Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta Pertama Bikin Dilema
MENU
About Us  

Danika tersenyum menyelesaikan tugasnya hari ini. Cewek itu sudah merapikan kamar yang tadinya terlihat seperti kandang kambing. Dinding kamar yang semula bercat hijau pun berubah menjadi biru langit. Warna kesukaan Danika. Di meja rias, Danika menyiapkan beberapa kertas origami yang akan disulap menjadi pesawat, lalu menulis secercah harapan sederhananya di sana.

Titip salam untuk semesta. Katakan padanya, aku adalah penulis ternama beberapa tahun yang akan datang.

Sebuah kalimat tertulis dengan penuh keyakinan. Hatinya meletup bahagia membayangkan semua harapan yang selama ini tampak sia-sia itu akan terwujud. Perlahan Danika bangkit menuju halaman belakang untuk menerbangkan pesawat origami yang baru saja selesai dibuat. Rambutnya mulai acak-acakan terkena embusan angin yang cukup kencang. Keadaan seperti inilah yang membuat kedua manik mata Danika semakin berbinar. Angin yang kencang akan membawa pesawat origami miliknya semakin tinggi.

Sebelum menerbangkannya, mata indah Danika menelisik langit biru dengan binar pengharapan. “Titip salam buat dia juga, ya.” Danika bergumam dan melepas pesawat origami berwarna merah diiringi senyum penuh kebahagiaan yang tampak jelas di sudut-sudut bibirnya.

“Mau sampai kapan jadi pilot origami?” ledek Karla yang tiba-tiba saja datang dari arah pintu.

“Sampai dunia tau kalo aku itu penulis.” Danika tersenyum memandang Karla.

Perdebatan mereka pagi tadi akhirnya bisa diselesaikan dengan baik-baik. Karla belum tega mencekik Danika walau lemari peninggalan ibunya berubah menjadi rongsokan. Bagaimanapun, Karla menyayangi Danika dan pintu maaf untuk sahabatnya itu masih tersisa sangat banyak.

“Aku yakin, suatu hari nanti kamu bakalan jadi penulis keren dan hebat.” Karla mengangkat kedua jempolnya sebagai perwujudan benar-benar mendukung impian sahabatnya itu.

“Kamu nggak jalan sama Gani? Tumbenan.” Kening Danika mengernyit, memandang Karla yang tampak berpikir cukup lama.

“Enggak. Soalnya Ravi udah balik ke sini. Nanti sore dia bakalan ke basecamp kita waktu dulu.”

“Serius? Akhirnya kita kumpul lagi!” Tubuh cewek berbadan mungil itu meliuk-liuk seperti hulahup. Kebiasaannya saat senang memang aneh. Danika berjoget begitu lincah di depan Karla, seakan tidak peduli kalau-kalau ada tetangga sebelah yang mengintip dari benteng di belakangnya.

“Aku seneng karena akhirnya Ravi pulang.” Dalam sekejap, cara bicara Karla berubah bercampur haru. Kontan Danika menghentikan euforia pribadinya, kemudian menatap penuh selidik pada Karla. “Ada yang harus aku dan Ravi selesaikan. Aku mau tagih janji dia.”

Detik itu juga Danika tercenung mencerna ucapan Karla yang tak biasa. Selama mereka bersahabat, hanya pada saat “penuh harapan” suara Karla akan berubah menjadi seperti itu. Apakah Ravi dan Karla …? Ah, Danika menepis jauh prasangka tidak pentingnya.

“Kenapa sih, emangnya?” Segenap kekuatan telah Danika persiapkan kalau-kalau harus mendengar sesuatu yang menyakitkan.

“Udahlah, aku nggak mau bahas. Yang jelas, Ravi masih harus memenuhi janjinya.” Sekali lagi Karla mengungkapkan pernyataan serupa dengan diikuti cekikikan. “Kunci basecamp ditaruh di mana, Ka?”

“Nggak tau. Terakhir kan yang ngunci kamu sendiri.” Danika mengedikkan bahu.

“Oh, iya, ya.” Karla cengengesan. Sudah terlalu lama dia tidak melihat kunci basecamp itu. “Nanti aku cari, deh. Semoga nggak hilang.” Setelah mengatakan ini, Karla bergegas meninggalkan Danika yang menatapnya penuh intimidasi.

***

Sore hari di tempat kelahiran adalah hal yang selalu dirindukan Ravi selama tidak dengan Bi Deuis di Yogya. Rumah yang berada di sekitar kota itu tidak terlalu megah, tetapi menyimpan banyak kenangan di dalamnya. Di halaman depan terdapat sebuah kolam ikan kecil yang dihias dengan air mancur buatan, ditambah beberapa tanaman yang tumbuh subur di sekitarnya.

“Rav, kamu serius kan, menekuni dunia musik?” tanya Pak Gio seraya duduk di kursi depan. Tatapannya terpusat pada beberapa daun yang terjatuh dari pohon mangga.

“Serius. Emang kenapa?” Ravi ikut duduk di kursi yang satunya. Dari cara berbicara mereka, rasa-rasanya akan ada pembahasan yang serius.

“Enggak. Ayah cuma mastiin aja. Oh ya, tadi kamu bilang mau ketemu sahabat-sahabat kamu waktu SMP, ya?” Pandangan pria berumur itu beralih pada Ravi. Di benaknya, dia begitu merindukan kedekatan seperti ini. Saling berbagi, berbincang, bercerita, bahkan mengisi kesepian-kesepian yang sudah menjamur di rumah.

“Iya nih, nanti agak sorean. Sebenernya masih cape, sih. Tapi aku nggak sabar pengen ketemu sama mereka.” Senyum kebahagiaan tercetak jelas di wajah Ravi. Baginya, kehidupan hanya menyisakan dua kubu kebahagiaan. Pertama adalah keluarga dan keduanya adalah sahabat. Pacar? Ah, Ravi belum ingin menjalin hubungan seperti itu. Meskipun di sanubari terdalamnya, dia sedang mencintai seseorang. Cinta pertama, selain ibunya.

“Jangan pulang terlalu malam. Lusa ini kamu harus segera daftar kuliah.” Pak Gio bangkit meraih jaket yang tadi disampirkan pada kursi, lalu masuk tanpa mengatakan apa-apa lagi. Ravi terdiam mendapati sikap sang ayah yang begitu tidak biasa. Napas kasar pun ditarik dengan menyandarkan kepala pada tembok.

“Seandainya Ibu masih ada.”

***

Satu keranjang salak tersaji di meja kecil berwarna cokelat, sementara di sampingnya terdapat empat kaleng minuman bersoda. Jam dinding kecil di ruangan itu menunjukkan waktu semakin sore, tetapi orang-orang yang sudah ditunggu sejak tadi ternyata belum datang seperti janji yang disepakati. Tampak seorang cewek dikucir satu sedang asyik manggut-manggut sembari menyibukkan diri di depan benda kesayangannya.

“Kebiasaan dari lama, nih,” decak seorang cewek yang terlihat lebih gelisah dibandingkan cewek yang satunya.

“Mungkin macet. Udah sih, santai aja. Mereka pasti dateng.” Cewek berkucir itu mencoba menenangkan, lalu kembali mengayunkan jemarinya pada keyboard tanpa merasa gelisah sedikit pun.

“Karla! Oh, My God! Kamu pangling banget!” seru seseorang dari luar yang datang mengendarai motor seorang diri. Sahutan itu sontak membuat Danika bangkit dari depan laptop. Suara melengking, tetapi cukup menawan tadi benar-benar dikenalinya.

“Ini meet up pertama kita, lho.” Di lain pihak, Karla mencerocos kesal. Namun, Ravi berjalan menjauh dari motor dan sigap memeluk Danika tanpa menganggap Karla ada di situ.

“Aku ada di sini. Aku makhluk hidup. Aku masih napas. Please, aku bukan tembok ya, oi, kalian berdua!” Karla menarik kerah belakang Ravi. Otomatis cowok termuda di antara mereka itu sedikit tertarik ke belakang.

“Eh, Karla. Maaf, kirain udah pulang.” Ravi menatap Karla tanpa rasa bersalah sama sekali, membuat cewek itu merengut sebal dan berlalu ke dalam. Kedatangan Ravi kali ini memang membuatnya bahagia sekaligus bingung harus memulai segala sesuatunya dari mana. 

Ravi dan Danika pun mengikuti langkah Karla ke dalam, tempat ternyaman selama SMP untuk saling berbagi cerita. Setiap pulang sekolah, tempat itu selalu menjadi tujuan utama dibandingkan rumah. Meskipun tidak begitu luas, setidaknya mereka menganggap rumah milik keluarga Karla tersebut seperti surga.

“Eh, kok cuma bertiga? Esa ke mana?” Pandangan Ravi memindai sekitar ruangan, lalu berakhir dengan menatap Karla dan Danika secara bergiliran.

“Dia masih kerja, baru pulang nanti Magrib.” Tangan Karla sibuk mengupas kulit salak. Cara bicaranya masih terdengar begitu kesal, padahal Ravi sudah meminta maaf berulang kali. Danika sendiri malah anteng dengan laptop dan segala imajinasinya. Perkumpulan ini lebih tepat disebut kesibukan yang hakiki dibandingkan meet up sahabat lama.

Ruangan itu seketika menjadi hening. Mereka sibuk masing-masing tanpa ada yang saling berbicara lagi. Di dalam pikiran Danika sedang berkeliaran adegan seorang cowok berkacamata memohon-mohon pada pacarnya agar tidak putus. Sontak bayangan itu membuatnya terkekeh sendiri. Karla mengerutkan kening menatap Danika dari samping hingga menyikut Ravi yang berada di sebelahnya.

“Udah biasa dari SMP. Paling lagi bayangin tokoh fiksinya.” Ravi berbisik sambil melahap salak yang sudah dikupas. Ravi dan Danika memang sebelas dua belas. Mereka terkadang bertingkah gila secara bersamaan sampai-sampai membuat Karla bingung karena memiliki sahabat seperti mereka.

Tiba-tiba handphone antik Danika bergetar. Satu telepon masuk menampilkan nama “Esa Julid” di layar handphone miliknya. Dia mengalihkan pandangan hingga mengarah pada Karla dan Ravi.

“Esa telepon,” katanya, sebelum benar-benar menjawab.

Hanya sekitar tiga menit sambungan telepon itu berlangsung, kini ekspresi Danika berubah menjadi perpaduan antara akan tertawa dan sedih. Ravi membenahi cara duduknya, lantas menatap Danika penuh arti.

“Ada apa?” Karla angkat bicara.

“Motor Esa mogok di lampu merah depan. Kayaknya, salah satu dari kita mesti ke sana, deh. Bantu dorong motornya, gitu.” Danika menatap Ravi dengan intens. Mendapat tatapan seperti itu, Ravi sudah paham maksudnya.

***

Pukul delapan malam, Ravi dan Esa tak kunjung datang. Keduanya menghilang begitu saja tanpa kabar atau sekadar membawa pesan kalau-kalau ada sesuatu yang terjadi. Karla berkacak pinggang dan mondar-mandir di depan pintu, merasa kedua sahabatnya itu sudah keterlaluan.

“Pulang, yuk! Aku laper, nih.” Danika bangkit menenteng laptopnya dan menepuk bahu Karla. Tak ada respons apa-apa dari cewek jangkung di hadapannya selain menatap penuh keheranan pada Danika.

“Kamu nggak cemas sama Ravi dan Esa? Kok balik, sih?”

“Mereka cowok, bisa jaga diri. Paling juga mampir di tempat bakso langganan. Kamu mah kayak nggak tau mereka aja, Kar.” Danika menjawab dengan begitu santai, membuat Karla geleng-geleng. Tidak seperti biasanya, cewek itu terlihat sangat cuek. Apa karena ada sesuatu yang terjadi tanpa sepengetahuan Karla?

“Udah ah, aku balik duluan.” Belum sempat Danika pergi, dua cowok yang sejak tadi Karla tunggu itu akhirnya datang.

“Dari mana aja, sih? Dorong motor kok lama banget sampe berjam-jam.” Karla memandang keduanya dengan tatapan begitu kesal.

Esa menarik napas mendengar celotehan Karla. Risiko memiliki sahabat super cerewet memang harus selalu siap dengan omelan-omelan macam dari emak sendiri. Lain halnya dengan Esa, Ravi justru mendekati Karla dan mengacak rambutnya.

“Aku kangen sama kamu, Kar.” Ravi tersenyum, hingga saling berpandangan dengan Karla. “Kalian wajib tau, nih. Aku habis ditipu sama Esa,” ujar Ravi kemudian duduk di teras. Seluruh pandangan pun kini terpusat padanya.

“Aku kan nggak tau bakalan gitu, Rav. Tapi yang penting kita bisa makan bakso. Iya, nggak?” Esa nyengir lebar.

“Emang si Esa ngapain?” Danika menyahut dengan posisi masih berdiri menenteng laptopnya. Sejenak Ravi terdiam seolah sedang berpikir, sampai akhirnya bercerita apa yang terjadi pada Esa.

Pertemuan mereka membawa cerita baru bagi keduanya. Secara bersama-sama, mereka berusaha menyalakan motor secara bergiliran, tetapi nihil. Alhasil, keduanya sepakat untuk mendorong motor kesayangan Esa sambil bertukar cerita satu sama lain. Tiga tahun tidak bertemu pasti menyisakan banyak cerita seru yang dilewatkan. Ravi bercerita tentang kehidupannya selama di Yogya, begitu pun dengan Esa. Sesekali mereka tertawa mendengar cerita masing-masing, apalagi cerita Esa yang lebih banyak mengundang tawa Ravi.

“Terus, kenapa motornya?” sela Karla tidak sabar.

“Motor Esa nggak mogok alias baik-baik aja. Cuma emang dia mah lupa isi bensin. Sampai kapan pun itu motor dinyalain, ya nggak akan bisa. Bener-bener emang anak Pak Idan.” Mata Ravi membidik tajam pada Esa, tetapi orang yang sedang dibicarakan itu malah cengengesan tak berdosa.

“Jadi intinya itu motor kehabisan bensin aja?” tekan Danika, memutar pandangan pada Esa sambil menahan tawa.

“Aku kan nggak tau, Ka. Nggak aku cek juga tangkinya.” Esa masih nyengir. “Ya udah, sih. Kan udah kejadian juga. Yang penting aku sama Ravi sampai ke sini dengan selamat. Yuk, kita masuk. Udah malem, nggak baik ngobrol di luar.” Langkah Esa berlalu melewati Karla yang membuang napas kasar mendengar penuturan cowok itu.

“ENGGAK! Kamu aja sana yang masuk. Biar aku kunci dari luar!” pekik Karla, kontan mengundang tawa teman-temannya yang lain.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
My Doctor My Soulmate
118      105     1     
Romance
Fazillah Humaira seorang perawat yang bekerja disalah satu rumah sakit di kawasan Jakarta Selatan. Fazillah atau akrab disapa Zilla merupakan seorang anak dari Kyai di Pondok Pesantren yang ada di Purwakarta. Zilla bertugas diruang operasi dan mengharuskan dirinya bertemu oleh salah satu dokter tampan yang ia kagumi. Sayangnya dokter tersebut sudah memiliki calon. Berhasilkan Fazillah menaklukkan...
When Magenta Write Their Destiny
6207      1689     0     
Romance
Magenta=Marina, Aini, Gabriella, Erika, dan Benita. 5 gadis cantik dengan kisah cintanya masing-masing. Mereka adalah lima sahabat yang memiliki kisah cinta tak biasa. Marina mencintai ayah angkatnya sendiri. Gabriella, anak sultan yang angkuh itu, nyatanya jatuh ke pelukan sopir bus yang juga kehilangan ketampanannya. Aini dengan sifat dingin dan tomboynya malah jatuh hati pada pria penyintas d...
KataKu Dalam Hati Season 1
5921      1568     0     
Romance
Terkadang dalam hidup memang tidak dapat di prediksi, bahkan perasaan yang begitu nyata. Bagaikan permainan yang hanya dilakukan untuk kesenangan sesaat dan berakhir dengan tidak bisa melupakan semua itu pada satu pihak. Namun entah mengapa dalam hal permainan ini aku merasa benar-benar kalah telak dengan keadaan, bahkan aku menyimpannya secara diam-diam dan berakhir dengan aku sendirian, berjuan...
Potongan kertas
935      485     3     
Fan Fiction
"Apa sih perasaan ha?!" "Banyak lah. Perasaan terhadap diri sendiri, terhadap orang tua, terhadap orang, termasuk terhadap lo Nayya." Sejak saat itu, Dhala tidak pernah dan tidak ingin membuka hati untuk siapapun. Katanya sih, susah muve on, hha, memang, gegayaan sekali dia seperti anak muda. Memang anak muda, lebih tepatnya remaja yang terus dikejar untuk dewasa, tanpa adanya perhatian or...
Let's See!!
2314      981     1     
Romance
"Kalau sepuluh tahun kedepan kita masih jomblo, kita nikah aja!" kata Oji. "Hah?" Ara menatap sahabat kentalnya itu sedikit kaget. Cowok yang baru putus cinta ini kenapa sih? "Nikah? lo sama gue?" tanya Ara kemudian. Oji mengangguk mantap. "Yap. Lo sama gue menikah."
START
315      213     2     
Romance
Meskipun ini mengambil tema jodoh-jodohan atau pernikahan (Bohong, belum tentu nikah karena masih wacana. Hahahaha) Tapi tenang saja ini bukan 18+ 😂 apalagi 21+😆 semuanya bisa baca kok...🥰 Sudah seperti agenda rutin sang Ayah setiap kali jam dinding menunjukan pukul 22.00 Wib malam. Begitupun juga Ananda yang masuk mengendap-ngendap masuk kedalam rumah. Namun kali berbeda ketika An...
Seutas Benang Merah Pada Rajut Putih
1593      796     1     
Mystery
Kakak beradik Anna dan Andi akhirnya hidup bebas setelah lepas dari harapan semu pada Ayah mereka Namun kehidupan yang damai itu tidak berlangsung lama Seseorang dari masa lalu datang menculik Anna dan berniat memisahkan mereka Siapa dalang dibalik penculikan Anna Dapatkah Anna membebaskan diri dan kembali menjalani kehidupannya yang semula dengan adiknya Dalam usahanya Anna akan menghadap...
IMAGINE
384      273     1     
Short Story
Aku benci mama. Aku benci tante nyebelin. Bawa aku bersamamu. Kamu yang terakhir kulihat sedang memelukku. Aku ingin ikut.
Love Al Nerd || hiatus
137      108     0     
Short Story
Yang aku rasakan ke kamu itu sayang + cinta
Kainga
1359      806     12     
Romance
Sama-sama menyukai anime dan berada di kelas yang sama yaitu jurusan Animasi di sekolah menengah seni rupa, membuat Ren dan enam remaja lainnya bersahabat dan saling mendukung satu sama lain. Sebelumnya mereka hanya saling berbagi kegiatan menyenangkan saja dan tidak terlalu ikut mencampuri urusan pribadi masing-masing. Semua berubah ketika akhir kelas XI mereka dipertemukan di satu tempat ma...