“Jadi, berapa banyak total responden yang didapat?”
Kak Fayra menatap Kak Fayruz, lalu beralih pada layar laptopnya, memperhatikan deretan angka yang ada di sana. Setelah seminggu berkutat dengan pertanyaan dan menyebarkan tautan ke teman-teman sekolah, grup nofap, dan media sosial, kami sudah mendapatkan beberapa jawaban.
“Hampir lima ribu. Menurutku ini sudah cukup banyak, apalagi ada berapa pertanyaan kita yang berupa jawaban panjang. Siapa yang mau membaca sebanyak ini? Kalau jawaban berupa pilihan ganda kita masih bisa melihat berapa persentasenya.” komentar Kak Fayra.
“Iya juga, ya. Apa kita tutup saja kuesionernya?” usul Kak Fayruz sembari meregangkan tulangnya di atas karpet rumahku. Ia merebahkan badannya dan terlihat bermalas-malasan setelah menghabiskan sepiring cenil berwarna-warni dengan lumuran cairan gula merah yang manis dan parutan kelapa yang gurih, tentu saja Bu Imas yang membuatkannya.
“Oke, sudah kututup. Kalian bisa mengecek jawabannya di link yang kubagikan di grup,” ujar Kak Fayra tanpa melepaskan pandangannya dari layar laptop. “Tak kusangka jawabannya akan sebanyak ini.”
Aku menyalakan ponsel saat mendengar notifikasi masuk dari Kak Fayra dan menekan tautan yang baru saja muncul. Kuesioner yang kami bagikan tidak meminta identitas mereka demi kenyamanan, lagipula kami juga tidak terlalu membutuhkannya.
Pertanyaan pertama yang muncul adalah tentang umur mereka. 50% dari orang yang mengisi kuesioner berumur antara 16-19 tahun, 17% dari mereka berumur kisaran 13-15 tahun, 26% berumur 20-25 tahun, dan sisanya di atas umur 25 tahun. Tentu saja rata-rata dari mereka adalah anak SMA dan SMP.
"Wow, hampir 60% dari mereka menjawab melihat pornografi dengan sengaja," komentar Kak Fayruz.
Aku juga terkejut saat melihatnya. Namun, yang lebih mengejutkan adalah jawaban mengenai di umur berapa mereka pertama kali melihat pornografi. Jawaban terbanyak adalah sekitar umur 7-12 tahun, atau usia sekitar anak SD, lalu disusul usia 13-16 tahun atau setara dengan anak SMP. Ternyata memang banyak anak yang melihat di usia dini seperti itu. Bahkan ada yang menjawab saat mereka di bawah umur 7 tahun sudah melihat pornografi.
"Rata-rata mereka menjadi pecandu sejak SMP, meski ada juga yang mulai candu sejak SD, sih. Yah, aku candu mulai SD juga, sih. Apalagi setelah ayah dan ibuku membelikan ponsel. Ditambah, teman-teman sering membagikan video seperti itu diam-diam," ceritaku.
Kak Fayruz mengangguk mantap. "Iya, awalnya mungkin aneh, tapi lama-lama karena ingin tahu jadi terus melihat, lalu berubah candu, dan menonton diam-diam, hingga berani melakukan onani, ya kan?"
Aku dan Kak Afkar mengangguk setuju. Kak Afkar mengangkat bicara, "Ada juga cerita tentang anak yang dipaksa menonton oleh paman atau teman ayahnya. Bisa-bisanya orang dewasa melakukan hal itu pada anak di bawah umur. Ada juga berita tentang sepasang suami istri yang menjual tiket pertunjukan hubungan badan mereka pada anak-anak. Kalian tahu berapa harga tiketnya?"
“Em, 50.000?” jawabku asal.
“Mana ada anak kecil yang punya uang segitu!” sanggah Kak Fayruz.
“Bisa saja mereka mengambil uang orang tua mereka.” Aku senang mendengar belaan Kak Fayra. “Tapi sepertinya memang terlalu banyak. Mungkin harganya sekitar 10.000 ke atas.”
Kak Afkar mengangguk. “Hampir tepat. Sebenarnya sekitar 5.000-10.000.”
Ketiga orang yang mendengar hal itu bergidik. Ada saja cerita aneh yang mereka dengar, meski mereka juga tahu jika cerita semacam itu bukannya tidak mungkin terjadi di dunia nyata. Sama seperti yang pernah Kak Afkar katakan sebelumnya, dunia luar itu kejam.
Aku menggulirkan layar ponselnya, mencari jawaban untuk pertanyaan lain. Ini adalah pertanyaan yang dibuat oleh Kak Afkar. Pertanyaan itu adalah:
'Jika kamu seorang pecandu, apa yang ingin kamu katakan pada dirimu sendiri?'
Saat membaca pertanyaan itu pun, Aku tidak bisa berkata apa-apa, yang kulakukan saat ikut menjawab pertanyaan itu adalah terdiam, menatap pantulan wajah dalam cermin dan memutar balik masa lalu. Semua kegiatan yang berhubungan dengan PMO berputar, rasa menyesal, putus asa, ingin berhenti tetapi tidak bisa, dan perasaan negatif lain menyelimuti diriku. Dan kali ini, aku punya kesempatan untuk melihat jawaban itu dari orang lain.
AKU MENYESAL.. SANGAT MENYESAL!!!!!
••
Kurang-kurangin, duit mu di luar sana sudah cukup untuk perluas usaha dari hobi yang positif menjadi lebih besar dan sangat bisa memberikan dampak besar untuk membantu orang lain untuk ikut usaha juga, coba inget keinginanmu delapan tahun yang lalu, itu sudah ada didepan mata, coba lebih giat lagi, lawan traumanya
••
Tolonglah berhenti nambah dosamu dan nambah dosa pembaca tulisanmu, tapi masalahnya saya susah lepas. Saya masih suka nonton series thailand dan film-film barat, rasanya terus aja pingin nonton lagi.
••
Untuk diriku sendiri jangan pernah menyerah kalau udah ada keinginan buat sembuh pasti ada jalannya. Keep strong
••
Cintai diri sendiri … hawa nafsu ntar bareng suami
••
Wahai aku, bisakah berhenti selamanya? Candumu bila tak kau kuasai akan semakin tak bisa dihentikan. Yuk pelan pelan yuk :")
••
Yok jangan baca yang aneh-aneh yukkk nohhh tugas lo numpuk.
••
Inget bro, neraka itu menyakitkan.
••
Aku bisa aku yakin aku akan menang. Aku yakin aku bisa.
••
Mau sampai kapan seperti ini? Ini semua merugikan saya. Apa yang saya dapat dari masturbasi? Hanya kenikmatan sesaat yang tidak sampai semenit ketika orgasme sisanya penyesalan, aku jadi pribadi yg buruk, anxiety, mental lemah dan banyak dampak buruk lainnya. Tahanlah nafsumu, nanti ada saatnya aku menikah dan merasakan kenikmatan sesungguhnya tanpa ada rasa bersalah dan tentunya halal. Ini memang berat, kita hidup di zaman teknologi yang memudahkan kita melihat gambar atau video yg bersifat vulgar. Tapi kita punya Tuhan mohonlah kepadanya agar diberi kekuatan melewati zaman yg penuh dosa ini.
••
AKU ADALAH PEREMPUAN BODOH!
••
Sampai kapan gue seperti ini terus?
••
Aku sangat bodoh jika aku terus melakukan hal yang bodoh ini, aku ingin lepas dari dari PMO ini walaupun sulit
••
"... zar! …. zar! … Elzar!"
Aku mengerjakan mata saat mendengar namaku disebutkan. Saat aku mengangkat wajah, tiga pasang mata tertuju padaku, menatap dengan alis yang saling bertautan, dan wajah penuh kekhawatiran.
"Kenapa kamu menangis?" tanya Kak Fayra yang menyodorkan sekotak tisu padaku.
Aku yang masih belum sadar sepenuhnya itu mengusap pipiku yang terasa basah. Aku baru menyadari jika air mata turun tanpa aba-aba. Bahkan setelah aku mengetahuinya, air mata itu tetap terus turun dan bertambah deras.
"Maaf, maafkan aku," lirihku sembari menutup wajah dengan satu tangan. Aku meraih tisu yang ditawarkan Kak Fayra dan membersihkan cairan yang keluar dari hidung. Ini menjijikan sekaligus memalukan di saat yang sama.
"Kenapa sampai menangis?" Kini Kak Fayruz yang memberikanku pertanyaan.
Sembari menghapus air mata, aku menjawab, "Tidak, aku hanya sadar jika sebenarnya di luar sana banyak orang yang juga ingin sembuh. Mereka menyesal dan ingin sekali untuk lepas dari candu. Setelah membaca ini, aku jadi merasa tersentuh dan sadar jika aku tidak sendirian."
"Pertanyaan yang mana?" Kak Fayruz kembali bertanya.
"Pertanyaan yang dibuat oleh Kak Afkar, tentang 'apa yang ingin kamu katakan pada dirimu sendiri jika kamu seorang pecandu'. Meski ada kata 'jika' di sana, tetapi mereka yang menulis jawaban itu seakan benar-benar ingin mengatakan apa yang mereka tuliskan pada diri sendiri," jawabku. Tangisku sudah sepenuhnya menghilang, menyisakan hidung yang merah dan mata yang masih berkaca-kaca.
Aku sibuk dengan tisu, melipatnya menjadi beberapa bagian saat ketiga temanku sibuk membaca apa yang kutunjukkan tadi. Aku sendiri juga masih belum membaca semuanya, tetapi air mata tiba-tiba saja turun dan membuyarkan segalanya.
Kak Afkar tersenyum hangat. "Iya, benar. Kita tidak sendiri. Di luar sana, orang-orang yang tidak kita ketahui juga sedang memperjuangkan hal yang sama. Yang terpenting, kita tidak boleh menyerah dan saling memberi dukungan saja." Mahasiswa itu bangkit dari duduknya, berpindah ke sisiku dan menepuk pelan pundakku.
"Iya, pokoknya kalau lagi ingin relapse langsung ingat orang-orang yang juga ingin berhenti, sama dengan kita. Mungkin aku bakal pilih curhatan mereka, mencetaknya, lalu menempel di dinding kamar."
Kak Fayruz sibuk membayangkan kamarnya yang penuh dengan tempelan kertas. Sebenarnya saat ini pun, kamarnya juga penuh dengan artikel berita mengenai kasus-kasus pemerkosaan yang ditempelkan oleh Kak Fayra—dengan maksud menyindir agar mencegah diri Kak Fayruz untuk relapse dan merasa menyesal setelahnya. Aku tahu ini setelah mampir ke rumahnya beberapa saat yang lalu.
Aku mengulas senyum. Mendengar teman-teman bercerita saling mendukung membuatku merasa senang. Aku tidak pernah menyesal dan bersyukur telah bertemu dengan orang-orang yang mau mendukungku seperti ini. Dan seperti yang aku pikirkan sebelumnya, aku tidak benar-benar sendiri.
.
Bersambung