Loading...
Logo TinLit
Read Story - Your Moments
MENU
About Us  

Hei, bagaimana kabarmu?

Kau menoleh dari layar laptopmu dengan dahi berkerut ketika mendengar suara notifikasi posnselmu. Siapa yang menghubungimu soal pekerjaan malam-malam begini?

Kau meraih ponselmu dengan malas, sepertinya berharap itu bukan pekerjaan yang harus menguras pikiranmu di tengah malam seperti ini. Kerutan di dahimu semakin dalam ketika mengetahui bahwa itu bukan notifikasi tentang pekerjaan, tetapi notifikasi pesan instan dari akun sosial mediamu. Mungkin tidak biasanya kau mendapatkan pesan instan.

Kau membuka pesan itu, tetapi dahimu tidak berhenti berkerut selama membacanya.

“Hei, bagaimana kabarmu?

Sudah lama aku tidak bertemu denganmu.

Aku ingin melihatmu.

Aku sangat merindukanmu.”

 

*

Kau menghentikan langkah kakimu di depan sebuah bangunan abu-abu dengan pintu dan jendela kaca bertuliskan Echo Coffee selama beberapa detik sebelum akhirnya benar-benar melangkah masuk ke dalam. Aroma kopi yang hangat segera menyambut indra penciumanmu begitu kau membuka pintu, membuat salah satu sudut bibirmu terangkat sedikit.

“Selamat datang di kedai kopi kami.”

Kau mengangguk seraya tersenyum tipis, kemudian mengedarkan pandanganmu ke sekeliling. Kedai kopi mungil ini masih tetap bergaya minimalis tanpa banyak aksen, dengan sentuhan kayu dan warna putih di mana-mana. Satu-satunya perbedaan yang sepertinya berhasil menarik perhatianmu hanyalah koleksi buku yang semakin beragam di rak buku di sudut kedai. Ah, sepertinya kedai kopi ini tidak banyak berubah sejak terakhir kali kau datang—bersama laki-laki itu.

“Anda ingin pesan apa?” sapa pelayan ramah seraya menyodorkan buku menu begitu kau duduk di kursi. Setelah menyebutkan kopi pesananmu, kau melirik jam tangan yang melilit pergelangan tanganmu.

Sebentar lagi.

Kau mengerjapkan matamu beberapa kali. Entah apa yang kaupikirkan. Apakah mungkin kau tidak sabar? Atau mungkin kau mulai merasa ragu dengan keputusanmu untuk datang ke sini? Entahlah.

Pesananmu datang lima belas menit kemudian, menghentikan laju roda pikiranmu secara paksa. Kau menatap cangkir kopi yang masih mengepulkan uap panas itu lekat-lekat, menggenggam cangkirnya dan membiarkan kehangatannya menjalar ke seluruh tubuhmu, kemudian menyesapnya perlahan. Ah, rasa kopinya pun bahkan masih sama.

“Hei, kopi bisa merusak lidahmu.”

Kau menoleh dari cangkirmu, menatap laki-laki bertubuh tinggi besar yang berdiri dan tersenyum di hadapanmu entah sejak kapan. Tanpa banyak bicara, laki-laki itu segera menggeser kursi yang ada di depanmu dan duduk di sana, kemudian mulai memesan minuman.

Kau menatapnya tanpa berkedip. Ah, ia masih sama saja.

Sebut saja namanya Brian.

Ia cinta pertamamu yang tidak terbalas.

Kau meletakkan cangkirmu di meja, masih sambil menatapnya tanpa berkedip. Ah, ia masih sama saja. Kulit putih bersihnya masih sama. Rambutnya yang tertata rapi masih sama. Lesung pipi yang muncul dan pipinya yang sedikit mengembang saat tersenyum pun masih sama. Caranya menatapmu masih sama—sorot matanya bersinar-sinar hangat dan begitu polos, persis seperti anak kecil.

Sepertinya ia makan dengan baik.

“Bagaimana kabarmu?” tanyanya.

Kau mengangkat bahu acuh tak acuh. “Seperti yang terlihat.”

Ia menatap cangkir kopimu, kemudian berujar, “Kau masih sama saja.”

“Ada apa tiba-tiba ingin menemuiku?”  Kau menatapnya lurus-lurus. “Apa aku muncul di mimpimu semalam?”

Mendengar itu, Brian menatapmu dengan mata melebar. “Mungkin?” ujarnya sambil tertawa kecil.

Kau kembali menyesap kopimu, sementara keheningan yang sepertinya terasa canggung mulai menyelinap di antara kalian selama dua menit. Hanya ada suara grinder yang sejak tadi terus-menerus bernyanyi melayani pelanggan yang datang dan pergi.

Kau baru saja akan menyesap kopimu lagi ketika tiba-tiba ia buka suara, memecah gelembung keheningan yang sepertinya terasa sangat lama dan menyesakkan. “Aku merindukanmu.”

Kau mengerjapkan mata beberapa kali. Sepertinya kau ingin mengatakan sesuatu, tetapi, entah mengapa, pada akhirnya kau tidak mengatakan apa pun.

“Aku sangat merindukanmu,” ulang lelaki itu lagi, kali ini dengan sedikit penekanan dalam suaranya. “Aku sangat merindukanmu.”

“Ah,” gumammu. “Kau bertemu denganku untuk mengatakan ini?”

Brian mengangguk.

“Kau sudah mengatakannya di pesan instan.”

Pembicaraan kalian terhenti sejenak karena minuman yang dipesan Brian sudah datang. Lelaki itu tidak segera meminumnya. Brian hanya mengangguk lagi. “Aku tahu. Namun, aku hanya ingin mengatakannya sekali lagi—langsung padamu.”

Melihatmu yang hanya diam, Brian pun melanjutkan, “Aku tahu, mungkin kau merasa tidak nyaman. Namun, aku ingin mengatakannya langsung. Aku harap, dengan begitu perasaanku untukmu bisa tersampaikan dengan lebih baik.”

“Terima kasih sudah merindukanku, tetapi kurasa kau tidak mengenalku dengan cukup baik,” sahutmu setelah berhasil menemukan suaramu kembali dengan susah payah.

Brian mengangguk lagi, tampaknya setuju dengan perkataanmu barusan. “Kau benar, aku tidak mengenalmu sebaik yang kukira.” Ia terdiam sejenak, lalu tertawa pelan, seolah sedang menertawakan dirinya sendiri. “Aku hanya mengenal sosokmu yang ada di sosial media. Aku tidak pernah, tidak ingin, tahu apa yang kausukai, apa yang tidak kausukai, bagaimana perasaanmu, apa mimpi dan harapanmu. Aku hanya mengenal dirimu yang ingin kulihat, bukan dirimu yang sebenarnya.”

“Kau juga mengabaikanku,” tukasmu seraya menyesap kopimu yang kini tinggal seperempat penuh.

Brian kembali mengangguk dan tertawa pelan, seakan baru saja menyadari sesuatu yang penting tetapi terlupakan. Ah, bahkan matanya yang tinggal segaris ketika tertawa itu pun masih sama. “Ah, ya, kau benar. Dan aku menyesal.”

Kau menatap laki-laki itu tepat di mata. Laki-laki yang sudah tak kautemui selama sepuluh tahun. Laki-laki yang diam-diam kausukai selama sepuluh tahun. Sepertinya ada banyak hal yang ingin kaukatakan padanya, tetapi kau hanya berucap pelan, “Kau tidak melakukan kesalahan apa pun.”

Brian hanya tersenyum kecil sebagai jawaban, meskipun sepertinya kau tidak terlalu yakin apakah ia benar-benar mendengar apa yang kaukatakan atau tidak. “Katanya, teknologi membuat orang yang jauh menjadi dekat, dan orang yang dekat menjadi jauh. Kurasa itu ada benarnya.”

Ia terdiam sejenak, tampak berpikir-pikir, kemudian melanjutkan, “Akhir-akhir ini aku banyak berpikir, pekerjaanku yang banyak melibatkan teknologi mungkin memang bisa membuatku terhubung dengan banyak orang, bahkan orang dari jauh. Namun, semakin lama aku melakukannya, aku merasa lelah. Aku pikir aku sudah mengenal semua orang dengan baik, tetapi ternyata tidak. Jauh di dalam hatiku, rupanya aku tetap lebih menyukai interaksi langsung—ketika aku bisa menatap matamu, mendengar suaramu, mengamati ekspresi dan reaksimu akan sesuatu, misalnya.” Brian mulai meneguk minumannya yang tak tersentuh sejak tadi, kemudian menatapmu tepat di mata tanpa berkedip.

Kau kembali terdiam, dahimu mulai berkerut, mungkin sedang berusaha mencerna apa saja yang baru saja ia katakan. Melihat itu, Brian tersenyum lagi, lalu berujar, “Aku ingin mengenalmu lebih dalam dengan benar.”

Kau menghela napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. Kau baru saja akan mengatakan sesuatu ketika Brian bicara lagi, “Aku tahu, aku pernah mengabaikan perasaanmu. Maafkan aku. Aku ingin memperbaikinya, tentu jika kau tidak keberatan.”

“Bagaimana jika aku keberatan?” tanyamu.

“Aku tidak akan memaksamu.” Seulas senyum lagi-lagi mengembang di wajah Brian. “Asal kau bahagia, aku sudah puas.”

Kau berusaha tersenyum sebagai jawaban.

Ah, ia masih sama.

“Jadi … bolehkah aku menyukaimu?”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Puisi, Untuk...
20593      3439     10     
Romance
Ini untuk siapa saja yang merasakan hal serupa. Merasakan hal yang tidak bisa diucapkan hanya bisa ditulis.
Dream Of Youth
774      503     0     
Short Story
Cerpen ini berisikan tentang cerita seorang Pria yang bernama Roy yang ingin membahagiakan kedua orangtuanya untuk mengejar mimpinya Roy tidak pernah menyerah untuk mengejar cita cita dan mimpinya walaupun mimpi yang diraih itu susah dan setiap Roy berbuat baik pasti ada banyak masalah yang dia lalui di kehidupannya tetapi dia tidak pernah menyerah,Dia juga mengalami masalah dengan chelsea didala...
Once Upon A Time
426      292     4     
Short Story
Jessa menemukan benda cantik sore itu, tetapi ia tak pernah berpikir panjang tentang apa yang dipungutnya.
Senja (Ceritamu, Milikmu)
7034      1830     1     
Romance
Semuanya telah sirna, begitu mudah untuk terlupakan. Namun, rasa itu tak pernah hilang hingga saat ini. Walaupun dayana berusaha untuk membuka hatinya, semuanya tak sama saat dia bersama dito. Hingga suatu hari dayana dipertemukan kembali dengan dito. Dayana sangat merindukan dito hingga air matanya menetes tak berhenti. Dayana selalu berpikir Semua ini adalah pelajaran, segalanya tak ada yang ta...
G E V A N C I A
1252      704     0     
Romance
G E V A N C I A - You're the Trouble-maker , i'll get it done - Gevancia Rosiebell - Hidupnya kacau setelah ibunya pergi dari rumah dan ayahnya membencinya. Sejak itu berusaha untuk mengandalkan dirinya sendiri. Sangat tertutup dan memberi garis keras siapapun yang berniat masuk ke wilayah pribadinya. Sampai seorang cowok badboy selengean dengan pesona segudang tapi tukang paksa m...
Rumah
529      372     0     
Short Story
Sebuah cerita tentang seorang gadis putus asa yang berhasil menemukan rumah barunya.
Stay With Me
224      188     0     
Romance
Namanya Vania, Vania Durstell tepatnya. Ia hidup bersama keluarga yang berkecukupan, sangat berkecukupan. Vania, dia sorang siswi sekolah akhir di SMA Cakra, namun sangat disayangkan, Vania sangat suka dengan yang berbau Bk dan hukumuman, jika siswa lain menjauhinya maka, ia akan mendekat. Vania, dia memiliki seribu misteri dalam hidupnya, memiliki lika-liku hidup yang tak akan tertebak. Awal...
Dear Diary
672      454     1     
Short Story
Barangkali jika siang itu aku tidak membongkar isi lemariku yang penuh buku dan tumpukan berkas berdebu, aku tidak akan pernah menemukan buku itu. Dan perjalanan kembali ke masa lalu ini tidak akan pernah terjadi. Dear diary, Aku, Tara Aulia Maharani umur 25 tahun, bersedia melakukan perjalanan lintas waktu ini.
Kalopsia
833      600     2     
Romance
Based of true story Kim Taehyung x Sandra Sandra seharusnya memberikan sayang dan cinta jauh lebih banyak untuk dirinya sendiri dari pada memberikannya pada orang lain. Karna itu adalah bentuk pertahanan diri Agar tidak takut merasa kehilangan, agar tidak tenggelam dalam harapan,  agar bisa merelakan dia bahagia dengan orang lain yang ternyata bukan kita.  Dan Sandra ternyata lupa karna meng...
Titik
364      246     0     
Romance
Ketika semua harapan hilang, ketika senyummu menjadi miliknya. Tak ada perpisahan yang lebih menyedihkan.