Siapa pun akan berbahagia menyambut hari yang penting di dalam kehidupan, terlebih sebuah lamaran. Danika seperti sedang dipeluk erat oleh Tuhan ketika dia mendapatkan kontrak penerbitan sekaligus akan dilamar oleh kekasih pujaan. Tak hentinya cewek itu bersyukur karena semesta masih memberi sedikit ruang kebahagiaan untuk kehidupannya.
Berita bahagia mengenai kerja samanya sudah diketahui oleh K’DER GJ. Sama seperti Danika, mereka ikut berbahagia atas pencapaian yang baru saja didapatkan. Bunda yang awalnya menolak mentah-mentah mimpi Danika, kini mulai memahami seberapa besar arti menulis bagi putri kesayangannya itu.
Mungkin begitulah cara semesta bekerja pada makhluk-makhluk Tuhan. Memberi sedikit demi sedikit ujian, lalu membalasnya dengan penuh kejutan. Danika sedang berbahagia menunggu hari lamarannya dengan Ravi, meski dia juga harus rela disibukkan oleh persiapan-persiapan yang tak bisa dianggap gampang.
Sejurus kemudian, Danika teringat Esa yang tak muncul di ruang chat grup mereka beberapa hari belakangan ini. Biasanya Esa-lah yang paling berisik di antara yang lain. Sebagai orang yang sudah cukup lama mengenal Esa, Danika tahu betul jika sahabatnya yang satu itu pasti sedang menyembunyikan sesuatu. Pandangan yang terfokus pada kertas origami pun beralih ke arah jam dinding. Belum terlalu malam untuk sekadar menemui Esa di rumahnya. Danika hanya ingin memastikan Esa baik-baik saja tanpa ada sesuatu yang kurang sedikit pun.
Kertas-kertas origami yang sudah dibentuknya kemudian disimpan di samping laptop. Danika bergegas menemui Esa mumpung masih belum terlalu larut. Dia meminta izin pada Ayah dan Bunda terlebih dahulu sebelum akhirnya mereka mengizinkan, tetapi hanya satu jam. Bagaimanapun Danika paham dirinya adalah seorang gadis yang kurang baik jika pulang larut malam.
Motor kesayangannya itu membelah jalanan malam yang lebih didominasi oleh kendaraan serupa. Di sepanjang jalan banyak pedagang yang masih membuka warung, bahkan beberapa di antaranya sangat ramai. Lima belas menit berlalu, Danika sampai di depan rumah Esa. Sejenak, langkahnya terpancang seraya mengeluarkan handphone untuk mengirimkan chat kepada Esa melalui japri, tetapi ceklis satu.
Beberapa hari belakangan ini Esa memang sulit dihubungi. Danika belum bisa menyimpulkan apa-apa mengenai Esa sebelum melihat kondisi yang sebenarnya. Dirasa membuang waktu hanya dengan memelototi chat yang tidak terkirim itu, Danika segera menyimpan benda pipih tersebut dalam saku baju kodoknya. Ah, baju kodok seperti sudah menjadi ciri khas yang sulit dihilangkan dari sosok Danika.
Pintu rumah bercat hijau diketuk. Mata Danika menyapu sekitar rumah Esa yang sangat sepi, padahal baru pukul delapan malam. Sayang, ketukan tadi tidak membuahkan respons dari sang empunya rumah. Danika kembali mencoba mengetuk pintu dengan lebih keras. Takut-takut kalau ketukannya tadi memang terlalu pelan sehingga tidak terdengar.
Perkiraan Danika benar, pintu rumah Esa akhirnya dibuka oleh seorang pria paruh baya. Menyadari kedatangan Danika, sosok itu tersenyum dengan mata berbinar seakan menyimpan sebuah harapan pada Danika. “Assalamualaikum, Om. Maaf aku ganggu malam-malam. Esa-nya ada, Om?” ujar Danika sopan sembari bersalaman dengan Pak Idan.
“Waalaikumsalam. Udah tiga hari ini Esa nggak pulang. Om kira dia ada sama kalian. Apa kamu nggak dapat kabar dari Esa sama sekali?” Cara bicara Pak Idan terdengar memelas dan penuh dengan kekhawatiran.
Kening Danika mengerut seketika mendengar penuturan Pak Idan. “Tiga hari, Om?” tanyanya, menegaskan.
Pak Idan mengangguk, lalu menarik napas panjang. “Esa nggak pamit sama sekali, Neng. Om berusaha nyari dia ke temen-temen kerjanya, bahkan ke tempat kerjanya. Mereka bilang, Esa nggak kelihatan dari tiga hari yang lalu. Tadi siang Ravi juga ke sini. Dia sama kayak kamu, cari Esa.” Ada jeda cukup lama, hingga Pak Idan kembali melanjutkan, “Apa kamu bisa bantu Om cari Esa? Om udah minta tolong sama Ravi juga. Maaf, ya. Om lupa nggak nanyain sama kamu soal Esa. Pikiran Om kacau.”
Tatapan Pak Idan menerawang halaman rumah tanpa mengatakan apa-apa lagi. Saraf-saraf di otak Danika saling berdiskusi mencari jawaban sendiri ke mana kira-kira Esa pergi. Selama mereka bersahabat, Danika hanya tahu jika Esa sering nongkrong bersama anak-anak motor di Dago. Dih, yang benar saja! Esa sudah berjanji tidak akan berkumpul dengan anak-anak motor itu lagi.
“Nanti Danika coba cari tau ya, Om. Jangan khawatir, Esa pasti baik-baik aja.” Suara Danika membuyarkan keheningan yang terasa beberapa saat tadi.
“Makasih banyak ya, Danika. Kalo kamu ketemu Esa, tolong suruh dia pulang dan bilang kalo Om nggak akan maksa dia ngizinin Om nikah lagi,” jawab Pak Idan.
Ha? Nikah lagi? Danika bertanya dalam hati. Sekarang dia mulai paham mengapa Esa pergi dari rumah dan sulit dihubungi. Ayahnya berniat menikah lagi, satu hal yang paling tidak diharapkan oleh Esa.
“Danika pulang ya, Om. Maaf mengganggu waktu istirahatnya. Assalamualaikum.” Sebuah senyuman tercetak di wajahnya. Danika segera memakai helm dan meninggalkan rumah Esa dengan cepat.
Bukannya langsung pulang, Danika malah membelokkan motornya ke sebuah kedai minuman kecil di pinggir jalan. Dia memesan cokelat panas, lalu duduk menatap hilir-mudik kendaraan yang melintas. Pikiran Danika menerawang jauh membayangkan keadaan Esa saat ini. Seharusnya Esa bercerita tentang apa yang tengah dihadapinya kepada Danika tanpa harus pergi dari rumah segala.
Tiba-tiba ingatannya tertarik pada pertemuan dengan Pak Idan beberapa saat lalu. Pria paruh baya itu bilang kalau Ravi juga mencari Esa siang tadi. Apa sebaiknya Danika menghubungi Ravi untuk mengajaknya mencari Esa?
Oi, maneh di mana, sih? Kenapa kabur-kaburan segala?
Kayak bocah banget! Buruan balik, Sa.
Kasihan ayah kamu khawatir di rumah.
Tadi aku ke rumah, ayah kamu bilang, dia nggak akan minta izin buat nikah lagi asal kamu balik.
“Huh! Awas aja, Sa. Kalo sampai besok chat aku belum dibaca juga, aku cari kamu ke mana pun!” tantang Danika kesal.
***
Sesuai ucapannya, dua hari setelah Danika mengirimkan chat pada Esa, tak ada tanda-tanda jika sahabatnya itu akan pulang. Danika sedikit geram dan memutuskan mengajak Ravi ke daerah Dago untuk mencari Esa. Danika yakin, Esa ada di sana. Ya, sangat yakin.
Kecepatan motor yang Ravi kendarai memang tak bisa dianggap sepele. Danika sampai menggetok kepala Ravi berulang kali karena tubuhnya yang ringan hampir terjengkang, tetapi Ravi tak terlalu menggubris getokan Danika. Hal yang ingin ditujunya sekarang hanyalah memarahi Esa jika seandainya dia benar-benar ada di sana.
Sialnya, jalanan menuju Dago macet. Danika mendesah kasar sambil terus melihat ruang chat-nya dengan Esa. Berharap ada sedikit jawaban agar emosi yang mulai meletup di otak Danika sedikit mereda. Sepertinya Danika memang harus membuang jauh-jauh harapannya karena Esa si keras kepala itu tak jua memberi kabar.
“Di mana tempatnya? Aku nggak tau, Ka.” Ravi bersuara setelah motornya berhasil melewati macet.
“Arah ke Dago Pakar itu, lho. Kamu kan pernah ke sana.” Danika sedikit berteriak agar suaranya bisa terdengar jelas oleh Ravi.
Tanpa bertanya lagi, Ravi kembali memacu motornya lebih cepat. Dia tak ingin membuang banyak waktu untuk menyimpan kekesalan pada Esa. Kalau memang cowok itu memiliki masalah, mengapa tak menceritakannya pada Ravi saat mereka pergi bersama hari itu?
Sekitar setengah jam membelah jalanan dengan kecepatan tinggi, Ravi dan Danika sampai di tempat yang biasanya dijadikan pelarian oleh Esa tempo hari. Di sana Danika melihat beberapa motor besar sedang terparkir, tetapi tak ada motor milik Esa.
Sebagai seorang cowok, Ravi berjalan lebih dulu untuk menanyakan apakah Esa ada di antara anak-anak motor itu atau tidak. Mereka mengatakan jika Esa sudah sangat lama tidak ikut bergabung. Selain itu, tak ada seorang pun di antara mereka yang mengetahui keberadaan Esa. Walau kecewa, keduanya memilih pulang dan mencari cara lain untuk menemukan Esa lagi.
***
“Nggak ada Esa, rasanya sepi, ya. Aku nggak tau harus cari dia ke mana lagi,” ucap Ravi di sela menyetrika kemeja yang akan dipakainya untuk lamaran.
“Iya. Biasanya dia selalu ngajakin aku jajan di kantin kampus. Dia kan suka dateng tiba-tiba ke kampus.” Jaka ikut mengomentari.
Satu bulan berlalu, mereka benar-benar kehilangan sosok Esa. Nomornya tetap tidak aktif, apalagi chat-chat yang mereka kirimkan sepertinya sudah berjamur. Bukan hanya Ravi dan Danika, Jaka juga pernah berusaha mencari keberadaan Esa dengan menunggunya di tempat kerja. Namun, cara gila itu pun tidak kunjung membuahkan hasil.
Di lain tempat, Danika sedang fokus mematut dirinya di cermin. Dia ingin tampil beda pada saat acara lamaran yang akan dilangsungkan dua hari yang akan datang. Karla yang ada di situ juga asyik membuka sosial media, meski tak bisa dimungkiri jika dia merindukan keberadaan Esa.
“Kar, Gani pasti datang di acara lamaran aku nanti, kan?” Danika menaruh pakaiannya di dalam lemari, lantas duduk di dekat Karla.
“Datang, kok. Kalo dia nggak datang, aku putusin.” Karla tertawa, tetapi seketika berhenti saat handphone yang dipegangnya bergetar. Sebuah telepon masuk dari nomor baru, berhasil membuat kening Karla terlipat.
“Halo?” katanya, tak henti menatap Danika.
“Karla, ini aku, Esa.” Dari suaranya, Karla sudah mengenali kalau itu memang Esa.
“Heh, maneh di mana, Sa? Kenapa nggak balik-balik? Kasihan itu Pak Idan khawatir. Gila nih, durhaka banget, ya!” omel Karla sedikit berteriak. Tiba-tiba handphone miliknya diambil alih oleh Danika.
“Sa, balik, dong. Nggak akan datang di acara lamaran aku, gitu? Apa mau aku jemput?” tawar Danika, berusaha mencairkan suasana.
“Naon sih, lebay! Hahaha. Nggak perlu. Aku nanti balik, kok. Sekarang aku lagi nenangin diri dulu. Tolong bilangin sama Pak Idan kalo aku baik-baik aja.” Pada saat seperti ini saja, Esa sempat-sempatnya tertawa.
“Aku balik kalo kamu lamaran sama Ravi. Ada yang mau aku sampaikan. Udah, ya. Aku mau seneng-seneng dulu di sini. Kalian jangan kangen aku, berat.” Sambungan telepon diputus sebelum Danika puas mengumpatnya habis-habisan.
“Dia lagi di pantai kayaknya. Sebulan nggak balik, taunya di pantai. Budak gelo,” decak Danika, menyerahkan handphone pada Karla.
“Kata siapa di pantai? Sok tau banget sih, Ka.” Karla menggeleng seraya mematikan sambungan internet agar bisa menghemat kuotanya.
“Emang kamu nggak denger kalo tadi suara anginnya kenceng banget? Ditambah ada suara air, tuh. Itu mah udah pasti di pantai, Karla.”
Karla hanya mengangguk, memercayai ucapan Danika yang selalu benar itu. “Kita ke rumah Ravi aja, yuk. Si Jaka ada di sana juga.”
“Kamu aja, deh. Aku mau istirahat biar nggak kurang tidur pas acara lamaran.”
Sejurus kemudian, sebuah jitakan mendarat di kepala Danika dan membuatnya merengut. Danika merebahkan diri di tempat tidur, membiarkan Karla berlalu keluar kamarnya. Untuk sehari ini saja, Danika tak ingin pergi ke mana pun. Dia hanya ingin berkencan dengan aksara-akara yang sudah cukup lama tidak bermuara pada lembar kerja miliknya.
***
Tidur nyenyak Danika sedikit terusik karena keributan di luar sana. Dia terbatuk-batuk, merasakan pernapasannya sesak. Mata yang tadinya rapat memeluk mimpi, kini terjaga dan mendapati kamarnya dipenuh asap. Kontan, Danika terbelalak panik ditambah suara-suara dari luar itu tak henti didengarnya.
“Bunda, kebakaran!” pekik Danika seraya menutup hidungnya dengan tangan. Tidak ada respons. Di lain sisi, Danika merasa heran karena asap yang masuk ke kamarnya sedikit beraroma arang, semacam ….
Ah! Orang-orang itu sudah membuat jantungnya hampir jatuh seketika. Di halaman rumah, Danika melihat Karla dan yang lain sedang asyik membakar sesuatu. Mereka melangsungkan acara malam-malam begini tanpa sepengetahuannya, padahal Danika sudah kalang kabut jika rumahnya kebakaran.
Sweter cokelat yang tergantung di balik pintu pun dipakainya dengan cepat. Langkah Danika menyusuri anak tangga dan berakhir di hadapan Ravi yang menatapnya penuh tanya.
“Kenapa, Ka? Kok panik begitu?” selidik Ravi, menyentuh kening Danika.
“Kamu nanya, aku kenapa?” Danika kesal. “Kalian kalo mau bakar rumah orang, ya kira-kira, dong! Ini asapnya sampe ke kamarku!” ocehnya berkacak pinggang.
Detik itu juga, tawa mereka pecah mendengar penuturan Danika. Dulu maupun sekarang, Danika memang tak pernah berubah. Sosok cewek yang simpel, konyol, tetapi terkadang berhati lembut dan bisa menangis hanya karena mendengar cerita yang berhubungan dengan sosok seorang ibu.
“Minum, Ka. Kamu pasti habis mimpi buruk karena tidur kamu kayak kebo,” kikik Jaka, menyodorkan minuman kaleng.
“Esa belum pulang juga, ya?” Danika menatap mereka satu per satu sambil menerima minuman dari Jaka.
“Dia pulangnya kan nanti kalo kamu sama Ravi lamaran.” Karla sibuk mencomot ayam yang baru saja selesai dibakar. Danika mengangguk paham, masih belum bisa banyak berpikir karena nyawanya sedikit tertinggal di alam mimpi. Dia duduk di teras dengan menopang dagu seraya mengamati bara api pada panggangan ayam.
“Kok ngelamun?” Ravi mendadak muncul di samping Danika hingga sedikit membuatnya terkesiap.
“Eh, kenapa? Aku nggak apa-apa, kok.” Danika agak salah tingkah mendapat tatapan Ravi yang teduh seperti biasanya. “Bunda ke mana, sih? Kok aku anaknya nggak tau, ya?” celetuk Danika, lebih kepada untuk mengalihkan perhatian Ravi.
“Tadi udah Magrib pergi dulu, mungkin lagi pacaran lagi.” Jaka terkekeh, lalu menambahkan, “Bunda bilang, kita bebas ngapain aja buat malam ini, asal nggak bakar rumah aja.”
Sekali lagi tawa itu pecah. Danika memijat keningnya bingung, bahkan saat keluar tadi tidak ingat untuk mengecek jam dahulu. Dia seperti orang linglung yang baru keluar dari gua setelah ratusan tahun tidak melihat manusia.
“Kita nyanyi-nyanyi, yuk!” ajak Danika tiba-tiba menepuk pundak Ravi yang masih duduk di sampingnya.
“Siap! Aku bawa gitarnya dulu ke rumah, ya.” Ravi beranjak mengambil kunci motor dan memutar balik kendaraan kesayangannya. Namun, suara Danika berhasil menghentikan langkahnya.
“Kenapa? Mau nitip makanan?” terka Ravi. Danika hanya menggeleng sambil menggigit bibir bawahnya, ragu untuk berbicara.
“Ada apa? Ngomong aja, Ka.” Ravi menatap sedikit khawatir melihat sikap Danika.
“Ehm, hati-hati di jalannya.” Pipi Danika bersemu merah mengatakan hal itu. Begitu pula dengan Ravi yang merasa bahagia karena Danika sudah mulai menunjukkan perhatiannya. Tak ingin membuat Danika menunggu, Ravi mengangguk seraya berbelok ke arah jalanan menuju rumahnya.
“Karla, Karla, hati-hati manggang ayamnya, ya,” ucap Jaka, setelah Ravi tak terlihat lagi.
“Ngeledekin ya, maneh?” Tatapan tajam Danika tertuju pada Jaka.
“Dih, siapa juga yang ngeledekin? Kita kan harus saling mengingatkan. Iya nggak, Kar?” balasnya dengan tangan tak berhenti membolak-balikkan paha ayam agar tidak gosong.
“Iya. Emangnya kamu doang yang boleh begitu sama Ravi? Kita juga bisa ya, Jak.” Bukannya membela Danika, Karla malah ikut meledeknya. Danika pun berlalu ke dalam, berniat membawa handphone jadul untuk bermain bounce selama menunggu Ravi kembali.
Dari luar, tawa Karla dan Jaka terdengar lagi. Danika tahu, ucapannya pada Ravi tadi memang terdengar menggelikan. Dia hanya sedang kecolongan karena tidak bisa mengontrol diri untuk menahan kalimat tadi. Sekarang, Danika tersenyum sendiri mengingat tingkahnya yang konyol dan wajah Ravi yang berubah menjadi sedikit memerah. Cinta memang benar-benar menghipnotis Danika.
***
Sampai sekitar pukul sebelas malam, rumah Danika masih ramai. Ayam bakar, nasi liwet, sambal bawang, dan jus jeruk seakan turut serta menemani. Bunda dan Ayah merasa bahagia melihat putri kesayangannya semakin tumbuh dewasa, apalagi lusa nanti akan segera melangsungkan lamaran dengan Ravi.
“Gimana makanannya enak, nggak?” tanya Bunda, mengisi gelas Ayah dengan jus jeruk lagi. Setengah jam lalu, mereka memang baru pulang dengan segala barang belanjaan persiapan lamaran.
“Mantul, Bun! Sering-seringlah kayak gini, biar berat badan aku naik,” ujar Danika begitu menikmati makanan malam itu.
“Biar baju pengantinnya cukup ya, Ka?” goda Ayah, melirik Danika dan Ravi bergantian.
“Pokoknya, kalo Danika nikah nanti, bajunya biar Karla yang pilihkan ya, Om. Boleh, kan?” Karla mengangkat alisnya dengan percaya diri. Ayah mengangguk setuju, lalu mengacungkan jempolnya. Sungguh, kebersamaan mereka memang terasa begitu erat. Seandainya saja Esa ikut serta, mungkin malam itu akan semakin semarak dengan celotehan-celotehan khasnya.