka mendapatkan pekerjaannya yang diharapkan mereka, hidupnya enak, punya pasangan masing-masing. Terus yang aku khawatirin nanti ke belakangnya, apa mereka balik ke kamu, ke keluargamu?"
"Hm? Soal itu..." Bee masih terpekur ke arah bukunya."Aku enggak tahu. Aku merasa, mungkin keluargaku bakalan dilupakan tapi ini cuma sekadar felling saja. Misalnya apa yang kamu katakan itu benar, keluargaku atau aku yang dilupakan, enggak masalah bagiku."
"Kok...?"
"Iya, To, mereka mungkin bakalan lupa sama aku dan keluargaku nantinya. Aku enggak masalah mereka bakalan ngelupain aku, kalau felling-ku mengatakan bukan hanya lagi, pamanku mungkin bakalan menikah lagi sama cewek lain yang menggantikan posisi tanteku yang sudah enggak ada, dan yah pamanku punya kehidupan baru bersama ceweknya."
"Terus?" Vitto yakin, setiap gadis itu mengatakan sesuatu berupa curhatannya ataupun yang lainnya, pikiran itu akan menjadi kenyataan mirip ramalan milik Lord Voldermort yang dibawa kabur Lucius Malfoy namun berhasil Harry Potter dapatkan kembali di tangannya.
"Ya, mereka sudah melupakanku."
"Kamu ngomong begitu entar enggak nyesel?"
"Nyesel sih iya. Tapi memang begitu semisal itu terjadi. Mau bagaimana lagi."
"Mereka melupakanmu. Apa kamu ikut melupakan mereka?"
"Aku? Aku enggak akan melupakan mereka. Kan, aku sama mereka saudara. Saudara dengan darah yang sama. Darah dari nenekku. Dari ibu dari ibuku. Dari dulu aku dekat sama keluarga ibuku."
"Dari keluarga ayahmu? Kamu enggak dekat, begitu?" tebak Vitto.
"Betul, aku enggak dekat dengan mereka."
"Kenapa kamu enggak dekat dengan saudara dari ayahmu?"
"Aku enggak dekat dengan mereka karena mereka selalu mengejekku bila berkumpul di acara keluarga," kata Bee."Budhe-budhe maupun tanteku selalu membeda-bedakanku dengan anak-anaknya yang bisa begini, bisa begitu. Kamu harus punya teman, kamu harus sekolah tinggi kayak kakak sama abangmu."
"Mereka jahat banget sama kamu," kata Vitto."Padahal kamu itu keponakannya lho."
"Memang mereka jahat sama aku. Mereka sudah jahat dari dulu sesudah mereka hidup enak."
"Kamu pasti jengkel ya, digituin
mulu?"
"Jengkel pastinya!" kata Bee,"tapi aku cuek saja. Mereka mengataiku macam-macam aku biarin. Nah, buktinya harus seperti mereka? Enggak! Malah mereka yang kehidupannya sehabis menikah, cuma begitu-begitu saja."
Benar, sekalipun kamu diejek, maka orang lain atau orang terdekatmu kehidupan akan dijungkir balikkan oleh Yang Maha Kuasa, yang awalnya enak dan mewah maka akan berubah menjadi yang seharusnya.
Vitto tahu, sejatinya cewek yang lama menjadi temannya ini mau tak mau tak boleh diremehkan barang sekalipun. Mengingatnya dia teringat dengan karakter yang juga dekat dengannya, Rosita. Menurutnya cewek ini adalah versi keduanya yang keduanya sama-sama memiliki insting kuat dan tidak bisa diremehkan, gampang tersinggung. Jika dilihat dari luarnya, tetapi sebaliknya alih-alih dilihat lebih dalam sebenarnya kuat.
"Apa mereka juga menyayangimu?" Vitto bertanya dengan nada hati-hati, takut menyinggung perasaannya.
"Mereka mana ada yang menyayangiku. Boro-boro disayang, yang ada diejek sama dijadikan jongos," celetuk Bee pedas.
"Masa?"
"Beneran, To. Coba kamu tanya Dee, dia tahu. Dia juga sama kayak aku," Bee memastikan.
"Hei, Bee, adik kembarmu enggak bisa lihat aku."
"Oh, iya, iya! Sorry lupa!" di balik buku bacaannya, Bee menepuk jidatnya.
"Yang bisa ngelihat kami kan kamu doang. Kamu kan yang bikin kami, yang bikin cerita," Vitto tak mau kalah.
"Iya, iya."
"Hehehe. Tante-tantemu—maksudnya adik-adik mamamu gimana sama kamu? Apa mereka juga sayang sama kamu?" Vitto tak menoleh, berganti menatapnya.
"Kamu itu kepo banget, sih."
"Aku bukan kepo Bee yang maniiis, tapi aku cuma tanya," kelit Vitto.sekaligus memuji."Masa penulis tahu tentang kehidupan karakter-karakternya yang dibuatnya, mana karakter-karakternya kayak aku ini enggak tahu tentang keluarganya pengarangku sendiri! Kamu kan pernah cerita. Aku ingat itu."
Bee tersenyum miris.
"Enggak apa sih kamu mau tahu apa enggak. Yang terpenting, kamu, Keke sama VITTO selalu ada."
"Iya, dong. Nah, lanjutkan," kata Vitto.
"Adik-adik dari ibuku itu—tante-tanteku, dua tanteku itu aslinya sama sekali enggak sayang sama aku."
"Sama saja menurutku."
"Sama saja memang. Enggak ada bedanya. Mereka lebih sayang sama ketiga adik sepupuku sama tiga adik sepupuku lainnya."
"Kenapa mereka enggak sayang sama kamu?"
"Tante-tanteku itu suka beda-bedain aku sama adik-adik sepupuku. Aku dibilang enggak bisa kayak mereka, apa-apa enggak mandiri kayak mereka. Aku memang masih butuh ibu, tapi enggak kayak mereka yang apa-apa sebenarnya ibu terus."
"Berarti itu anak manja."
"Aku mana pernah dimanja sama orang tuaku? Aku enggak pernah dibegituin dari kecil. Yang ada kena marah."
"Bagus kalau begitu."
"Yang ada ya, aku diajarin cara hidup orang susah, tepatnya hidup sengsara. Mau makan enak? Bisa! Makan bakso. Kalau kepingin makan yang lain? Ada! Makan martabak manis sama martabak telur bahkan bebek goreng yang pernah dibeli di pinggir jalan raya langganannya ibu."
"Kamu capek?"
"Capek iya. Tapi kalau sudah terbiasa enggak."
Vitto menatapnya lekat, berpikir gadis itu sebenarnya kalau dilihat-lihat sudah disia-sia bahkan dengan orang terdekatnya. Perasaan ibanya muncul. Sudah ditinggal tantenya, ditambah dengan pihak kedua saudara dari orang tuanya tak disayang. Sungguh kasihan. Biar bagaimana pun gadis itu tak menunjukkan rasa sedih tetapi yang ada rasa masa bodoh.
"Bila itu sampai terjadi, kamu akan selalu menyayangi tantemu? Walaupun dia sudah enggak ada? Kamu beneran ikhlas pamanmu menikah lagi?"
"Aku bilang, aku memang sayang sama tanteku, sayang banget sampai kapan pun dan aku ikhlas kalau pamanku menikah lagi," ucap Bee, masih membaca bukunya.
Vitto tersenyum. Dia yakin, Bee akan tetap menyayangi tantenya.
"Aku tahu kamu akan berucap seperti itu," katanya."Aku pergi dulu," pamitnya. Cahaya kuning langsung muncul menyinari tubuhnya dan dia pun menghilang. Setelah dia menghilang, Bee menutup bukunya, meletakkan novelnya di ranjang, meraih handpone munglinya, menuliskan chat. Chat yang tak terbalas di handpone itu banyak. Kejadian-kejadian yang menurutnya sepele maupun sampai masalah besar, semua dituliskan di situ selain di LINE. Di sela percakapannya dengan Vitto, ia mendengar di balik dinding kamarnya yang kamarnya berdekatan dengan kamar mamanya. (Sekarang ditempati dua adik sepupunya). Setiap hari, adik sepupu bungsunya selalu menelepon atau ber-chat ria dengan pacar pamannya di WhatssAp. Bosan ia mendengar obrolannya. Pernah chat yang ada di Whatssap adiknya itu kebanyakan chat tentang kesehariannya. Dia pernah memperlihatkan gambar sepatu berwarna pink yang sepatunya bisa menyala karena bawah bagian sepatunya ada lampunya. Itu katanya yang membelikan tante itu. Adik sepupunya selalu ber-video call tantenya atau adik ibunya kemari malam. Membicarakan kalau di sini, di tempatnya ada penggilingan pada dan sawah. Bee dalam hati, merasa sebal dan bosan menuliskan chat.
"Tante, kemarin malam Caca video call sama Bunda. Dia bilang, di sini cuma ada selep sama sawah doang. Katanya ngebosenin. Dia penginnya yang banyak orangnya kayak di Pantai Manggar di Balikpapan. Aku mikir, ya iyalah di desa,jangan disamain sama kota! Memang ketiga anakmu suka banget jalan-jalan. Sekarang, aku kalo diajakin jalan enggak mau lagi kayak dulu pas sewaktu ada Tante. Lebih baik di rumah atau jalan-jalan sendiri ke Malang. Kan, aku cuma ke toko buku. Oh, ya, buku novel sama komik yang pernah Tante beliin dulu masih ada, kok. Masih kusimpan sampai sekarang.
Terkirim:
09:14:22
22-11-2021
-----
Pengiriman telah gagal
Tante Lidyawati
085xxxxxxxxx
Lalu ia pernah mengirimkan chat di LINE—yang mungkin diingatnya selalu. Itu waktu mau tidur karena sudah mau larut malam. Itupun chat yang yang sudah lewat, tetapi masih disimpannya.
Sabtu, 5 Februari
Hallo, Te, lagi apa? Aku hari ini mau tidur. Tadi aku habis baca novel. Tante, Dedek kepingin banget ke Balikpapan. Aku sebenarnya kepingin sih, tapi tak urungkan. Kalo aku ke sana, mungkin cuma ke makammu, makamnya Uti sama makamnya Mbah Kung doang. Kalo soal nginep, aku enggak mau nginep di rumahnya Bunda, apalagi di rumahnya Mbah Mamik! Enggak, enggak mau! Tau enggak? Kemarin Dedek video call sama Abi sama Bunda. Dan, apa yang ditanya? Ya, yang ditanya cuma Dedek sama Caca! Cuma anak-anakmu, Te, yang ditanya. Aku sama Dee? Mana ada ditanya? Boro-boro ditanya, tanya kabar aja, sama sekali enggak! Sebel, kan aku! 😡😡 Dulu, sewaktu Tante masih ada masih hidup, mana ada yang sayang sama anak-anakmu. Yang ada enggak disukai, dimusuhi. Ingat, kan? Aku tau Tante di sana pasti ingat. Aku aja masih ingat. Tante ingat pesanku di hp-ku satunya yang kecil—tapi gagal ngirim pesannya ke Tante? Kalo tanteku yang amat sesungguhnya yang sayang dan perhatian sama aku setelah ibu, cuma Tante Lidya seorang!
Aku pindah ke LINE, karena kagak bisa terkirim.
Kembali ke asal, memang ia pernah dibelikan buku novel dan komik oleh tantenya. Melainkan dibayarkan buku-buku itu sewaktu ia masih di Balikpapan dulu. Dan buku-buku masih disimpannya hingga kini di rak buku di kamarnya. Karena itu adalah barang kenangannya bersama tantenya dulu.