Aiza berjalan santai memasuki gerbang sekolahnya. Tas biru berisi peralatan sekolah ia tenteng dengan apik di punggungnya. Senyum simpul terpampang apik di wajahnya yang terbalut jilbab berwarna putih.
Beberapa kali ia menyapa guru ataupun siswa siswi yang dikenalnya. Tak jatang pula mereka yang terlebih dahulu menyapa. Sungguh pagi yang menyenangkan. Nyaris sempurna jika saja tidak ada orang yang tiba-tiba menyenggolnya dari belakang. Membuat Aiza yang berdiri di anak tangga atas terjatuh. Beruntung tangga itu rendah, dan hanya terdiri dari tiga anak tangga. Meskipun tetap saja rasanya sakit.
Aiza mengaduh kesakitan. Di sekitarnya sangat sepi. Tak ada guru maupun siswa yang lewat. Mengingat bahwa tangga yang dilewatinya terletak di dekat gudang yang katanya angker. Jadi, biasanya memang jarang dilewati oleh siswa ataupun guru. Padahal rute itu merupakan rute tercepat menuju kelas XII IPA-2, kelas Aiza.
"Ngapain lo duduk di lantai?"
Sebuah suara menginterupsi acara kesakitan Aiza. Gadis itu mengangkat kepalanya. Menatap sosok yang tadi menyenggolnya.
Vero berdiri menjulang di anak tangga paling atas. Menatap Aiza dengan satu alis terangkat.
"Lo sengaja ya? Mau nyelakain gue lo?" gerutu Aiza sambil menahan sakit di bagian kaki kanannya.
"Sorry, nggak sengaja," ujar Vero santai.
"Gila," gumam Aiza. "Sakit banget!"
"Lebay," cibir Vero. "Buruan berdiri! Udah mau mulai kelasnya."
Aiza mendengus. Ia mencoba untuk berdiri dengan berpegang pada tembok di sampingnya. Ia meringis kesakitan sambil menggerutu pelan. Sementara Vero mengamati gerak-gerik temannya itu.
"Ck, lama. Siniin tasnya!" titah Vero.
"Nggak! Mau ngapain? Ngrampok ya lo?" tanya Aiza.
"Sorry ya. Duit gue udah banyak," dengus Vero. "Buruan! Keburu telat!"
Dengan setengah hati, Aiza menyerahkan tasnya pada Vero. Dan Vero langsung saja membawanya dengan tangan kanannya. Kemudian tangan kirinya hendak membantu memapah Aiza. Akan tetapi gadis itu langsung menepis tangan besar Vero. Membuatnya mengernyit bingung.
"Bukan muhrim," ucapnya.
"Ck, buruan jalan dulu. Gue di belakang. Biar lo nggak jatuh lagi," titah Vero.
Tak ingin memperpanjang perdebatan, Aiza lebih memilih untuk menurut. Dengan langkah pincang, ia berjalan menuju kelas. Dan Vero dengan sabar mengikuti dari belakang.
"Oh, gitu toh. Gue kira ada apa-apa," gumam Rani sambil mengoles salep pada lebam di kaki Aiza. Si ketua PMR yang juga menjabat sebagai sie kesehatan OSIS itu dengan telaten mengobati kaki si ketua OSIS sambil mendengarkan ceritanya. Sedangkan Cynthia sejak tadi asyik menyimak cerita Aiza.
"Nggak usah mikir yang aneh-aneh! Nggak ada apa-apa," ujar Aiza.
"Alhamdulillah ya Za. Gue khawatir banget tadi," desah Cynthia.
"Santai aja Cyn. Aman kok," balas Aiza sambil terkekeh.
Cynthia mengangguk. Kemudian menoleh pada Rani. "Lukanya parah banget ya Ran?" tanyanya.
"Nggak kok. Cuma lebam. Bentar lagi juga sembuh. Paling bekasnya yang agak lama hilangnya," jawab Rani.
"Alhamdulillah deh. Tapi habis ini kita ada jam olahraga. Berarti lo nggak ikut ya?" tanya Cynthia.
"Enggak ah. Hehe. Mau tidur aja di sini," kekeh Aiza.
"Ck, seneng banget lo," cibir Rani.
"Harus dong,"
"Yaudah, kalo gitu, gue duluan ya! Mau ganti seragam," pamit Cynthia.
"Hati-hati Cyn," ujar Aiza sementara Cynthia meninggalkan UKS.
"Gue tinggal ya! Abis ini pelajarannya Pak Bobi," pamit Rani.
"Siap. Makasih banyak ya Ran! Lop yu," balas Aiza.
Rani hanya menggelengkan kepalanya. Kemudian segera meninggalkan UKS. Sementara Aiza segera membaringkan dirinya di atas ranjang. Mendesah lelah, sebelum kemudian memejamkan kedua matanya. Mengistirahatkan diri.
Rasanya baru beberapa detik yang lalu dirinya terlelap. Namun ia harus terbangun karena suara keras yang berasal dari bilik sebelah. Aiza yang penasaran segera bangkit, dan menyibak tirai putih pemisah antar bilik. Ia mendapati sosok Nathan yang sedang duduk di tepi ranjang dengan jidat lecet dan wajah lebam. Sebuah kotak obat tergeletak di bawah kakinya. Di sampingnya, Vero duduk dengan wajah lebam juga.
"Pft, abis sujud di aspal lo?" ejek Aiza sambil menatap luka di jidat Nathan.
"Sialan lo," umpat pemuda rupawan itu. Ia mengambil kotak obat yang sempat terjatuh, dan meletakkannya ke nakas di samping ranjangnya.
"Mereka abis debus di lapangan," jawab Rani yang muncul dari luar bilik sambil membawa dua bungkus es batu. "Ngrepotin aja."
"Aduh! Sakit!" pekik Vero ketika Rani menekankan es batu ke lebam di pipinya dengan keras.
"Oh, gelut? Wah, sayang banget gue nggak liat," kekeh Aiza. "Pasti abis ini kalian kena skors. Em, asyiknya."
Nathan menatap Aiza tajam. Dendamnya meluap-luap. Kalau tak ingat konskuensinya, pasti sudah sejak dulu ia hajar cewek berwajah menyebalkan itu.
"Kata Dea sih rebutan Cynthia," jawab Rani sambil membersihkan luka di jidat Nathan.
"Rebutan apaan njir? Dia duluan yang ngelempar gue pake sepatu!" seru Vero tak terima.
"Lo duluan yang nglempar gue pake bola!" seru Nathan.
"Gila nih orang! Jelas-jelas gue nggak sengaja. Siapa suruh berdiri di bawah ring?" dengus Vero tak terima.
"Alah! Lo nggak terima karena tim gue hampir menang kan?" sinis Nathan.
Aiza mengernyitkan dahi sambil mencolek bahu Rani. "Yakin mereka rebutan Cynthia?" bisiknya.
Rani mengedikkan bahunya. "Gatau. Kan katanya Dea. Tapi tadi sempet ada adegan tarik-tarikan Cynthia sih."
"Parah, drama banget," gumam Aiza tak habis pikir.
"Tarik-tarikan apaan?" gerutu Nathan tak terima. "Sorry ya. Walaupun gue diputusin secara sepihak, kalo disuruh narik-narik itu cewek tetep ogah."
"Cie, yang ngaku kalo diputusin sepihak," goda Aiza.
"Gue juga ogah kali. Orang si Cynthia tiba-tiba aja lewat deket ini bocah, terus didorong sama dia. Dan kalian tahu? Ngedorongnya ke arah gue! Ya gue yang ketiban dong," terang Vero kesal.
"Dan abis itu mereka makin parah tonjok-tonjokkannya," imbuh Rani.
Aiza mengangguk paham sambil memasang wajah julid. "Kasian Cynthia. Terus dimana sekarang Cynthia?"
"Tuh, yang daritadi berdiri di sebelah lo siapa? Setan?" tanya Nathan balik.
Aiza menoleh. Terkejut ketika menyadari bahwa Cynthia kini berdiri di dekatnya. Senyumnya terkembang, namun tatapannya memancarkan luka.
"Cyn,"
"Kamu udah baikan? Ini aku bawain makan siang,"