Sorakan empat bersahabat terdengar saat masing-masing dari mereka menerima surat kelulusan yang baru saja dikirim oleh Pak Pos. Keempatnya saling berpelukan, bahkan bersulang teh kemasan kotak yang sengaja disiapkan untuk merayakan momen kelulusan kali ini. Selepas berpelukan, salah satu di antara mereka sibuk mengeluarkan origami dari saku baju, kemudian menuliskan sesuatu pada kertas itu dan membentuknya menjadi pesawat kertas.
“Kebiasaan banget,” gumam seorang cowok sambil memperhatikan apa yang sedang dilakukan oleh sahabatnya, Danika.
Orang bersangkutan pun mengalihkan pandangan. “Apa, sih? Julid mulu kerjaanmu, Sa,” katanya, menaruh pesawat kertas origami yang baru selesai dibentuk.
“Udah, udah. Kalian berdua berantem mulu, perasaan.” Cewek berambut sebahu dengan bando merah muda berusaha melerai. “Mending kita foto barengan, yuk. Nanti bikin from this to this, kayak yang orang-orang bikin.”
“Alay banget pake from this to this. Lagian kok ngikut-ngikut yang lagi viral, sih?” Esa, orang menyebalkan di antara mereka kembali bersuara.
“Ya udah, lah. Ikutin aja apa maunya si Karla. Kamu nggak usah banyak omong, Sa. Berisik pisan.” Cowok yang satunya menyahut, melipat kembali surat kelulusan dengan perasaan berat.
Datangnya surat itu menjadi pertanda bahwa kebersamaan dengan ketiga sahabatnya akan segera berakhir. Ravi tidak tahu mengapa harus memilih keputusan segila itu dalam hidupnya, sampai-sampai dia merasa akan menjadi perusak persahabatan di antara mereka.
“Rav, kok bengong? Buruan, ambil kamera punya kamu. Kita foto barengan di sini.” Karla menyenggol sikut Ravi. “Ada masalah?”
Ravi yang mendapat pertanyaan itu gelagapan dan hanya menggeleng. Mungkin untuk sementara, Ravi tak akan memberi tahu mereka mengenai langkah hidup yang dipilihnya setelah ini. Biarlah hari ini untuk terakhir kalinya dia bisa berkumpul dan bercanda bersama mereka. Ravi juga sudah meyakinkan diri untuk melakukan sesuatu sebelum benar-benar pergi meninggalkan kota ini.
Cekrek.
Satu bidikan kamera berhasil diambil. Binar-binar kebahagiaan tampak dari wajah keempatnya, meskipun senyum yang Ravi tunjukkan tidak sesempurna biasa. Ada kegugupan yang mendadak menyerang perasaan dan pikirannya, terlebih lagi saat dia teringat bahwa ada sepenggal janji pada Karla yang harus segera dituntaskan.
“Ka, kamu mau nerbangin pesawat origami?” Karla menatap Danika, penasaran jawaban antik apa lagi yang akan didengar dari sahabatnya itu.
“Iya, lah. Ini bukan sembarangan origami, tau!” Danika tampak serius mengatakan hal ini.
“Jangan lupa nanti di-‘hah’ dulu biar pesawatnya terbang. Mulut kamu nggak bau jigong kan, Ka?” sela Esa, cengengesan memperhatikan wajah Danika yang langsung berubah setelah mendengar pertanyaannya.
“Emang rese ya, anak Pak Idan ini. Semoga Yang Maha Kuasa nggak ngasih pendamping hidup kayak kamu!” cetus Danika, beranjak dari karpet menuju halaman rumah milik keluarga Karla yang sekarang sudah menjadi basecamp mereka.
Rumah itu memang tidak terlalu besar, tetapi cukup menjadi tempat istirahat bagi mereka setiap kali pulang sekolah. Mengerjakan tugas, main kartu, makan camilan, dan banyak hal yang sudah mereka lakukan di sana.
“Hati-hati, Ka. Biasanya doa begitu suka jadi bumerang buat diri sendiri.” Esa berteriak hingga Ravi menendang pantatnya karena terlalu berisik. Sementara itu, Danika tidak memedulikan apa yang Esa katakan dan tetap teguh pada niatnya untuk menerbangkan pesawat origami.
Tuhan, semoga kebersamaan kami tidak terputus oleh waktu ataupun jarak. Begitulah yang Danika tulis pada pesawat kertas miliknya.
***
Setumpuk novel terlihat menggoda di dekat lemari baju. Earphone putih menjuntai di telinga cewek berambut sebahu yang tampak begitu lincah ke sana kemari. Dia sibuk merapikan kamar yang sebentar lagi akan dicat ulang. Mulai dari merapikan koleksi novelnya hingga menjemur kasur busuk di halaman indekos.
Lagu “Hati-Hati di Jalan” milik Tulus itu berkumandang menendang-nendang telinga. Dari kursi ruang tengah, seseorang memperhatikan diiringi decakan dan gelengan tak henti. Rasanya baru kali ini dia melihat seorang cewek begitu di luar batas normal. Sekalipun dipandang demikian, yang bersangkutan malah tidak peduli dan ber-statement kalau hidup normal hanya milik seseorang yang tidak mempunyai mimpi.
“Danika!” Karla sudah berkacak pinggang di ambang pintu, memperhatikan tingkah Danika seperti kuda lumping kesurupan. Danika tetap tidak peduli dengan pekikan Karla. Maklum saja, telinganya tersumbat oleh earphone bervolume sangat keras. Kedua tangannya malah semakin lincah melipat beberapa baju yang masih tergantung.
“Danika!” teriak Karla, mencabut salah satu earphone dari terlinga Danika.
“Kebiasaan, deh. Ngapain, sih? Ganggu orang aja, tau!” protes Danika.
“Bisa nggak, beberesnya biasa aja? Nggak usah gedebag-gedebug!” Tatapan Karla kesal.
“Ya ampun, gitu aja ribet. Ini bisa jadi alternatif buat olahraga pagi, Karla Sayang.” Danika kembali meraih earphone dan menyumbat telinganya. Jika tidak ingat hubungan persahabatan, mungkin Karla sudah mencekik Danika jauh-jauh hari, kemudian membuang jasadnya ke Citarum.
“Kamu itu–” Belum selesai menumpahkan omelan, tiba-tiba handphone Karla berdering. Dengan segera cewek itu melengos meninggalkan Danika yang masih termangu seorang diri. Ekspresi Karla juga terlihat sangat bahagia ketika menerima telepon secara mendadak itu.
Ah, Danika sudah mengira siapa yang menghubungi Karla pagi-pagi begini. Ya, pasti itu sang pacar tersayang. Dalam diam, Danika memperhatikan tingkah Karla yang sesekali tergelak sambil menempelkan handphone di telinganya. Dia tak habis pikir mengapa setiap pagi dua sejoli itu selalu mengulang aktivitas yang sama; menelepon satu sama lain sampai satu jam lamanya. Apa enggak bosen?
“Karla! Kamu pacaran mulu kerjaannya. Bantuin aku geser lemari!” Teriakan Danika mengejutkan seisi indekos. Tubuh mungil ternyata tidak berpengaruh pada kekuatan seseorang saat berteriak.
Tak ada sahutan apa-apa dari Karla. Sahabatnya itu masih sibuk menelepon. Danika yang merasa tidak diacuhkan pun jengkel dan sebisa mungkin menggeser lemari baju tua peninggalan mendiang ibu Karla. Lima senti, sepuluh senti, sampai nyaris satu meter Danika menggeser benda cokelat yang terbuat dari kayu jati asli.
Bum!
Tiba-tiba saja lemari yang digeser ambruk. Danika melongo melihat salah satu aset keramat di rumah itu ambruk dalam sekejap. Ingatan Danika seolah tertarik mundur pada saat Karla mewanti-wanti agar lemari itu dijaga dengan sangat baik. Danika menggeleng beberapa kali sebelum akhirnya Karla datang dan berteriak histeris, meskipun telepon dengan pacarnya masih tersambung. Lemari baju peninggalan ibunya ambruk di depan mata.
“Bukan salah aku. Itu lemari emang udah tua.” Cepat-cepat Danika melakukan pembelaan, agaknya dia benar-benar akan dicekik oleh Karla pagi ini.
“Serius, aku nggak ngapa-ngapain tuh lemari. Tadi cuma geser, biar bisa diganti posisinya ke sini,” imbuh Danika menunjuk posisi yang dimaksudnya. Giginya terlihat berderet rapi di hadapan Karla, tetapi atmosfer kemurkaan tercetak jelas di sudut-sudut wajah Karla detik ini.
“Danikaaa!”