“Apa ini?”
Mata lelaki di hadapanmu mengerjap, mungkin sedang berpikir bagaimana ia harus menjawabnya. Seulas senyum samar tersungging di bibirnya ketika ia berujar, “Entahlah. Semacam surat cinta, mungkin?”
Kau menatap amplop yang berwarna sama dengan warna kesukaanmu dengan dahi berkerut, kemudian mengalihkan tatapanmu kepada laki-laki yang masih duduk dengan tenang di depanmu, menatapmu tanpa berkedip.
Terakhir kali kau melihatnya enam tahun lalu, dan sejak saat itu ia menghilang. Tidak ada secuil pun kabar darinya, ataupun tentangnya dari orang lain. Tidak ada kabar apa pun di sosial media. Seolah-olah ia telah ditelan bumi dan tidak akan pernah bisa ditemui lagi.
Kau pun sepertinya juga tidak berharap bisa bertemu dengannya lagi.
Jadi, ketika kau datang ke kedai kopi yang biasa kaudatangi saat hampir tengah malam, kau hanya datang demi menguraikan pikiranmu yang kusut karena kode programmu yang tak kunjung bekerja. Kau hanya ingin datang untuk menghirup udara segar sejenak, kemudian pulang. Semuanya sama seperti yang biasa kaulakukan, sampai kau bertemu dengan laki-laki ini.
Kau menyesap cokelat panasmu perlahan. Dari ekor mata, kau melihat lelaki itu masih sama seperti ketika terakhir kali kau melihatnya. Tubuhnya yang tinggi besar masih sama. Kulit putih bersihnya masih sama. Rambutnya yang tertata rapi masih sama. Lesung pipi yang muncul dan pipinya yang sedikit mengembang saat tersenyum pun masih sama. Caranya menatapmu masih sama—tanpa berkedip dengan sorot matanya yang tajam, seakan-akan sedang mengawasimu. Sorot mata yang, entah mengapa dan bagaimana, dulu mungkin membuatmu merasa aman dan nyaman. Lelaki ini sama sekali tidak berubah.
Sebut saja ia Mr. X.
Apakah ia cinta pertamamu?
Entahlah. Mungkin benar. Atau mungkin tidak. Entahlah.
Mungkin, bagimu ia hanya cinta yang seharusnya tetap ada di masa lalu.
Lelaki itu menyesap minumannya. Roda pikiranmu yang berputar cepat terhenti secara paksa ketika lelaki itu berkata, “Kau tampak baik-baik saja.”
“Apa aku seharusnya tidak terlihat baik-baik saja?”
Ia tertawa pelan. “Kau masih sama saja.”
Kau menatapnya tepat di mata. “Sebenarnya mengapa tiba-tiba kau mengajakku mengobrol?”
“Aku tidak berniat menemuimu, setidaknya tidak sekarang. Aku tidak sengaja bertemu denganmu di sini,” sahutnya ringan, seakan-akan itu bukanlah pertanyaan yang sulit dijawab. “Lagi pula, ada yang ingin kusampaikan padamu,” katanya lagi seraya melirik sepucuk surat yang masih tak kausentuh sejak tadi.
“Katakan saja langsung di sini.”
“Terlalu banyak yang ingin kusampaikan. Terlalu banyak, bisa-bisa sampai semalaman.” Samar-samar kau mendengar tawa kecil dalam suaranya.
Kau kembali menyesap cokelat panasmu, sementara keheningan yang sepertinya terasa canggung mulai menyelinap di antara kalian selama dua menit. Hanya ada suara grinder yang sejak tadi terus-menerus bernyanyi melayani pelanggan yang tersisa.
Kau baru saja akan menyesap cokelatmu lagi ketika tiba-tiba ia buka suara, memecah gelembung keheningan yang sepertinya terasa sangat lama dan menyesakkan. “Aku lega kau baik-baik saja. Aku merindukanmu—sungguh merindukanmu.”
Kau menatapnya lurus-lurus. Sepertinya kau ingin mengatakan sesuatu, tetapi kau terdiam sejenak, lalu hanya berujar, “Terima kasih sudah menemuiku.”
*
Kau duduk di depan meja kerjamu, kembali berhadapan dengan layar laptop yang menampilkan deretan kode pemrograman yang rumit.
Kau menatap sepucuk surat yang sejak tadi menunggu untuk dibuka. Kau terdiam cukup lama, tampaknya sedang menimbang-nimbang apakah kau ingin membuka amplopnya, atau membuangnya ke tempat sampah.
Kau membuka amplop itu.
Kau membukanya dengan hati-hati, kemudian segera meraih selembar kertas yang juga sewarna dengan amplopnya. Dahimu berkerut samar ketika melihat tulisan tangan yang sudah lama tak kaulihat.
Hei, bagaimana kabarmu?
Apa kau baik-baik saja?
Apa kau masih memikirkanku?
Atau kau sudah melupakanku?
Aku sangat merindukanmu. Aku bukan orang yang pintar merangkai kata, tetapi aku hanya ingin mengatakan bahwa kini aku mencintaimu. Aku tahu, aku terlambat. Dulu, kau mencintaiku. Dulu, kau menungguku mencintaimu. Dan kini aku mencintaimu ketika kau sudah melupakanku.
Maafkan aku, ini semua salahku.
Namun, aku tetap ingin mencintaimu.
Bolehkah aku tetap menunggumu—dan mencintaimu?