Bendera kuning ditancapkan di depan rumah Esa oleh seorang tetangga. Suasana duka menyelimuti sekitar, isakan dari para kerabat pun terdengar mengiris-ngiris perasaan. Esa tak henti menangis karena merasa Tuhan terlalu singkat memberikannya kesempatan untuk berbakti. Di balik samping loreng, ibunya terbujur kaku tak lagi bernapas.
Ravi yang pernah ada di posisi Esa, tak bisa memungkiri sakitnya ditinggal sosok ibu. Dulu, Esa-lah yang tak pernah berhenti menguatkannya. Memeluk, mendekap, saling segalanya. Kini, tugas itu harus dilakukan oleh Ravi pada Esa. Memang selalu ada masa di mana ketangguhan seseorang hancur tiada tersisa.
“Apa dosa aku selama ini, Rav?” Esa masih berada dalam dekapan Ravi.
“Ini udah takdir Tuhan, Sa. Kamu nggak boleh nyalahin diri sendiri.” Bagaimanapun sikap Esa padanya, Ravi tetap berdiri paling depan untuk menguatkan. Dia tak ingin Esa hancur lebur sendirian.
“Kang, kita bawa ibunya ke masjid buat disalatkan.” Pak RT menghampiri Esa dan Ravi.
Sebagai anak yang berbakti di akhir hidup ibunya, Esa berdiri paling depan mengangkat keranda. Beginilah akhir perjalanan seorang manusia. Diantarkan banyak orang tanpa bisa memilih siapa saja yang boleh ikut serta. Lantunan tahlil pun tak henti menggema di sepanjang jalan. Jarak antara rumah dan masjid cukup menempuh waktu lima menit. Air mata Esa merembes deras, terjatuh pada tanah yang kelak akan menjadi saksi tentang kebaktiannya pada sang ibu.
Maaf atas segala salah yang Esa lakuin sama Ibu, rintihnya dalam hati.
***
Satu per satu pelayat mulai berpamitan pulang dan kini yang tersisa hanya K’DER. Sosok Gani tak terlihat di acara pemakaman karena harus ke klinik untuk mengobati luka akibat tinjuan Esa pada bibir, pipi, dan perutnya. Selama bermenit-menit lamanya, mereka tak saling bicara. Danika sibuk menenangkan Karla yang ditemuinya di indekos dalam keadaan menangis, meskipun berhasil mengajak Karla ke rumah Esa. Begitu pula dengan Esa yang masih setia menunduk meratapi kepergian ibunya.
“Kuat ya, aku pamit duluan.” Ravi bangkit setelah menyentuh pundak Esa. Mata Danika menatapnya iba, rasanya ingin sekali menyapa dan banyak bertanya. Namun, Danika meredam keinginan yang tak mungkin bisa dilakukan olehnya lagi. Saat di rumah sakit saja Ravi hanya menjawab semaunya.
“Rav, tunggu!” Esa ikut bangkit, mencegah Ravi dengan menyuruhnya kembali duduk.
“Ada apa, Sa?” tanya Ravi, menyiratkan tanda tanya di wajahnya. Tak ada kekuatan untuk menatap Danika yang berada tepat di samping Esa. Semua kekuatan Ravi menguar bersama udara, lantas mentertawakan dari atas sana.
Esa menghela napas. “Aku minta maaf. Selama ini aku nggak pernah niat bikin K’DER berantakan kayak sekarang. Aneh aja rasanya. Kita yang sekarang, udah bukan kayak kita yang dulu.”
“Terus, kamu puas? Setelah berantakin semuanya, kamu juga yang bikin aku putus sama Gani.” Karla menunjuk Esa penuh emosi. Dia dan Danika baru saja datang setelah prosesi pemakaman.
“Kar, kok ngomongnya gitu, sih?” Danika menyikut Karla, menghentikan sumpah serapah yang akan dilontarkan pada Esa lagi.
“Aku minta maaf.” Esa menatap mereka satu per satu secara bergantian.
“Jadi mau kamu sekarang gimana?” Tangan Ravi menyentuh pundak Esa. Rasa nyeri seolah terus berusaha merangsek pertahanan hatinya.
“Aku mau kita kayak dulu. Bisa?” pinta Esa, terdengar sungguh-sungguh. Senyum kecut dengan wajah masam tercetak jelas di wajah Ravi.
Permintaan Esa barusan sangat berlebihan. Sudah terbukti, Esa yang membuat semuanya jadi seperti ini. Ravi tahu, Esa hanya takut cintanya pada Karla bertepuk sebelah tangan dengan alasan janji yang pernah diikrarkan K’DER. Kalau memang Esa ingin persahabatan mereka baik-baik saja, lalu kenapa dia sendiri yang memercikkan api di dalamnya? Ravi benar-benar tidak mengerti.
***
Gani menekuri nasibnya seorang diri di kamar. Dia baru saja pulang setelah pengobatan akibat luka pukul dari Esa. Pipi dan sudut bibirnya memar, persis seperti seorang maling yang baru saja dihakimi massa. Kabar kepergian ibu Esa sudah diterimanya beberapa saat lalu melalui pesan singkat yang dikirimkan oleh Danika. Sejauh ini, Gani masih tak bisa memutuskan ke mana lagi harus melangkah meniti kehidupan. Dirinya seakan hilang arah, apalagi gelenyar luka yang menyusup ke dalam dada itu semakin bergerilya tak tanggung-tanggung.
Keputusannya memilih mengakhiri hubungan dengan Karla memang sangat dipaksakan. Gani jadi ingat bagaimana dirinya terhempas jatuh saat harus merelakan Rere dipanggil Yang Kuasa. Sudut-sudut kekuatannya hancur lebih parah daripada hari ini, bahkan dia sama sekali tak memiliki semangat untuk melanjutkan hidup lagi.
Semua keputusasaan itu hilang sejak mulai mengenal Karla. Sosok cewek sempurna yang berhasil menyembuhkan ketidakberdayaannya. Gani sendiri mengenal Esa karena semasa sekolah, mereka sering bertemu di tempat tongkrongan anak-anak motor. Dari sanalah Gani mengenal Esa, lalu mereka berteman cukup akrab sampai Karla ikut masuk dalam dunia Gani.
Karla, gadis sempurna yang begitu Gani cintai itu pasti sudah membencinya saat ini. Bagaimanapun Gani menyadari jika apa yang dilakukannya terhadap Karla adalah sesuatu yang salah. Namun, sekali lagi Gani menutupi rasa salah itu dengan dalih “demi Esa”. Halah! Gani muak setiap kali dalih itu memenuhi pikirannya.
“Karla, apa yang harus aku lakuin sekarang? Aku sakit karena ngelepasin kamu,” ucap Gani, menatap fotonya bersama Karla pada handphone. “Maafin aku, Karla.” lanjutnya, menangis.
Siapa pun yang baru berpisah pasti akan merasakan sakit seperti yang Gani rasakan. Air matanya menggenang membasahi pipi, melarutkan setiap kepedihan yang kadung memenuhi hati. Gani tak tahu sampai kapan akan bertahan dalam situasi itu. Sejujurnya, Gani ingin menemui Esa dan mengucapkan belasungkawa atas kepergian ibunya. Akan tetapi, keinginannya itu ditahan sedemikian keras karena Gani belum siap melihat Karla yang pasti ada bersama Esa.
Beberapa saat kemudian, Gani bangkit menyeret langkahnya keluar rumah. Dia ingin menemui seseorang untuk mengobati luka di hatinya. Tak ada pilihan lagi selain datang kembali ke sana, meski Gani tahu persis raganya tak kuasa menahan hantaman keadaan yang menerpa saat ini. Gani hampir mati karena perasaannya sendiri.
***
Perjalanan tak terlalu lama itu berakhir di sebuah lokasi yang satu bulan lalu dia datangi juga. Setiap kali rindu membuncah di dadanya, Gani selalu datang menemui Rere di tempat peristirahatan terakhir. Langkah gontai terlihat menyusuri setiap batu nisan yang dilewati. Kepala Gani menunduk, seolah-olah sedang berdiskusi dengan tanah yang dipijaknya.
Lokasi pemakaman Rere memang berada di dalam. Cukup jauh dari gerbang masuk pemakaman tersebut, mungkin sekitar dua menit berjalan baru akan sampai. Cowok itu berjongkok di depan sebuah nisan bertuliskan “Rere Arumi” dengan tatapan nanar. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, selain isakan yang terus memberondong pertahanan.
“Re, kenapa harus pergi tinggalin Kakak? Apa kamu nggak bisa bilang sama Allah biar kamu lebih lama temenin Kakak di sini?” Suara Gani bergetar hebat, seluruh kekuatannya tak lagi tersisa.
“Kakak butuh Rere di sini,” lanjutnya, masih terus menangis tersedu-sedu. “Harusnya Rere nggak ngelakuin itu. Rere lebih kuat daripada Kakak. Rere lebih berhak hidup lebih lama daripada Kakak.”
Otak pusat Gani otomatis melompat pada hari ketika dirinya mendapati Rere kejang-kejang di kamar dengan mulut berbusa. Dalam keadaan panik, Gani membawa adiknya itu menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan, tak hentinya Gani melayangkan permohonan pada-Nya agar Rere bisa diselamatkan. Tak terpikir sama sekali bagaimana hidup Gani akan berjalan seandainya terjadi sesuatu yang buruk pada Rere.
Setibanya di rumah sakit, Gani segera meminta dokter agar melakukan penanganan medis terhadap Rere yang sudah semakin parah. Tubuhnya terus mengejang dan terasa dingin, hingga pikiran Gani mulai menceracau hal yang tidak-tidak tentang adiknya. Sampai kapan pun, Gani tak mau kehilangan orang yang berarti dalam hidupnya lagi.
“Maaf, Mas. Adik Anda tidak bisa kami selamatkan. Adik Anda terlalu banyak minum obat penenang hingga over dosis. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkehendak lain. Saya turut berduka, Mas.”
Hantaman kenyataan itu melumpuhkan tulang kekuatan yang Gani miliki. Dia menangis meronta-ronta, merasa hidupnya tak lagi berguna. Rere yang selama ini selalu terlihat baik-baik saja dan lebih kuat darinya, justru terluka seorang diri. Gani telah gagal menjadi seorang kakak yang baik bagi Rere, terlebih selepas kepergian kedua orang tua yang mengalami kecelakaan dua tahun silam.
Sejak saat itu, Gani mulai memahami bahwa tak semua orang yang terlihat baik-baik saja, memang sedang baik-baik saja. Dia juga semakin mengerti jika keberadaan orang-orang yang disayangi akan memberi pengaruh yang begitu besar dalam hidupnya. Sekarang, Gani hanya ingin menyelamatkan hati dan hidupnya sendiri. Walau tak ada Rere, bahkan Karla lagi, setidaknya dia masih memiliki sedikit harapan di dalam jiwanya. Harapan yang larut dalam luka dan air mata.
***
Antapani, pertengahan September.
Sudah sangat lama Danika tak menempati ruangan ini. Dinding yang penuh dengan foto masa SMP itu menjadi pemandangan tersendiri baginya. Tempat tidur luas dengan seprai biru langit memang tak ada yang bisa mengalahkan keempukannya, apalagi dua rak buku masih berdiri di tempatnya semula. Tak ada yang berubah sama sekali dengan ruangan ini, meski sudah sangat lama Danika tak menghuninya.
Pertemuan terakhir dengan K’DER menghasilkan satu kesepakatan. Danika kembali ke rumah, meninggalkan tempat indekos Karla. Kepergian ibu Esa membuatnya sadar jika Tuhan bisa merenggut nyawa siapa saja yang dikehendaki-Nya. Danika tak ingin hal serupa terjadi pada Bunda. Untuk itulah dia memutuskan meredam ego dan kembali ke rumah.
Risiko setiap pilihan hidup itu pasti ada. Mungkin setelah ini, Danika akan mengurangi waktu untuk menulis. Dia tak ingin Bunda semakin sakit saat tahu dirinya masih menggeluti literasi. Walau sekarang, Danika sudah resmi menjadi mahasiswi sastra di universitas pilihannya.
“Danika, apa kamu perlu sesuatu?” Bunda datang dari arah pintu. Wajah pucat pasi kentara terlihat pada wanita paruh baya itu.
“Eh, Bunda. Enggak, kok. Sini, Bun.” Danika bangkit dari tempat tidur dan memapah Bunda duduk di sampingnya. Kesehatan Bunda semakin hari mengalami peningkatan. Dari segi makanan, Bunda hanya boleh makan yang halus seperti bubur, nasi tim, dan sejenisnya. Kesehatan memanglah hal terpenting bagi Bunda saat ini. Danika tak ingin melewatkan masa menjaga Bunda karena takut berujung penyesalan seperti yang Esa alami.
“Ka, gimana kabar sahabat-sahabat kamu itu? Mereka kuliah di mana?” tanya Bunda mengelus kepala Danika. Orang yang ditanya hanya tertunduk, bingung harus menceritakan semuanya dari mana.
“Mereka sehat kok, Bun. Aku lupa sih mereka kuliah di mana aja. Tapi yang jelas, Esa nggak kuliah, Bun. Semenjak ibunya meninggal, dia pindah kerja.” Penjelasan seperti itu saja yang bisa Danika berikan. Perihal pertengkaran dan kesalahpahaman lainnya, Danika cukup menyimpan rapat semuanya. Jangan sampai Bunda tahu kalau K’DER bubar jalan.
“Oh, gitu. Makan dulu, yuk. Bunda kangen makan malam sama kamu.”
Sebelum Bunda hilang di balik pintu, Danika menghambur memeluknya dari belakang. “Maafin aku selama ini, Bun. Aku nggak akan tinggalin Bunda lagi.”
Bunda berbalik, mengusap lembut wajah anaknya yang semakin beranjak menjadi dewasa. “Jangan dibahas lagi. Bunda minta maaf karena dulu nggak pernah ngizinin kamu nulis. Tapi sekarang, kamu boleh bermimpi apa aja termasuk mimpi yang bikin kamu pergi dari rumah ini.”
Sontak pupil mata Danika melebar. Rasanya tidak menyangka Bunda akan memberikan izin seperti itu. Andaikan saja izinnya diucapkan sejak lama, mungkin Danika tak perlu menggembel di indekos Karla dengan makan seadanya.
“Makasih banyaaak. Yeay! Akhirnya bisa begadang, minum kopi, dan nulis tanpa takut dimarahin Bunda.”
“Hei, nggak ada ya, minum kopi sama begadang. Tugasmu itu kuliah sambil sesekali nulis. Kuliah lebih utama. Pen-di-di-kan!” tegas Bunda seperti biasa saat sedang serius. Danika terkikik melihat ekspresi bundanya yang lucu. Sudah sangat lama momen ini dilewatkan olehnya.
Canda dan tawa bersama Bunda yang tak didapatkan selama hidup di indekos Karla, benar-benar mengubah hidup Danika. Sekalipun hubungan persahabatannya sedang berantakan, Danika yakin suatu hari nanti akan ada keajaiban yang datang.
“Nih, makanan kesukaan kamu. Batagor!” seru Bunda, sengaja menggodanya.
“Lho, kok makannya sama batagor? Bunda serius?” Danika menatap Bunda penuh tanya karena tak biasanya batagor menjadi lauk makan di rumah itu.
“Haha, ya enggak, dong. Ini batagor buat ngemil kamu aja. Bunda sengaja bikin biar kamu nggak kabur-kaburan lagi.” Kedua manik mata Bunda berkaca-kaca saat menatap wajah Danika.
“Ka, kamu anak Bunda satu-satunya. Bunda mau menghabiskan seluruh usia Bunda sama kamu. Nanti kalo kamu sudah menikah, pasti kamu bakalan ikut suami. Nggak akan ada Danika anak Bunda yang hobinya nulis. Bunda juga nggak akan teriak-teriak manggil kamu setiap kali ada temen-temen kamu itu. Bunda pasti akan merindukan kamu, Ka.”
Hati Danika terenyuh bukan main. Bunda benar, suatu hari nanti akan tiba masanya dia menikah dan memiliki keluarga sendiri. Pergi dari rumah ini, meninggalkan Bunda dan Ayah dalam kesepian. Ah, Danika tak ingin menerawang lebih jauh tentang pernikahan yang sampai sekarang pun masih abu-abu baginya. Namun yang jelas, dia hanya sedang berusaha mendamaikan perasaannya sendiri.
“Udah, dong, Bunda. Aku sedih, nih,” rengek Danika meminta Bunda menyudahi ucapannya. Tangannya menangkup kedua pipi Bunda, lalu berkata, “Bunda adalah ibu terbaik buat aku. Makasih ya, Bun. Maaf sering bikin kesel dan ngerepotin. Aku sayang sama Bunda.”
Tidak ada kata-kata dari Bunda lagi. Wanita paruh baya itu segera memeluk Danika penuh sayang. Dia beruntung memiliki putri seperti Danika yang selalu berusaha menenangkan setiap kegelisahannya. Bunda tak pernah membayangkan bagaimana jadinya kalau saja Danika tak pernah kembali ke rumah itu. Mungkin sampai kapan pun, Bunda akan menyalahkan dirinya sendiri atas kepergian Danika.
***
Malam dengan gemerlap bintang di atas sana selalu menjadi pemandangan terindah bagi Danika. Dari jendela kamar, dia bisa melihat hamparan lampu kota yang memenuhi setiap sudut malam. Angin sepoi-sepoi menyentuh rambutnya hingga tersibak. Senyum Danika mengembang diiringi pikiran bercampur aduk dengan kenangan.
“Aku kangen kalian,” desis Danika melipat tangannya di dada. Merasakan dingin yang semakin menusuk pori-pori.
Pikiran Danika juga terpaut pada Gani, cowok yang teramat Karla sayangi. Danika tahu betul bagaimana Karla menyayangi Gani dengan sepenuh hati, begitu pula sebaliknya. Kalau Danika boleh jujur, dia sama sekali tidak menyangka Gani akan memutuskan Karla demi Esa. Akan tetapi, Danika tak mau menyalahkan Gani sepenuhnya. Setiap pilihan pasti disertai alasan, begitu pun dengan yang Gani lakukan. Tak berbeda seperti dirinya yang memilih menutup rapat-rapat pintu hati dari Ravi, padahal sosok itu sudah menyelinap diam-diam dan menetap di setiap denyut nadinya.
Di lain tempat, Ravi merenungi nasib. Belum sempat memiliki, dia justru harus kehilangan. Ravi tahu, sikapnya pada Danika saat di rumah sakit tempo hari sangatlah keterlaluan. Namun, jika tidak seperti itu, maka Ravi akan menambah rasa bersalahnya. Ya, bersalah karena melanggar perjanjian persahabatan mereka. Perasaan Ravi itu semakin tumbuh setiap hari tanpa ada alasan yang jelas. Danika memang berbeda dengan cewek lain karena hatinya terlalu sulit diluluhkan. Bagaimanapun Ravi percaya jika perasaannya selama ini sudah dibalas oleh Danika.
Sebuah pesawat origami ditatap Ravi penuh tanya. Harapan yang tertulis di dalamnya sudah beberapa kali dia baca. Pilot pesawat origami pembawa harapan itu pasti Danika, satu-satunya orang yang dia tahu sering menuliskan sesuatu pada pesawat origami. Ravi menemukan pesawat origami itu jatuh di dekatnya saat di rumah sakit. Pertama kali melihat, Ravi sudah bisa memprediksi siapa pemiliknya.
“Aku kangen, Ka,” kikik Ravi lantas kembali memandang hamparan kota dan memasukkan pesawat origami itu ke dalam saku celananya.
“Uhuk. Ada yang lagi kangen, nih.” Sandi tiba-tiba datang menggoda Ravi. “Terlalu banyak mikirin cewek itu nggak baik, Kak. Bisa bikin Kakak sengsara.” Celetukan Sandi dibalas dengan jitakan di kepalanya.
“Kak, dengerin ini.” Sandi membawa gitar milik kakaknya, lantas duduk dengan serius dan mulai memainkan sebuah lagu. Ravi tercenung mendengar petikan gitar dari Sandi yang merujuk pada lagu berjudul “Rindu Setengah Mati”. Sejak kapan adiknya itu mahir bermain gitar? Setiap kali diajak belajar memetik gitar saja Sandi tak pernah mau.
“Selama Kakak galau, sering keluar rumah, dan merenung, aku diam-diam belajar gitar. Waktu Kak Danika ke sini juga dia dengerin aku nyanyi sambil main gitar.” Sandi seolah tahu apa yang ada di pikiran Ravi tentangnya.
“Danika ke sini? Kapan?”
“Udah agak lama, sih. Tapi yang aku inget, waktu ibu Kak Esa meninggal.”
Secara otomatis memori Ravi terjatuh pada hari itu. Kedatangannya ke rumah sakit memang disambut sapaan oleh Danika walau dengan angkuhnya Ravi malah membuang muka dan hanya menyahut singkat.
“Bego! Kenapa aku nyuekin dia!” rutuk Ravi, mengusap wajahnya kasar. Terkadang dia memang masih kesulitan menguasai dirinya saat berada di hadapan Danika.
“Kenapa, Kak? Ada yang terjadi sama kalian?” selidik Sandi yang akhir-akhir ini kerap memperhatikan gelagat Ravi.
“Enggak.” Ravi menggeleng, lantas kembali menatap langit malam. Membayangkan ekspresi Danika saat mereka bertemu di rumah sakit itu.
“Kak, kalo boleh saran, lebih baik Kakak jujur sama diri sendiri dan Kak Danika. Kakak datengin dia, bilang semuanya.” Sandi bersikap sok bijak dengan tangan yang menepuk-nepuk pundak Ravi. “Cinta itu harus dikejar, diperjuangkan. Jangan cuma ngegalau di sini doang.”
“Udah sana, kamu tidur! Kakak bilangin sama Ayah baru tau rasa!” ancam Ravi agar Sandi menuruti perkataannya. Wajah Ravi bersemu merah karena malu menyadari kslau adiknya itu bisa berpikiran lebih dewasa dibandingkan dirinya.
“Ye, malah ngegas. Perjuangin kalo emang suka!” seru Sandi lagi, mirip motivator cinta.
Tak ada pilihan bagi cowok itu selain bergegas meninggalkan kamar Ravi walau dengan terpaksa. Selepas Sandi keluar, Ravi masih berbetah diri membiarkan angin memeluknya malam ini. Entah siapa yang salah atau tak jujur di sini. Ravi maupun Danika, mereka sama-sama kesulitan saat harus berdamai dengan keadaan.