Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta Pertama Bikin Dilema
MENU
About Us  

Ravi tersenyum sendiri mengingat kelakuan Danika seharian ini. Pulihnya persahabatan K’DER juga menjadi bahan peledak kebahagiaan di hati Ravi. Hampir saja dia menangis sesenggukan di basecamp kalau tidak ingat ada Danika di sana. Logika saja, Ravi tak mau terlihat cengeng di depan cewek incarannya.

“Ciee, tumben banget senyum-senyum sendiri. Aku denger dari Kak Esa, Kakak pacaran sama Kak Danika, ya?” Sekonyong-konyong Sandi menghampiri Ravi yang larut dalam bayangan Danika.

“Nggak usah dengerin Esa. Dia mah tukang gosip,” omel Ravi. “Lagian juga Kakak nggak jadian sama Danika. Cuma udah saling terbuka aja,” imbuhnya, diikuti cengiran khas.

“Buka-bukaan? Astagfirullah, tobat, Kak! Kalian belum muhrim.” Sandi menggeleng jail. Alhasil kakak-beradik itu bergulat di kasur yang baru saja dirapikan oleh Ravi.

Pak Gio tiba-tiba datang dari arah pintu kamar Ravi. Pak Gio menggeleng-geleng melihat tingkah kedua anak laki-lakinya itu. Kendati begitu, Pak Gio merasa bahagia karena tidak kesepian di rumah. Ada Ravi dan Sandi, dua harta yang tersisa di dalam hidupnya.

“Besok Ayah mau ke makam Ibu. Kalian mau ikut?” ajak Pak Gio, berhasil meredakan pergulatan antara Ravi dan Sandi.

“Ma-kam Ibu?” tanya Sandi, suaranya bergetar.

Semenjak Bu Oki meninggal, Sandi memang selalu menghindar setiap kali diajak berziarah. Tak ada seorang pun yang bisa menyalahkan sikap Sandi. Baik Pak Gio maupun Ravi, mereka berusaha memahami perasaan Sandi. Dulu, ketika Bu Oki masih ada, Sandi memang sering dimanja bahkan terlampau sangat manja kepada sang ibu. Jadi, wajar saja jika kepergian Bu Oki menyisakan luka tersendiri baginya.

“Besok rencananya mau jam berapa, Yah?” Tak ingin membuat suasana semakin sedih, Ravi sengaja memberikan pertanyaan itu pada ayahnya.

“Jam delapan aja, biar nggak terlalu panas. Sekalian Ayah juga mau bilang sesuatu sama Ravi.”

Mata Ravi memicing, lalu berkata, “Sesuatu? Apa itu, Yah?”

“Besok aja, ya.” Sebuah senyum simpul dilemparkan pada anak sulungnya. Beberapa saat kemudian, Pak Gio sudah hilang di balik pintu kamar Ravi.

“San, kamu tau sesuatu soal Ayah? Kok kayaknya serius?” Sandi yang masih terisak itu ditatapnya. “Jawab Kakak, San!” desak Ravi, menangkup kedua pipi Sandi.

“Aku tau, Kak. Tapi lebih baik Kakak tau sendiri dari Ayah.” Sandi beranjak meninggalkan Ravi yang masih mencerna pernyataan ayahnya dan Sandi secara bergantian.

***

Kursor itu tak hentinya bergulir pada layar laptop milik Danika. Hampir setengah jam dia terus membaca beberapa e-mail masuk yang berisi dari seseorang yang tak dikenalnya. Lalu, mata indah Danika beralih pada amplop cokelat yang didapatkan dari ruang sekretariat tadi siang.

Instingnya mengatakan jika pemilik diksi-diksi itu adalah orang yang sama, meskipun memakai beberapa akun e-mail berbeda. Perlahan, tangannya mengeluarkan beberapa kertas dari dalam amplop. Di sana tertera sekitar tiga puisi dengan inisial yang sama seperti yang tercantum pada bagian depan amplop; RG.

“Nggak salah lagi! Feeling aku biasanya bener, nih,” decak Danika, menghentikan kursornya pada e-mail terakhir yang diterima.

Beberapa saat kemudian, seseorang masuk ke kamarnya dengan membawa dua gelas jus jeruk. Satu gelas disimpan di samping Danika dan satunya lagi dia teguk perlahan. Orang itu mengamati Danika dari tempat tidur, tetapi tidak bertanya apa-apa atau bahkan bersuara seperti biasa.

“Ah, pusing! Orang gila ini mah yang ngirimnya!” ucap Danika, menatap langit-langit kamar dengan frustrasi. Otaknya dipenuhi berbagai pertanyaan dari e-mail yang diterimanya.

“Ada masalah, Ka?” tanya orang yang membawa jus jeruk tadi.

Danika memutar kursinya, menatap penuh beban pada lawan bicara. “Ada orang iseng yang selalu ngirim puisi sama aku. Puisinya keren, sih. Tapi dia pake inisial segala. Malah, belakangan ini dia makin intens ngirimin aku e-mail.”

Selepas perkumpulan di basecamp, Karla memang meminta izin kepada Danika untuk menginap di rumahnya. Dia mengaku sangat merindukan suasana satu rumah dengan Danika, meski dahulu sering dibuat pusing oleh tingkah sahabatnya itu.

“Mana sini, aku lihat.” Karla bangkit menghampiri Danika. “Ini?” tunjuknya pada amplop cokelat. Danika mengangguk lesu.

Diraihlah amplop itu oleh Karla. Matanya menangkap sebuah inisial yang tertulis di sana. Raut wajah Karla terlihat serius, lebih tepatnya sedang mengingat-ingat sesuatu. Danika yang sudah pusing dengan teka-teki itu memilih beranjak menatap langit malam. Setidaknya, pemandangan langit malam ini jauh lebih menenangkan daripada sekumpulan puisi dari orang sok misterius. Danika tak habis pikir, di zaman sekarang masih ada orang yang begitu.

“Aku tau inisial orang ini. Enggak salah lagi, aku yakin dia orangnya!” pekik Karla terdengar begitu antusias, hingga Danika tersedak jus jeruk buatannya.

“Serius?” seru Danika bersemangat, kontan dibalas anggukan mantap dari Karla.

***

Di depan sebuah nisan, tiga orang berjongkok takzim seraya menebar bunga dan menyiramkan air doa. Sekeping kenangan bersama Bu Oki, perlahan bermunculan memenuhi kepala Ravi. Bayangan senyum meneduhkan itu seakan merangsek air mata agar luruh di pipinya. Namun, Ravi tak selemah itu. Sebisa mungkin dia menguatkan diri dan berbisik dalam hati, aku kuat demi Ayah dan Sandi.

Di samping Ravi, Sandi tertunduk pilu. Adiknya itu memang masih terlalu muda saat harus kehilangan Ibu untuk selamanya. Di depannya, Pak Gio juga tak kalah menunduk seraya menggenggam batu nisan Bu Oki. Kesedihan dan rasa kehilangan itu seakan-akan tengah berkumpul memayungi mereka. Membuat suasana pagi yang harusnya penuh semangat, kini berubah seketika.

Beberapa doa sudah selesai disampaikan. Mereka menutupnya dengan membaca Al-Fatihah secara bersama-sama. Dari sudut mata, Ravi bisa melihat tangan Pak Gio yang menyeka sudut mata tuanya. Binar semangat hidup yang selama ini dia lihat, seolah-olah hancur dalam waktu sekejap. Memang, tak pernah ada yang baik-baik saja dari sebuah perpisahan.

“Yah, San, udah, yuk. Waktunya kita pulang.” Ravi bangkit terlebih dahulu, lalu menyentuh pundak Pak Gio dan Sandi.

“San, Ayah mau ngobrol dulu sama Ravi. Kamu pulang duluan, nggak apa-apa?” Pak Gio mengalihkan pandangan pada Sandi.

“Iya, nggak apa-apa.” Sandi bangkit dan menyalami Pak Gio dan Ravi.

“Hati-hati di jalan, San. Ini buat naik angkot.” Ravi menyerahkan selembar uang dua puluh ribu. Jarak pemakaman ke rumah memang tidak terlalu jauh, tetapi Ravi tak akan tega membiarkan adiknya berjalan kaki sendirian. Kadang, seorang kakak bisa sesayang itu pada adiknya.

“Iya, Kak Ravi cerewet. Aku pulang dulu, assalamualaikum,” ucap Sandi bergegas meninggalkan keduanya tanpa mengatakan apa-apa lagi. Tubuhnya perlahan menghilang di belokan pemakaman, hingga menyisakan Pak Gio dan Ravi saja.

Pak Gio pun mengajak Ravi ke suatu tempat, tetapi tidak memberi tahu letak persisnya. Ravi menurut saja tanpa bertanya lebih banyak. Dia memang sedang menyiapkan mental, barangkali Pak Gio akan mengatakan sesuatu yang membuatnya terkejut tak ketulungan.

Mobil Pak Gio berbelok ke sebuah tempat yang tak pernah Ravi kunjungi, padahal letaknya hanya belasan kilometer dari rumah mereka. Perlahan Pak Gio benar-benar menghentikan mobil, kemudian keluar dan duduk di sebuah bangku yang ada di sana. Sejauh mata memandang, Ravi bisa menyimpulkan jika tempat yang saat ini didatanginya adalah sebuah taman. Ah, sebegitu lupakah dia mengenai tempat-tempat menyenangkan seperti ini di Bandung?

“Sini,” ajak Pak Gio, menepuk bangku kosong di sampingnya. Sejak di pemakaman tadi, wajah Pak Gio tak terlihat semangat sama sekali. Kedua matanya bahkan menyiratkan jika tengah ada sesuatu yang ditanggungnya seorang diri.

“Sebenarnya ada apa ini, Yah?” tanya Ravi, benar-benar tidak mengerti dengan sikap sang ayah.

Mendapati pertanyaan begitu, Pak Gio tersenyum. “Ini tempat pertama kali Ayah ketemu sama Ibu, Rav. Dulu di sini nggak terlalu rame kayak sekarang. Setiap sore Ayah selalu main sepeda ke sini cuma biar bisa lihat ibumu.” Pandangan Pak Gio beralih pada langit, lalu kembali memandang ke sekitar tempat itu.

“Ayah sangat mencintai ibumu, Rav. Sampai di akhir hayatnya, Ayah tetap mencintai ibumu. Hari yang kita lewati masa itu memang menyakitkan untuk Ayah. Tapi, kita nggak akan bisa menolak takdir yang sudah ditetapkan-Nya, kan?”

“Sebenarnya Ayah sedih waktu kamu memilih tinggal sama bibimu di Jogja. Seharusnya kamu di sini aja sama Ayah, sama Sandi, biar rumah kita yang cukup besar itu nggak terasa sepi setelah kepergian Ibu.” Pak Gio masih mengutarakan segalanya walau kali ini suara pria itu agak bergetar.

“Tapi Ayah berusaha mengerti atas pilihan kamu hari itu, Rav. Mungkin kamu risi dengan Ayah yang sering minta ditemani. Ayah paham soal itu, Rav.”

Hati Ravi merasa tertohok dengan pengakuan Pak Gio. Dia menyadari, sikapnya selama ini memang egois dan terkesan tak terlalu memedulikan bagaimana perasaan ayahnya dan Sandi. Ravi mennagis karena sangat terpukul mengetahui bahwa selama ini ayahnya menanggung kesedihan sedalam itu.

“Rav, selama kamu di Jogja, kamu nggak pernah tau apa yang terjadi di rumah, kan? Mungkin ini sudah saatnya kamu tau kondisi yang sebenarnya.” Pka Gio bangkit menuju mobil, entah apa yang dilakukannya. Ravi mendongak, memperhatikan gerak-gerik Ayah yang sudah “dibuang”-nya tempo hari. Hanya berselang beberapa menit, Pak Gio kembali duduk di samping Ravi dengan membawa amplop. Di luarnya terdapat sebuah logo rumah sakit ternama di Bandung.

“Kamu baca ini, Rav. Tapi tolong, jangan pernah menyalahkan siapa pun.” Amplop itu diserahkan pada Ravi. Air muka Pak Gio menyiratkan kesedihan yang tak bisa dijabarkan.

Detik itu juga, Ravi membuka amplop dan membaca sesuatu di sana. Kedua bola matanya bergulir dengan saksama, lalu tak lama setelah itu, air mata terlihat menggenang di sana. Ravi menurunkan tangan yang masih memegang amplop tanpa berkata apa-apa selain memeluk Pak Gio. Perasaannya saat ini semakin hancur saja. Dia tidak menyangka ayahnya akan sekuat itu menghadapi semuanya sendiri tanpa bercerita apa-apa.

“Maafin Ayah, Rav. Ayah baru bisa kasih tau kamu sekarang. Ayah nggak mau ganggu konsentrasi kamu selama sekolah di Jogja. Tapi Ayah juga nggak bisa bohongin diri Ayah sendiri kalo kehadiran kamu di sisi Ayah memang sangat dibutuhkan.” Pak Gio meremas baju Ravi yang masih memeluknya cukup erat.

“Suatu hari nanti, kalo Ayah harus menyerah, Ayah harap kamu nggak pernah tinggalin Sandi ke Jogja lagi, ya. Jaga rumah peninggalan Ayah dan Ibu dengan baik.”

“Ayah nggak boleh ngomong gitu. Maafin Ravi selama ini, Yah,” ucap Ravi parau.

Ayah dan anak itu larut dalam kesedihan yang disaksikan semesta. Bertubi-tubi Ravi menyalahkan dirinya yang tak mau memahami keadaan. Dia hanya memikirkan apa yang membuatnya tenang, tetapi melupakan bahwa di kedua sisi kehidupannya ada yang begitu membutuhkan kehadirannya. Terlebih ayahnya yang sekarang tidak baik-baik saja.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
IMAGINE
384      273     1     
Short Story
Aku benci mama. Aku benci tante nyebelin. Bawa aku bersamamu. Kamu yang terakhir kulihat sedang memelukku. Aku ingin ikut.
Langkah yang Tak Diizinkan
195      163     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
Mimpi Milik Shira
526      299     6     
Short Story
Apa yang Shira mimpikan, tidak seperti pada kenyataannya. Hidupnya yang pasti menjadi tidak pasti. Begitupun sebaliknya.
Aku Istri Rahasia Suamiku
13198      2537     1     
Romance
Syifa seorang gadis yang ceria dan baik hati, kini harus kehilangan masa mudanya karena kesalahan yang dia lakukan bersama Rudi. Hanya karena perasaan cinta dia rela melakukan hubungan terlarang dengan Rudi, yang membuat dirinya hamil di luar nikah. Hanya karena ingin menutupi kehamilannya, Syifa mulai menutup diri dari keluarga dan lingkungannya. Setiap wanita yang telah menikah pasti akan ...
Cerita Cinta anak magang
552      345     1     
Fan Fiction
Cinta dan persahabatan, terkadang membuat mereka lupa mana kawan dan mana lawan. Kebersamaan yang mereka lalui, harus berakhir saling membenci cuma karena persaingan. antara cinta, persahabatan dan Karir harus pupus cuma karena keegoisan sendiri. akankah, kebersamaan mereka akan kembali? atau hanya menyisakan dendam semata yang membuat mereka saling benci? "Gue enggak bisa terus-terusan mend...
GEANDRA
444      357     1     
Romance
Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cinta seorang anak Kiayi tempatnya mencari jati diri. Dan cinta Ilahi yang selama ini dia cari. Dalam masa perjuangan itu, ia harus mendapat beragam tekanan dan gangguan dari orang-orang yang membencinya. Apakah Gean berhasil mencapai tuj...
Love Never Ends
11902      2508     20     
Romance
Lupakan dan lepaskan
Luka atau bahagia?
4980      1447     4     
Romance
trauma itu sangatlah melekat di diriku, ku pikir setelah rumah pertama itu hancur dia akan menjadi rumah keduaku untuk kembali merangkai serpihan kaca yang sejak kecil sudah bertaburan,nyatanya semua hanyalah haluan mimpi yang di mana aku akan terbangun,dan mendapati tidak ada kesembuhan sama sekali. dia bukan kehancuran pertama ku,tapi dia adalah kelanjutan dari kisah kehancuran dan trauma yang...
Bittersweet My Betty La Fea
4825      1532     0     
Romance
Erin merupakan anak kelas Bahasa di suatu SMA negeri. Ia sering dirundung teman laki-lakinya karena penampilannya yang cupu mirip tokoh kutu buku, Betty La Fea. Terinspirasi dari buku perlawanan pada penjajah, membuat Erin mulai berani untuk melawan. Padahal, tanpa disadari Erin sendiri juga sering kali merundung orang-orang di sekitarnya karena tak bisa menahan emosi. Di satu sisi, Erin j...
Dessert
1052      555     2     
Romance
Bagi Daisy perselingkuhan adalah kesalahan mutlak tak termaafkan. Dia mengutuk siapapun yang melakukannya. Termasuk jika kekasihnya Rama melakukan penghianatan. Namun dia tidak pernah menyadari bahwa sang editor yang lugas dan pandai berteman justru berpotensi merusak hubungannya. Bagaimana jika sebuah penghianatan tanpa Daisy sadari sedang dia lakukan. Apakah hubungannya dengan Rama akan terus b...