Jalanan malam dengan semilir angin menemani Ravi dan Danika. Keduanya tampak akrab berbincang, berbagi pengalaman apa saja yang didapatkan selama tidak pernah bertemu. Selain Karla, Ravi juga tahu tentang mimpi terbesar Danika untuk menulis. Cowok itu merasa senang saat Danika menceritakan ide-ide brilian untuk naskahnya. Begitu pula dengan Danika yang selalu antusias setiap kali Ravi membahas musik. Mereka memang saling melengkapi sejak dulu.
“Rencananya mau lanjut ke mana, Ka?” tanya Ravi sembari menyedot jus mangga. Mereka memutuskan untuk mengobrol sejenak di sebuah kafe, hitung-hitung curhat sesi kedua.
“Hm, mungkin ke universitas yang di Nangor. Niatnya sih, ambil Sastra Indonesia.” Danika tampak ragu memberikan jawaban ini pada Ravi.
“Menurut aku mah kamu nggak bener-bener mau ke sana. Kelihatan banget dari ekspresinya,” tuduh Ravi tertawa.
“Aku males kuliah kalo nggak inget mimpi itu,” desah Danika. “Kamu sendiri, gimana?” Cewek itu mengamati mata Ravi dengan intens, tak sabar rencana hebat apa lagi yang akan Ravi utarakan.
“Aku mau lanjut ke sekolah musik. Gimana menurut kamu?”
“Keren! Aku dukung seratus persen. Tapi kok aku takut kalo udah kuliah nanti kamu pasti bakalan lupa sama aku dan yang lain.” Danika manggut-manggut. Nada bicaranya tadi terdengar sangat menyebalkan di telinga Ravi.
“Nggak berubah dari dulu. Suuzon terus, nih,” kekeh Ravi, sedikit tersindir karena selama di Yogya memang jarang mengabari yang lainnya termasuk Danika.
“Aku pulang ke Bandung buat kamu lho, Ka.” Tiba-tiba kalimat itu terlontar dari mulut Ravi, sehingga membuat Danika hampir tersedak mendengarnya. Hati Danika yang sedari tadi baik-baik saja mendadak meletup-letup. Ini aneh.
“Aku tau kok, kamu ke sini buat nagih janji waktu itu, kan? Nulis cerpen yang namanya pake nama kamu, Ravi Ganendra,” kikik Danika mencoba menguasai diri. Jika ada cermin, mungkin dia bisa melihat perubahan warna wajah yang terjadi.
“Ha? Eh, aku anggap itu hutang!” Ravi salah tingkah dibuatnya. Mereka saling pandang, lantas mentertawakan satu sama lain.
***
Karla nyengir melihat Esa yang baru saja mengantarkannya pulang. Sama seperti Danika, Karla memang lebih dekat dengan Esa. Mereka memiliki satu kesamaan; sama-sama nggak jomlo. Saat ini Karla berpacaran dengan Gani, cowok Ujung Berung, berzodiak Gemini, dan pencinta musik seperti Ravi. Siapa pun cowok yang melihat Karla pasti akan luluh dibuatnya.
“Pacar kamu itu siapa, Sa?” Tiba-tiba Karla menanyakan ini.
“Rahasia, lah. Kepo banget sih, Neng.”
“Sok misterius banget. Pacar kamu nggak cantik kayak aku sama Danika, ya?” ledek Karla menyunggingkan senyum meledek.
“Sembarangan kalo ngomong. Kamu tuh emang cantik, tapi kalo Danika … dia mah gila.”
“Hei, siapa yang gila? Kurang ajar itu mulut!” Tanpa diduga, Danika dan Ravi datang secara mendadak. Mereka baru memutuskan pulang setelah berbincang banyak hal di kafe itu.
“Lho, kalian baru nyampe?” Ravi memarkirkan motornya di dekat Esa.
“Nah, kamu sendiri kok baru nyampe? Ke mana dulu?” selidik Esa ingin tahu. Dengan gaya tak jauh berbeda seperti bos, dia melipat tangan di dada. “Eh, inget, ya. Di antara kita nggak boleh ada yang pacaran sama Danika ataupun Ravi.”
“Dih, apa-apaan ngatur segala!” Ravi berdecak.
“Iya, nih. Kamu kenapa sih, Sa? Tiba-tiba ngomong begitu.” Danika memasang wajah kesal, karena ucapan Esa barusan terdengar menyebalkan.
“Lupain aja. Aku pulang dulu, ya. Makasih buat hari ini! Inget, Rav. Jangan pacaran sama Danika. Sampai kapan pun, kamu nggak akan bisa pacaran sama dia.”
Esa bergegas meninggalkan Ravi dan yang lainnya dalam kebingungan. Motor hitam milik Esa pun hilang dari pandangan. Ravi ataupun Danika mengerutkan kening mencerna kalimat Esa terakhir yang terdengar seperti sebuah … kode?
***
Insomnia tiba-tiba menyerang Ravi. Pukul dua dini hari, dia masih terbangun menatap langit-langit kamar. Ucapan Esa saat akan pulang tadi berputar-putar di kepala tiada henti. Memang bukan urusannya kalau Esa melarang seperti itu. Namun, mengapa rasanya menyebalkan? Melarang sekaligus kode yang tidak jelas alasannya.
Ravi bangkit menuju meja belajar. Pandangannya memendar sekitar, lantas terjatuh pada sebuah foto. Hampir tujuh tahun dia bersama-sama dengan Danika dan yang lainnya. Ravi pun masih sangat ingat kapan foto itu diambil hingga diabadikan dalam pigura.
Perkenalan dengan K’DER adalah hal tergila yang Ravi tahu. Ya, K’DER memang singkatan dari Karla, Danika, Esa, dan Ravi. Geng tersohor satu sekolah saat SMP dan berlanjut sampai sekarang. Orang-orang mengenal mereka sebagai “nyawa sekolah”, karena selalu memiliki cara tersendiri untuk berbagi semangat positif. Baik melalui kegiatan mading ataupun kegiatan lain di sekolah.
Senyum Ravi mengembang membayangkan hidupnya sangat berwarna karena mereka. Walaupun di satu sisi, Ravi merasa ada sesuatu yang dilupakan. Sebisa mungkin Ravi mengingat-ingat, barangkali ada hubungannya dengan perkataan Esa.
Handphone yang disimpan di atas tumpukan buku bergetar. Mata Ravi tertuju pada jam dinding, ternyata sudah pukul setengah tiga. Siapakah yang masih terjaga sepertinya? Dengan segera, Ravi meraih benda pipih itu dan mendapatkan satu pesan masuk dari Karla yang mengaku tak bisa tidur karena masih terngiang ucapan Esa tadi.
Ravi mendengkus kasar membaca pesan Karla, lalu mereka bertukar pesan hingga sama-sama mencetuskan pertanyaan; Apa jangan-jangan Danika adalah pacar Esa? Namun, bagaimana mungkin?
***
Wajah kurang tidur di hadapannya menarik perhatian Danika untuk bertanya. Selama ini, dia tidak pernah melihat ekspresi Karla sekacau itu. Dari sejak Subuh tadi, Danika memang sudah menaruh curiga pada sikap Karla.
Merasa dirinya diperhatikan, Karla mengangkat kepala dan menatap Danika. Piring berisi nasi kuning buatan pedagang langganan sama sekali tak menarik baginya. Di kepala Karla hanya ada keinginan tidur panjang untuk menebus insomnia semalam. Inilah pertama kalinya dia merasa gila karena insomnia.
“Sakit, Kar?” tanya Danika menempelkan tangannya pada kening Karla.
“Enggak.” Suara Karla begitu parau. Cewek itu lebih memilih menenggelamkan wajah pada lipatan tangan daripada sarapan nasi kuning.
“Nggak biasanya kamu kayak gini. Ada masalah sama Gani?” selidik Danika lagi, kali ini Karla hanya menggeleng. “Makan dulu, nanti kalo sakit, kamu nggak bisa nemenin aku beli kertas origami. Stok udah habis, tuh.” Bibirnya mengerucut, membentuk penyesalan yang tidak diharapkan.
Karla bergeming mendengar ucapan Danika yang lebih mirip dengan kereta api. Rasa kantuk bercampur penasaran benar-benar menghukum matanya. Ah, Karla bisa kerempeng jika setiap hari harus begitu.
Rav, sore ini ketemu di Kafe ID. Ada yang mau aku bahas.
Ajakan yang dikirim lewat WhatsApp itu langsung biru. Tandanya, Ravi sedang online dan segera membaca pesan Karla. Terlihat lucu, memang. Karla masih sempat mengirimkan pesan untuk Ravi walau posisinya menunduk antara menahan kantuk dan menyembunyikan kontak mata dengan Danika. Karla takut sahabatnya tahu kalau dia akan bertemu Ravi.
Oke. Aku tunggu aja, ya. Nggak mungkin juga kalo jemput ke kosan.
Balasan Ravi membuat Karla mendongak. Danika terpaksa mengurungkan niat untuk menyendok nasi kuning. Keningnya mengerut, mencetak sebuah keanehan. “Kenapa? Mau nasi kuning?” tanya Danika.
“Sebenernya kamu sama Esa punya rahasia apa?”
Bukannya terkejut, Danika malah tertawa. Pertanyaan Karla seputar Esa itu benar-benar mengocok perutnya. Sekarang Danika paham apa yang menyebabkan Karla terlihat frustrasi sejak Subuh. “Pasti semalaman mikirin soal omongan Esa, ya? Makanya pagi ini kayak orang gila.”
“Ka, aku serius. Kok malah ketawa?” Karla mengganti posisi duduk dan menopang dagu dengan sebelah tangannya.
“Aku malah nggak mikirin soal itu, Kar. Lagian juga kenapa harus ada rahasia? Toh, kita sahabatan udah dari SMP. Apa itu belum cukup bikin kamu percaya sama aku?” Pernyataan sekaligus pertanyaan Danika cukup menampar perasaan Karla. Pasalnya, dia dan Ravi tengah menyimpan sebuah rahasia yang tak mungkin diberitahukan pada Danika, setidaknya untuk sekarang.
“Bukan gitu, tapi aku ngerasa ada yang aneh. Apa aku lupa peraturan yang berlaku?”
“Peraturan yang mana?” Danika malah balas bertanya.
“Peraturan kita, K’DER.”
Danika bangkit, berdiri di samping Karla dan menatapnya tajam sembari berkacak pinggang. “Kamu lupa satu hal, Kar. Kamu lupa kalo omongan Esa itu nggak boleh dipikirin berlebihan. Esa mah emang gitu. Jadi, santai aja,” bisiknya, lantas berlalu ke kamar tanpa menunggu respons Karla lagi.
***
Obrolan serius antara Ravi dan Karla sudah terjadi sejak sepuluh menit yang lalu. Dua gelas jus jeruk turut menjadi saksi keduanya saat nama Esa dan Danika disebut-sebut. Sesekali Ravi berdecak mengatakan analisisnya. Dia tak ingin mencurigai sahabatnya sendiri, terlebih Danika.
Dari sudut pandang Karla, ancaman Esa terkesan berlebihan. Selama bersahabat, baru kali ini Karla mendengar cara bicara yang lain dari Esa. Cowok bertubuh mungil tapi cukup tampan itu seolah menyimpan sisi rahasia yang tidak diketahui oleh siapa pun.
“Kamu kayak gini bukan karena suka sama Esa, kan?” Ravi mendadak menghujani pertanyaan konyol pada Karla. Otomatis, cewek berambut sebahu itu terkikik geli. Bodoh sekali rasanya saat Ravi mempertanyakan hal yang tak perlu ditanyakan.
“Aku udah punya Gani, Rav. Ya ampun, kamu ngigo kali.”
“Terus, janji kamu sama aku yang dulu, gimana?” Pandangan Ravi menatap tajam pada Karla.
“Aku inget, kok.” Karla menepuk punggung tangan Ravi, meyakinkan cowok itu jika Karla benar-benar mengingat janjinya yang dahulu. Ravi pun kembali diam, mencoba merangkai beberapa pertanyaan yang mungkin akan sedikit membuka jalan keluar dari ucapan Esa semalam.
Di tempat lain, Danika justru sibuk menulis puisi. Sore menjelang senja dengan posisi jendela menghadap ke arah barat adalah salah satu kenikmatan yang tiada duanya. Sebenarnya, Danika menyesalkan sikap Karla yang terlalu memikirkan kejadian semalam. Danika merasa kalau Esa hanya berguyon tanpa ada maksud lain di dalamnya.
“Ngapain juga aku mikirin soal itu? Yang penting sekarang, naskah aku selesai biar bisa dikirim ke penerbit,” desis Danika mengakhiri pergulatan hati dan logikanya. Pada saat bersamaan, handphone-nya bergetar sekaligus memunculkan sebuah pesan masuk dari kontak yang diberi nama “Ravi”.
Danika, nanti malam temenin aku, ya. Aku tunggu di lampu merah depan.
Entah kenapa, Danika merasa ada kebahagiaan tersendiri saat membaca pesan ajakan itu. Dia seperti sedang melayang menembus atap semesta tanpa memedulikan apa yang ditinggalkannya di bumi.
“Danikaaa, kamu ada di dalem, kan?” seru seseorang dari luar. Mendengar namanya dipanggil, Danika langsung tertarik. Suara cempreng itu benar-benar familier di telinganya. Dari sekian banyak orang yang bernapas di dunia, mungkin Esa adalah pemilik suara tercempreng yang Danika tahu.
“Ngapain ke sini? Nggak kerja?” Pandangan yang pertama kali dilihat saat Danika membuka jendela kamar adalah wujud Esa tengah berdiri di luar pagar dengan jarak sekitar beberapa meter dari pintu masuk. Esa nyengir mendapat pertanyaan yang sebenarnya sudah ribuan kali dia dengar dari Danika.
“Yaelah, ke sini cuma mau nyengir doang mah buat apa?”
“Apa nggak ada cara lebih sopan buat terima tamu? Eh, si Karla ke mana? Biasanya dia yang pertama kali aku lihat kalo ke sini,” celetuk Esa sembari mengedarkan pandangannya dengan teliti.
“Nggak tau, dia pergi dari tadi. Jalan sama Gani, kali,” balas Danika seolah tak berniat membahas hilangnya Karla sore itu.
Nanti aku dateng ke sana setelah Magrib. Anak solehah mau solat dulu soalnya. Hahaha.
Terkirim. SMS balasan bagi Ravi sudah aman.
“Danika, aku masih di sini, lho.” Suara itu membuat Danika menepuk jidat. Hampir saja dia lupa kalau Esa sedang bertamu. Buru-buru Danika menyimpan handphone dan menutup laptopnya, lantas mempersilakan Esa untuk duduk di kursi teras.
“Sepi banget ini kosan, kayak kuburan.” Esa melongok ke dalam mengamati setiap pintu kamar yang tertutup.
“Penghuninya pada pergi. Cuma aku sendiri yang di sini,” ujar Danika menopang dagu, menghirup udara di teras yang terasa lebih segar dibandingkan biasanya.
“Kenapa nggak balik ke rumah aja? Pasti Bunda kangen, tuh.” Esa menatap Danika serius, menunggu reaksi seperti apa yang akan diberikan ketika membahas soal keluarga.
“Belum saatnya balik. Aku belum jadi penulis.” Dalam hitungan detik, raut Danika berubah seketika. Esa sudah memprediksi ini sebelumnya. Jadi, tidak terlalu kaget lagi.
“Balik, lah. Sesekali tengokin orang tua.” Tangan Esa menyentuh pundak Danika.
Obrolan Danika dan Esa ini rupanya didengar oleh Karla. Namun, dia sengaja tak menyapa mereka dan memilih bersembunyi di balik benteng pagar untuk menguping apa saja yang dibicarakan dua sahabatnya.
“Iya, nanti. Eh, ngapain ke sini? Tumbenan.” Arah pembicaraan sengaja dibelokkan Danika.
“Aku pengen mampir aja. Kebetulan nggak ada kegiatan.”
“Emang nggak kerja?”
“Hari ini aku libur, Ka.” Sekali lagi Esa menatap Danika dengan intens. Bola matanya yang berwarna hitam pekat itu berbinar begitu jelas.
Apa perkiraan aku bener kalo Esa suka sama Danika? Atau jangan-jangan mereka udah jadian? Lihat aja mata Esa. Dia nggak pernah seteduh itu mandang cewek! batin Karla, memilih mundur dengan sangat hati-hati, kemudian berlari menuju pintu belakang indekos.
“Kamu kenapa sih, Sa? Dari semalem kamu itu aneh. Cara bicara kamu sebelum pulang juga kesannya penuh kode,” cerocos Danika, sedikit khawatir melihat sikap Esa yang tidak begitu biasa. “Emang sebenernya apa alasan kamu bilang kalo Ravi sama aku nggak boleh pacaran? Lagian, nggak mungkin juga aku sama dia kayak begitu, Sa.”
“Kamu yakin nggak akan jatuh cinta sama Ravi?” Kedua manik mata Esa menusuk jauh ke dalam mata Danika yang kini mengerutkan kening bingung.
“Ya-yakin, kok. Apa ada yang salah?”
“Ada.” Esa menyeru cepat. “Bukan salah, sih. Lebih ke … melupakan?”
“Melupakan? Maksudnya gimana?” Danika menyelidik, nada bicaranya menurun dari biasa dan terdengar ragu di telinga Esa.
“Satu hal yang udah jadi kesepakatan bersama.” Esa menyunggingkan senyum penuh misteri.
“Iya, apa?” tanya Danika, memburu penjelasan Esa untuk menyelesaikan rasa penasarannya.