Hiasan-hiasan sederhana dan terlihat elegan memenuhi ruang tengah rumah Danika. Dua orang sahabatnya sudah tiba sejak pukul enam pagi, bahkan ketika Danika belum bangun. Dia harus memaksakan diri mengikuti kemauan Karla yang lebih protektif dibandingkan bundanya.
Pertama, Karla memaksa Danika agar menyingkir dari tempat tidur. Kebiasaan yang Danika miliki memang selalu anteng dan mudah tidur alias tukang molor jika sudah berdekatan dengan kasur atau bantal kecil sekalipun. Danika tidak terima, tetapi tidak bisa memprotes keinginan Karla. Di belakangnya Bunda berdiri sambil membawa handuk agar dia cepat mandi. Memakai sabun yang disiapkan khusus, sampai Danika berpikir jika dirinya bukan hanya melangsungkan lamaran, melainkan pernikahan. Bunda sama Karla ribet banget, Gusti, begitu pikirnya.
Selain menyuruhnya menyingkir dari tempat tidur, Karla juga menarik Danika ke depan meja rias. Beberapa polesan make up diberikan pada wajah mulus Danika. Mulai dari lipstik, pelembap, maskara, eye shadow, blush on, hingga menata rambut Danika lebih rapi daripada biasanya. Dari arah pintu, Bunda datang dengan membawa heels yang sama sekali tidak pernah Danika pakai lagi. Terakhir kali dia memakai alas kaki semacam itu adalah saat mengikuti lomba model antar-RT ketika masih duduk di bangku SD. Ya, tidak ada yang pernah menyangka jika dia pernah sefeminin itu, bahkan Karla sendiri tidak mengetahuinya.
“Bunda, aku cuma mau lamaran, bukan nikahan. Kenapa seribet ini, sih?” Danika memprotes karena sejak awal tidak diberi kesempatan untuk berbicara.
“Meskipun cuma lamaran, tapi kamu harus kelihatan cantik dan pangling, atuh.” Bunda tersenyum, lalu menaruh heels itu di samping meja rias. Danika kembali diam. Seharian ini dia akan menjadi putri diam yang omongannya tak akan didengar sama sekali, entah oleh Karla maupun Bunda.
“Selesai, Ka. Edan! Kamu pangling banget!” seru Karla, menepuk tangannya yang baru saja mengoleskan beberapa tambahan make up pada wajah Danika.
“Edan pisan, emang! Kenapa muka aku jadi begini, Karla?” pekik Danika, mendekatkan wajahnya pada cermin.
“Bunda, masa aku didandanin kayak ondel-ondel begini, sih? Hapus, ya? Nggak suka.” Danika menatap bunda sambil merengek. Sayang, permintaannya tidak digubris. Bahu Danika turun dengan lemas, napas kasar pun diembuskan. Apa jadinya nanti ketika Ravi melihat tampang anehnya ini? Danika merasa tidak percaya diri.
Tiba-tiba terdengar lagu “Runtah” yang sedang hits dengan suara cukup menggema. Karla, Danika, dan Bunda saling berpandangan dengan kening mengernyit. Siapa yang memutar lagu itu? Cepat-cepat ketiganya keluar kamar Danika dan mendapati Jaka tengah berjoget bersama Ayah.
“Jakaaa! Ngapain, sih? Allahu akbar!” oceh Danika yang langsung menuruni tangga dan menghampiri mereka.
“Kok dimatiin, sih? Kan Ayah sama Jaka lagi joget, Ka.” Ayah menghentikan keseruan jogetannya. “Nyalain lagi, Jak,” titah Ayah. Lagu itu pun kembali menggema.
“Udah selesai dandannya, Ka? Gitu, dong. Dandan kayak cewek beneran kan bikin kamu kelihatan meyakinkan.” Jaka bertanya sambil menggerakkan tangan sesuai irama lagu.
“Meyakinkan apa maksudnya, hah?” Danika menyipitkan mata, mulai mencium hal-hal tidak beres.
“Meyakinkan kalo kamu emang cewek.”
Seketika hantaman bantal kursi mengenai wajah Jaka. Karla dan Bunda yang masih berada di atas hanya menggeleng dan tertawa melihat tingkah Danika. Karakter tomboinya memang sulit dihilangkan, bahkan sampai kapan pun tidak akan pernah bisa dihilangkan. Itulah Danika, cewek unik dengan segala kekonyolannya.
***
Pukul sepuluh pagi, rombongan Ravi terlihat sampai di rumah Danika. Demi apa pun, Danika sangat gugup dibuatnya. Dia mendadak jantungan karena sebentar lagi di jari manisnya itu akan tersemat cincin dari Ravi. Di depan laptop, Danika tercenung sendiri menenangkan hati. Dia juga masih getol mengirimkan SMS pada nomor Esa yang baru. Nomor itu didapatkannya dari Karla saat Esa menelepon tempo hari.
Sebentar lagi aku otw ke sana, cuy. Kamu tenang aja, aku pasti dateng, kok.
Danika sedikit lega membaca balasan pesan Esa saat ini. Selain itu, dia juga menyempatkan diri menghubungi penerbit tempat karya pertamanya yang akan diterbitkan. Danika hanya ingin tahu sudah sejauh mana proses penerbitan yang dilakukan. Setidaknya, dia adalah “ibu” dari kata-kata yang berhasil menaklukkan pihak redaksi.
“Ka, ayo. Ravi udah dateng.” Karla menyembul dari balik pintu kamar dengan senyuman yang tercetak jelas di wajahnya. Danika beranjak, menutup laptopnya terlebih dulu kemudian mengikuti Karla ke bawah.
“Jaka izin keluar dulu. Katanya dia mau jemput Gani di depan. Motor Gani mogok,” ujar Karla, masih berjalan di depan Danika.
“Oh, iya. Nggak apa-apa. Mudah-mudahan si Esa juga cepet datang, ya. Aku nggak tahan pengen ngomel sama dia.” Danika mengangguk-angguk mengingat pesan Esa yang mengatakan sudah di perjalanan menuju rumah Danika.
Aliran darah dalam tubuh Danika terasa membeku saat sekilas matanya menangkap raut wajah Ravi. Cowok penyemangatnya dalam berkarya itu mengenakan kemeja biru muda, senada dengan gaun yang dikenakan oleh Danika. Atas desakan Karla, Danika rela memakai gaun yang sudah dipilihkan untuknya.
“Nah, itu Danika. Wah, Danika cantik sekali,” puji Pak Gio memandang Danika begitu takjub. Ravi? Ah, jangan ditanya lagi. Dia sangat bahagia saat ini.
Acara inti yang mendebarkan hati kedua remaja itu pun dimulai. Pak Gio mengutarakan maksud kedatangannya ke rumah keluarga Danika, lalu meminta jawaban apakah “kedatangan” Ravi itu akan diterima oleh Danika atau sebaliknya. Bunda yang duduk di samping Danika pun tersenyum, seakan menandakan bahwa sudah saatnya Danika menentukan nasib hatinya sendiri.
“Aku terima Ravi.” Danika menjawab dengan tersipu.
Ketegangan yang sejak tadi menguasai wajah Ravi, seolah lenyap begitu saja. dengan segera, Sandi menyodorkan kotak cincin yang dibeli Ravi bersama Esa beberapa waktu lalu. Posisi duduk mereka yang berhadapan, membuat netra Danika tak kuasa menatap wajah Ravi. Sikapnya begitu lucu, mungkin karena dia tak pernah berkhayal sejauh ini mengenai hubungannya dengan Ravi.
“Makasih ya, Ka.” Ravi tersenyum sambil menyematkan cincin di jari manis Danika.
Tak berselang lama, suara motor memecah suasana khidmat di rumah Danika. Ravi dan yang lainnya saling bertatapan satu sama lain, lantas beranjak ke arah depan untuk melihat siapa yang datang. Senyum lebar Danika tercetak jelas hingga menimbulkan cekungan di kedua pipinya. Sementara itu, Ravi cepat-cepat menghampiri orang yang baru saja datang dengan tatapan kesal.
“Halo, semuanya. Aku telat, nggak?” tanya Esa, disusul dua orang lain yang saling berboncengan; Jaka dan Gani.
“Oi! Ke mana aja nih, Suhu Curut? Bikin semua orang khawatir,” sergah Ravi memukul lengan Esa kuat-kuat. Kekesalannya sudah terlalu menumpuk karena Esa tidak memberi kabar berhari-hari, bahkan nyaris satu bulan lebih.
“Iya, nih! Kamu ke mana aja, Curut! Kalo ada masalah tuh berbagi gitu sama kita, jangan dipendem sendirian!” Danika ikut mengomel meluapkan kekesalannya seperti Ravi. “Sekarang dateng-dateng malah senyam-senyum begitu!” lanjut Danika, berkacak pinggang.
Orang tua Danika, Sandi, dan Pak Gio hanya menjadi penonton bagaimana persahabatan K’DER memang selalu ceplas-ceplos. Mereka sudah tak terkejut melihat Esa yang dikeroyok pertanyaan dari Danika dan Karla. Pasalnya, beberapa kali orang tua Danika, Sandi, maupun Pak Gio sempat melihat hal serupa. Bukan pada Esa saja, tetapi pada siapa pun yang membuat khawatir.
“Aduh, santai, atuh. Aku mau jelasin dulu.” Esa mengusap wajahnya sedikit bingung, karena apa yang akan dikatakan pasti mengundang ketidakpercayaan yang lain.
“Oi, Sa! Ngomong dong, yang jujur. Jangan mingkem aja kayak master siapa tuh yang pesulap itu?” Jaka meminta jawaban pada Danika dan yang lainnya.
“Master Tobat!” seru Danika.
“Dih, bukan. Master Simbad, tau!” Karla menyeru yakin seraya mengangguk-angguk.
“Halah, ngapain pada ribut soal itu, sih? Udah, mending kita dengerin penjelasan Esa dulu.” Gani turun dari motor dan menyalami orang tua Danika serta Pak Gio.
“Oke, siap. Buruan ngomong, Sa!” desak Ravi, lagi-lagi masih tidak bisa santai.
Esa menarik napas perlahan, lalu mengembuskannya. Dia mengingat cerita mana yang belum sempat dibagi kepada sahabat-sahabatnya. Sebelum bercerita, Esa terlebih dulu mengucapkan selamat secara serius pada Danika dan Ravi. Wajahnya begitu semringah, jauh berbeda dengan wajah yang ditunjukkan saat mengantar Ravi mencari cincin untuk lamaran.
“Aku sengaja pergi dari rumah karena Ayah minta nikah lagi.” Esa memulai penceritaan dengan wajah serius. “Aku nggak pernah kepikiran punya ibu tiri, Guys. Aku masih terlalu sayang sama Almarhumah Ibu yang menurutku, sampai kapan pun beliau nggak akan ada gantinya.”
Danika tiba-tiba menyela, “Kamu pergi dari rumah karena itu? Kenapa nggak cerita sama kita, sih? Apa gunanya sahabat kalo mendem masalah sendirian?”
“Danika, dengerin dulu penjelasan Esa. Jangan nyela gitu, nggak baik.” Ayah angkat bicara. Sepertinya Ayah juga merasa tertarik dengan alasan kepergian Esa. Sebetulnya, Ayah dan Bunda sudah tahu kalau Esa pergi dari rumah tanpa memberi kabar apa-apa dari obrolan Danika dengan yang lain saat mereka secara terang-terangan membahas kepergian Esa.
“Aku tahu apa yang aku lakuin itu salah,” ucap cowok yang sekarang duduk di motornya seraya menatap ujung sepatu hitam yang dikenakan.
“Nah, baguslah tuh. Memang seharusnya sadar kalo maneh salah.” Kali ini Ravi-lah yang menyambar ucapan Esa.
“Di satu sisi, aku nggak siap punya ibu tiri. Tapi di sisi lainnya, aku juga nggak mau Ayah kesepian. Aku bimbang waktu itu. Sampai akhirnya aku nyari tau orang yang mau Ayah nikahi.” Pandangan Esa bermuara pada orang-orang di sana.
“Satu hari setelahnya, aku nemuin surat di kamar Ayah. Di sana ada alamat yang tertulis, di kota yang sama sekali aku nggak punya sodara di sana.”
“Terus?” Kening Danika mengerut, menunggu kelanjutan cerita Esa.
Mendadak saja suara motor besar menjadi sumber pusat perhatian mereka. Ravi tercengang melihat motor yang masuk ke halaman rumah Danika. Ada dua orang yang Ravi kenal di sana, salah satunya malah tersenyum penuh malu pada Ravi.
“Nah, ini calon ibu tiri aku. Kenalin,” tambah Esa, menatap jail pada Ravi.
“Assalamualaikum, maaf kami datang terlambat,” ucap pria berambut kelimis itu penuh sopan. “Selamat ya, Danika, Ravi.” Dia menambahkan ucapannya, lalu menyalami orang tua Danika dan Pak Gio.
“Wa-waalaikumsalam. Om kenapa bisa sama Bi Deuis?” Mata Danika membeliak tidak mengerti.
“Kamu telmi apa pura-pura nggak ngerti, sih? Ya kalo gitu, artinya Bi Deuis … oi, ini beneran, Bi Deuis bakalan nikah sama ayah Esa. Pak Idan!! Wah, kalian sodaraan, dong?” sorak Jaka, kegirangan sendiri.
“Iya. Saya dan Pak Idan akan segera melangsungkan pernikahan.” Bi Deuis yang tadinya hanya diam, sekarang mulai berbicara meski masih malu-malu. Seluruh pintu hati yang pernah dia kunci untuk sosok mana pun, akhirnya berhasil dibobol oleh Pak Idan.
Mereka bertemu secara diam-diam di alun-alun kota. Kedatangan Bi Deuis ke rumah Ravi ternyata bukan hanya sekadar untuk menghibur dan memberi kekuatan pada keponakannya itu. Melainkan juga sudah memiliki janji dengan Pak Idan yang dikenalnya melalui kolega bisnis. Selama ini, Bi Deuis sengaja merahasiakan perkenalannya dengan Pak Idan karena takut akan menanggung malu seperti dulu saat orang-orang tahu dia memiliki pasangan, tetapi akhirnya ditinggal lagi.
Awalnya Bi Deuis tidak pernah mengetahui jika pria yang berhasil mencuri hatinya itu adalah ayah dari sahabat Ravi, yaitu Esa. Semua terjadi begitu saja, sampai suatu hari Esa mendatanginya ke Yogyakarta. Esa nekat pergi ke sana seorang diri demi menuntaskan rasa penasaran pada wanita yang sudah membuat ayahnya mabuk kepayang. Memang agak lain Esa ini.
“Ini bercanda, kan?” Ravi geleng-geleng, lalu menampar pipinya berkali-kali.
“Enggak, Rav. Aku serius! Selama ini aku ke Jogja, ke tempat Bi Deuis. Aku aja kaget waktu tau kalo ayahku naksir sama Bi Deuis. Ah, ya ampun! Kita bakalan sodaraan, Ravi Ganendra!” Esa menghambur memeluk Ravi penuh bahagia. Tak terbayang kalau mereka sudah resmi menjadi saudara, pasti kehidupan Esa akan semakin berwarna.
“Ah, tidaakkk! Aku dosa apa sama Tuhan, sampai-sampai harus sodaraan sama Esa?” pekik Ravi, membuat mereka tertawa bersama.
Mereka begitu saling mengerti, memahami, dan berusaha saling mengisi kehampaan yang dirasa oleh masing-masing. Esa menyadari hidupnya lebih berwarna jika tak ada dengki dan balas dendam. Sekarang, mereka sama-sama mengerti bahwa cinta bukanlah hal yang harus dirumitkan, meskipun cinta pertama adalah sahabat sendiri.